Sektor pertanian kembali menunjukkan kapasitasnya sebagai salah satu pilar penting perekonomian Indonesia. Di tengah ketidakpastian global dan ancaman inflasi, data BPS 2025 menegaskan peran sektor pertanian dalam menopang Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja, dan ekspor.
Namun, dibalik capaian ini, terdapat sejumlah tantangan yang menuntut kebijakan yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
Stabilitas PDB: Prestasi dan Risiko
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pertumbuhan PDB sektor pertanian yang mencapai 10,52% pada Kuartal I 2025 memang patut diapresiasi. Peningkatan kontribusi dari 12,66% di Kuartal I menjadi 13,83% di Kuartal II turut menjadi bantalan ekonomi dan penekan inflasi, khususnya berkat panen raya yang diproyeksikan mencapai 33,19 juta ton beras hingga November 2025.
Meski demikian, sebagian besar pertumbuhan ini masih bertumpu pada kebijakan jangka pendek seperti percepatan tanam, pompanisasi, dan subsidi pupuk. Untuk menjaga keberlanjutan, diperlukan diversifikasi sumber pertumbuhan sektor pertanian secara nasional, semisal dengan memperkuat adaptasi terhadap perubahan iklim, memanfaatkan teknologi pertanian presisi, serta mengurangi ketergantungan pada input bersubsidi yang rawan gejolak harga.
![]() |
Penyerapan Tenaga Kerja: Kuantitas Vs Kualitas
Sektor ini menyerap 28,54% angkatan kerja (sekitar 40,67 juta orang) dan menambah 890 ribu lapangan pekerjaan baru per Februari 2025. Namun, sebagian besar pekerjaan ini berada di sektor informal dengan produktivitas rendah.
Kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) ke angka 124,36 memang menunjukkan peningkatan daya beli, tetapi masih rentan tergerus jika harga input melonjak atau produktivitas stagnan. Oleh karena itu kebijakan ketenagakerjaan di sektor pertanian ke depan perlu berorientasi pada peningkatan kualitas pekerjaan, terutama melalui pelatihan, mekanisasi, dan integrasi petani ke dalam rantai pasok modern.
Hilirisasi dan Ekspor: Potensi Besar, Tantangan Nyata
Lompatan ekspor sebesar 38,25% dan peningkatan CPO beserta turunannya hingga 32,92% membuktikan dampak positif strategi hilirisasi. Namun, fokus yang berlebihan pada komoditas unggulan berisiko mengabaikan keberagaman produk pertanian lainnya.
Selain itu, hilirisasi memerlukan dukungan ekosistem industri yang matang mulai dari infrastruktur, logistik, energi, hingga regulasi pajak ekspor yang stabil. Tanpa mitigasi risiko ini, kenaikan ekspor jangka pendek berpotensi stagnan dan memunculkan kerentanan, terutama jika harga global komoditas utama mengalami penurunan.
Dari uraian data diatas penulis merekomendasikan beberapa kebijakan seperti :
1. Menggeser orientasi dari kebijakan jangka pendek menuju strategi keberlanjutan pangan, adaptasi iklim, dan ketahanan rantai pasok.
2. Mendorong pembentukan kawasan industri pengolahan berbasis komoditas lokal untuk memperluas hilirisasi, bukan hanya di CPO.
3. Memperkuat model contract farming dan koperasi modern untuk menghubungkan petani dengan pasar global dan industri pengolahan.
4. Mengintegrasikan data digital (big data dan AI pertanian) untuk perencanaan tanam dan pengendalian harga.
Data BPS 2025 adalah bukti bahwa sektor pertanian terus berkontribusi sebagai penopang ekonomi. Namun, mempertahankan predikat 'punggung kokoh perekonomian Indonesia' membutuhkan visi yang melampaui capaian kuartal demi kuartal.
Inovasi teknologi, hilirisasi yang inklusif, dan peningkatan kualitas tenaga kerja harus menjadi fokus, agar sektor pertanian tidak hanya dapat diandalkan menghadapi krisis, tetapi juga menjadi motor pembangunan pedesaan yang benar-benar berkelanjutan.
Prima Gandhi, Pengamat Ekonomi Pertanian IPB
(akd/akd)