Air berbicara dengan cara yang pelan namun pasti. Ia menyapa kita dalam bentuk hujan yang datang tak kenal musim, dalam luapan yang menyelinap di sela jalan kota, dalam sumur yang kian kering, dan dalam udara yang membawa aroma asin laut sambil merambat jauh ke daratan.
Air bukan sekadar zat cair yang mengalir dari keran--ia adalah ingatan bumi, saksi perubahan zaman, sekaligus pertanyaan besar yang diajukan alam kepada manusia.
Sejak mula, sejarah manusia ditulis di tepi air. Di sanalah kota-kota pertama lahir, sawah-sawah tumbuh, dan kebudayaan bersemi. Dan seperti diingatkan oleh Firdaus Ali, begawan air dan pakar lingkungan dari UI, "Sepanjang sejarah, peradaban besar lahir di tepi sungai dan runtuh karena gagal mengelola airnya.
Perubahan iklim, yang saat ini sudah beranjak menjadi krisis iklim, memberi kita tantangan baru: apakah kita akan menjadi peradaban yang tenggelam, atau peradaban yang belajar hidup bersama air."
Kini tantangan itu menatap Jakarta--kota megapolitan yang berdiri di muara sungai, bersandar pada laut, dan ditopang oleh air tanah yang terus disedot tanpa jeda. Ia bukan sekadar kota dengan gedung pencakar langit dan lalu lintas yang padat.
Ia adalah ruang hidup bagi lebih dari sepuluh juta jiwa yang setiap paginya memutar kran, merebus air untuk teh, dan mencuci jejak debu dari wajah anak-anak setiap hari. Dan dari airlah nasib kota ini akan ditentukan.
Krisis iklim mengubah watak air: ia datang terlalu deras, bergerak terlalu cepat, atau malah sebaliknya: tidak datang sama sekali. Hujan menjadi badai, kemarau menjadi kekeringan. Sungai kian kerap meluap, sementara muka tanah terus menurun. Sementara itu, muka air laut juga berangsur-angsur naik hingga mengancam permukaan bumi yang lamat-lamat amblas.
Jakarta pun menanggung dua ancaman sekaligus--tenggelam dari atas oleh curah hujan ekstrem dan dari bawah oleh permukaan tanah yang kian menurun. Penggunaan air tanah dalam yang tak terkendali bukan lagi soal teknis, melainkan soal keberlanjutan kota. Setiap liter yang disedot dari bawah tanah adalah milimeter yang berangsur-angsur menghapus masa depan daratan.
Karena itu, keinginan untuk mengendalikan penggunaan air tanah bukan sekadar kebijakan lingkungan. Ia adalah langkah menyelamatkan kota dari takdir muram yang pelan-pelan merayap. Mengganti ketergantungan itu dengan penyediaan air perpipaan yang lebih merata adalah cara memastikan bahwa bumi tetap kokoh menopang kaki anak-anak kita di masa depan.
Di tengah kenyataan itu, PAM Jaya memikul peran. Perusahaan daerah yang bertugas mengalirkan air ke rumah-rumah warga dipaksa melakukan transformasi besar: berubah bentuk menjadi Perseroda, sebuah langkah yang membuka jalan bagi transparansi dan akuntabilitas yang lebih kuat.
Dengan menjadi Perseroda, setiap rupiah yang mengalir, setiap pipa yang ditanam, setiap meter kubik air yang tersalur dapat diawasi oleh publik, oleh investor, oleh lembaga audit, dan oleh sejarah itu sendiri.
Namun, perubahan status itu tidak boleh membuat kita tergelincir pada logika pasar semata. Air bukan komoditas yang dijual hanya kepada yang mampu membeli; ia adalah hak dasar yang harus dijamin bagi semua. PAM Jaya tidak boleh menjadi perusahaan yang sekadar mengejar dividen, tetapi harus tetap menjadi penjamin kehidupan.
Keuntungan yang sejati bukanlah angka laba yang tinggi, melainkan anak-anak dari kampung paling pinggir yang akhirnya bisa mandi dengan air bersih tanpa harus menimba dari sumur yang tercemar.
Itulah sebab, rencana besar Pemprov Jakarta untuk memenuhi kebutuhan air bersih hampir 100% pada tahun 2030 adalah janji yang lebih dari sekadar angka. Ia adalah wujud dari komitmen bahwa kota ini ingin tumbuh bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral.
Sebab, kota yang agung bukanlah kota dengan gedung tertinggi atau jalan terlebar, melainkan kota yang bisa memastikan setiap warganya - dari utara hingga selatan, dari timur hingga ke barat, dari gedung perkantoran hingga kampung padat - mendapatkan hak yang sama atas kehidupan.
Dalam sebuah rapat, Gubernur Pramono Anung mengingatkan: "Kota yang gagal mengelola air akan gagal menghadapi perubahan dan bahkan krisis iklim. Sebaliknya, kota yang mampu menata airnya dengan adil, efisien, dan berkelanjutan akan menjadi kota yang tangguh dan layak huni bagi generasi mendatang."
Pernyataan itu bukan sekadar peringatan, melainkan arah. Jakarta yang berambisi menjadi kota global dan berbudaya tidak bisa dibangun hanya dengan beton dan lampu jalan. Ia harus dibangun di atas air yang dikelola dengan bijaksana--air yang tidak lagi bocor hingga hampir separuhnya hilang sebelum sampai ke rumah warga, air yang tidak lagi menjadi penyebab tanah turun atau banjir naik, air yang tidak lagi menjadi kemewahan bagi yang mampu dan kesulitan bagi yang hidupnya kurang beruntung.
Air bukan hanya soal teknis infrastruktur; ia adalah cermin dari cara kita memandang kehidupan. Di dalamnya, terkandung pertanyaan: apakah kita akan membiarkan kota ini tenggelam oleh kelalaian kita sendiri, ataukah kita akan belajar hidup selaras dengannya?
Jawaban atas pertanyaan itu tidak akan datang dari satu kebijakan atau satu proyek, tetapi dari keberanian kolektif untuk melihat air bukan sebagai barang, melainkan sebagai hakikat kehidupan itu sendiri.
Di tengah krisis iklim yang mengancam, barangkali kita harus kembali belajar dari air--dari kesabarannya mengikis bongkahan batu, dari kelembutannya mengalahkan kekerasan, dari sifatnya yang mendinginkan lingkungan, dari takdirnya yang bisa menyembuh, dan dari kemampuannya untuk selalu mencari jalan. Sebab seperti air yang terus mengalir meski dibendung, peradaban pun akan terus mencari bentuknya - jika saja kita mau belajar hidup bersamanya.
Rano Karno. Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Tonton juga video "Indonesia Punya 699 Zona Musim, Kok Bisa?" Di sini:
(rdp/rdp)