Menangkap Api Sumpah Pemuda
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menangkap Api Sumpah Pemuda

Senin, 27 Okt 2025 19:38 WIB
Dzulfikar Ahmad Tawalla
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Dzulfikar Ahmad Tawalla,
Foto: Dok Situs Pemuda Muhammadiyah
Jakarta -

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa ini kembali menundukkan kepala mengenang satu peristiwa monumental: Sumpah Pemuda. Di berbagai penjuru negeri, bendera dikibarkan, upacara digelar, seminar diadakan, dan film dokumenter diputar. Namun, di balik semua seremoni itu, pertanyaannya tetap menggantung di udara: masihkah api Sumpah Pemuda menyala di dada anak muda Indonesia hari ini?

Dalam tarikan sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda peristiwa krusial yang menentukan arah bangsa. Ia adalah titik kulminasi dari perjuangan panjang untuk membangun kesadaran kebangsaan. Dari semangat itu lahir satu tekad kolektif: bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tiga ikrar itu menjadi suluh yang menuntun perjalanan bangsa menuju kemerdekaan, reformasi, dan kini, menghadapi pusaran globalisasi.

Namun, seperti yang pernah diingatkan Soekarno, api perjuangan itu bisa padam bila hanya diwarisi dalam bentuk abu: simbol, seremoni, dan hafalan tanpa makna.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jejak Sejarah dari Kongres ke Kongres

Sumpah Pemuda bukanlah hikayat yang jatuh dari langit. Ia tumbuh dari perjumpaan gagasan, semangat, dan keberanian. Cikal bakalnya dimulai dalam Kongres Pemuda I tahun 1926, sebuah pertemuan yang diprakarsai oleh organisasi-organisasi pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, dan Perhimpunan Pelajar Minahasa.

Tokoh seperti Mohammad Tabrani Tjitrodiwiryo melihat bahwa persoalan terbesar anak muda kala itu adalah ego kedaerahan. Setiap organisasi pemuda masih terikat pada identitas lokalnya-Jawa, Sumatra, Minahasa, Ambon, dan sebagainya-sehingga gagasan tentang "Indonesia" masih terasa samar.

ADVERTISEMENT

Kongres Pemuda I memang belum menghasilkan keputusan besar, tetapi menanamkan kesadaran baru: perlunya wadah bersama bagi seluruh pemuda Nusantara. Kesadaran itulah yang kemudian meletup dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, di mana 700-an pemuda lintas agama, suku, dan organisasi berhimpun di Batavia (Jakarta).

Di antara mereka hadir tokoh-tokoh muda visioner seperti Mohammad Yamin, Soenario, Ki Hajar Dewantara, Sarmidi Mangoensarkoro, dan Ramelan. Mereka berbicara tentang bahasa, pendidikan, dan cita-cita kebangsaan. Dari forum itulah lahir tiga ikrar yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, dan untuk pertama kalinya lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan.

Sejak saat itu, api persatuan mulai menyala. Ia menjadi fondasi psikologis dan ideologis bagi bangsa ini, hingga akhirnya mencapai puncaknya pada Proklamasi 1945.

Meredupnya Api di Dada Pemuda

Sembilan puluh lima tahun telah berlalu. Namun, kini kita dihadapkan pada ironi: Sumpah Pemuda makin sering diperingati, tapi makin jarang dihayati. Api yang dulu menyala dalam dada para pelopor bangsa kini tampak redup di tengah gemerlap dunia digital dan individualisme modern.

Ada beberapa penyebab mengapa api itu meredup.

Pertama, luruhnya minat kaum muda mempelajari sejarah. Banyak yang menghafal tanggal dan nama tokoh, tapi tak memahami konteks perjuangan mereka. Padahal, sejarah adalah jendela untuk memahami siapa kita dan ke mana arah kita melangkah.

Kedua, Sumpah Pemuda kini hanya jadi simbol tanpa spirit. Ia dirayakan secara seremonial, tapi tak dijadikan inspirasi dalam tindakan. Di media sosial, banyak pemuda yang lebih sibuk berdebat soal perbedaan, daripada memperjuangkan cita-cita bersama.

Ketiga, menipisnya rasa persatuan di tengah maraknya politik identitas dan segregasi sosial. Anak bangsa terbelah oleh preferensi politik, agama, bahkan algoritma media sosial. Kita lupa bahwa Sumpah Pemuda justru lahir dari keberanian menembus sekat-sekat itu.

Di tengah situasi ini, identitas nasional anak muda kian kabur. Banyak yang lebih mengenal budaya luar ketimbang sejarah bangsanya sendiri. Semangat kolektif bergeser menjadi orientasi personal; cita-cita bersama tergantikan oleh pencapaian individual.

Padahal, jika api Sumpah Pemuda padam, bangsa ini kehilangan daya hidupnya.

Menyalakan Kembali Api Sumpah Pemuda

Kini, tantangan utama bukan lagi memperingati Sumpah Pemuda, melainkan menyalakan kembali apinya dalam kehidupan nyata. Di sinilah relevansi pesan Bung Karno menjadi nyata: jangan mewarisi abu, tapi warisilah api.

Pertama, pemuda harus kembali berhimpun. Di tengah fragmentasi sosial akibat teknologi dan politik, generasi muda perlu membangun solidaritas baru. Organisasi kepemudaan, baik yang berbasis agama, kampus, maupun profesi, harus menjadi ruang kolaborasi, bukan arena kompetisi sempit. Di sinilah spirit "berhimpun untuk maju bersama" menemukan bentuk barunya: komunitas yang saling belajar, menguatkan, dan bergerak untuk perubahan.

Kedua, pemuda perlu menjadi kekuatan pencerah. Di tengah derasnya arus informasi dan disinformasi, generasi muda harus tampil sebagai penjaga nalar publik. Membentuk pendidikan alternatif, komunitas literasi, atau gerakan sosial berbasis data dan riset adalah langkah konkret untuk membangun kesadaran sejarah dan kebangsaan.

Kita membutuhkan lebih banyak "pembelajar sosial" - anak muda yang tidak sekadar kritis, tetapi juga peduli dan solutif. Seperti dulu Yamin dan Tabrani yang berdialog lintas organisasi, pemuda kini perlu berdialog lintas platform, lintas disiplin, dan lintas ideologi.

Ketiga, pemuda harus hadir dalam sektor-sektor strategis. Politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan adalah medan baru perjuangan. Keberanian untuk berkompetisi secara sehat di ruang publik menjadi wujud nyata menyalakan api sumpah itu. Pemuda yang menempuh karier akademik, menekuni riset, menjadi entrepreneur sosial, atau menapaki dunia politik, sejatinya sedang meneruskan semangat yang sama: memajukan Indonesia dengan pikiran dan tindakan.

Dari Persatuan ke Kolaborasi

Jika pada 1928 tantangan utama adalah menghapus sekat kedaerahan, maka kini tantangannya adalah menyatukan perbedaan di era global. Dunia digital membuat batas-batas semakin cair, tapi juga menciptakan polarisasi baru: antara yang moderat dan ekstrem, antara yang rasional dan emosional, antara yang produktif dan konsumtif.

Karena itu, semangat Sumpah Pemuda mesti ditafsir ulang sebagai energi kolaborasi lintas batas. Pemuda masa kini tidak lagi dituntut sekadar bersatu dalam slogan, tetapi bersatu dalam karya. Persatuan bukan hanya soal satu bahasa dan satu bangsa, tetapi tentang satu tekad: membangun masa depan Indonesia yang adil, beradab, dan berdaya saing.

Menyalakan api Sumpah Pemuda berarti belajar menghargai perbedaan-bukan meniadakannya. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika hanya bisa hidup jika kita berani menundukkan ego pribadi demi kepentingan kolektif. Seperti para pemuda 1928 yang menanggalkan identitas lokal demi identitas nasional, generasi muda kini harus berani melampaui sekat ideologis demi masa depan bersama.

Refleksi untuk Generasi Muda

Kita hidup di zaman yang serba cepat. Informasi datang secepat kedipan mata, tapi pemahaman sering tertinggal jauh. Kita punya teknologi yang mempersatukan, tapi juga bisa memecah belah. Kita punya akses pendidikan yang luas, tapi kehilangan arah moral.

Maka, tugas generasi muda hari ini bukan sekadar menjadi "netizen aktif", tetapi negarawan muda: mereka yang berpikir jauh melampaui kepentingan dirinya sendiri. Menjadi pemuda yang berani berpihak pada nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan persatuan.

Api Sumpah Pemuda menuntut kita untuk tidak berhenti pada nostalgia. Ia harus menjadi energi etis dan intelektual untuk menjawab tantangan zaman. Bukan hanya meniru para pendahulu, tetapi melanjutkan perjuangan mereka dalam konteks baru: memperjuangkan kedaulatan digital, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan.

Sejarah selalu menunggu generasi yang mau menulis bab barunya. Dan bab itu, sekali lagi, dimulai oleh anak muda.

Menutup Abu, Menyulut Api

Sembilan puluh lima tahun lalu, di sebuah gedung sederhana di Batavia, sekelompok pemuda menulis sejarah dengan tekad yang melampaui batas-batas diri mereka. Mereka tidak memiliki fasilitas mewah, tapi punya imajinasi besar tentang bangsa.

Kini, tugas kita bukan meratapi perbedaan zaman, tetapi menangkap api semangat itu dan mengobarkannya kembali.

Karena bangsa ini tidak butuh pemuda yang hanya pandai bersorak, tetapi pemuda yang mau berbuat. Tidak butuh pewaris abu yang sekadar mengenang masa lalu, tetapi pewaris api yang berani menyalakan masa depan.

Dan selama masih ada satu pemuda yang percaya bahwa Indonesia bisa lebih baik, api Sumpah Pemuda tidak akan pernah padam.

Dzulfikar Ahmad Tawalla, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah

Tonton juga video "Tambah Tahu: Fakta dan Sejarah Sumpah Pemuda sebagai Tonggak Nasionalisme Indonesia" di sini:

(azh/azh)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads