Kolom

MBG Afirmasi Berbasis Wilayah: Lebih Efektif Menjangkau Sasaran

Iwan Nugroho - detikNews
Jumat, 10 Okt 2025 10:40 WIB
Ilustrasi MBG / Foto: ANTARA FOTO/Andry Denisah
Jakarta -

Berbagai permasalahan yang terkait dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sangat dipahami. Sebagai program baru dan sasaran meluas memerlukan justifikasi, perbaikan dan penyesuaian agar berjalan efektif, aman dan menjangkau sasaran penerima manfaat.

Ada beberapa hal menarik dalam pelaksanaan program MBG. Pertama, pendekatan demand-driven. Sebagai program baru, pemerintah sangat mengandalkan inisiatif mitra untuk berpartisipasi. Mitra ini kemudian mengoperasikan dapur atau SPPG (Satuan Pelayanan dan Pemenuhan Gizi). Artinya, pemerintah mengandalkan pendekatan pasar untuk menjalankan MBG dan seharusnya memahami konsekuensinya.

Saat ini sudah ada 10155 SPPG yang menyebar di Indonesia (data bgn.go.id hingga tanggal 6 Oktober 2025). Jumlah ini akan terus bertambah. Namun sebaran SPPG cenderung lebih memusat ke kota. Hal ini wajar karena kota punya kelebihan dalam hal mutu SDM, entrepreneurship, akses pasar dan infrastruktur (sebagai efek aglomerasi) sehingga berdampak kepada penurunan biaya.

Dalam lingkup Malang Raya, SPPG ditemukan pada seluruh kecamatan di kota Batu (9 SPPG) dan kota Malang (16 SPPG). Namun di kabupaten Malang (80 SPPG), dari 33 kecamatan, ada 6 kecamatan yang tidak memiliki SPPG, yakni kecamatan Donomulyo, Kasembon, Kalipare, Ngantang, Pagak, Tirtoyudo. Kecamatan tersebut kebetulan posisinya mengarah ke pelosok (hinterland) sehingga berhadapan dengan biaya operasional relatif tinggi dibanding SPPG di kota.

Kedua, hirarki manajemen program. Ada hirarki yang panjang dan rumit dalam organisasi layanan MBG. Badan Gizi Nasional (BGN) di tingkat pusat hingga SPPG di lapangan memperlihatkan rantai manajemen yang panjang melibatkan berbagai pihak, mulai dari perencanaan, penyediaan dan pengawasan program. Program lingkup pangan dan gizi juga melibatkan pihak lain misal kementerian dalam negeri, kesehatan, pertanian, BPOM, dan badan sertifikasi pangan.

Hirarki manajemen makin rumit di lapangan, sebagai akibat kondisi geografi yang luas, ragam kondisi dan akses transportasi di setiap daerah, serta kapasitas SPPG yang beragam. Di daerah juga ada instansi pemda dan dinas, pasar komoditi pangan, UMKM, dan pengawas seperti kepolisian. Upaya koordinasi antar sektor di negeri ini memiliki cost yang besar. Sementara itu, mempermudah manajemen MBG dengan teknologi informasi nampaknya belum terbukti.

Ketiga, kuliner bersifat personal. Karakter kuliner cenderung bersifat sangat personal dipengaruhi preferensi, kebiasaan diet, tradisi dan budaya, serta pengalaman hidup seseorang. Karena itu mengangkat kebijakan peningkatan gizi secara seragam dan massal secara konseptual beresiko besar.

Anak balita atau peserta PAUD bisa jadi yang paling peka terhadap program MBG. Preferensi makan anak lebih kepada masakan ibundanya di rumah. Kasus-kasus keracunan, atau makanan tidak cocok, hendaknya dapat menjadi sinyal ada incompability preferensi atau kebiasaan diet secara personal dalam program MBG.

Langkah MBG Afirmasi

Mencermati kondisi tersebut di atas, program MBG masih memerlukan banyak pembenahan. BGN hendaknya mengambil langkah afirmasi dengan tetap mengutamakan mutu gizi, sehat dan aman. Langkah afirmasi bukan hanya untuk meningkatkan program MBG existing, tetapi juga mengefektifkan dan memperluas sasaran penerima manfaat MBG, mengembangkan pemberdayaan sosial ekonomi serta apresiasi terhadap sumberdaya lokal di setiap wilayah. Berikut ini langkah atau tahapan MBG afirmasi.

Pertama, pemerintah membentuk SPPG afirmasi. Alih-alih hanya menunggu pendaftaran mitra, BGN harus berinisiatif membangun SPPG baru di kecamatan terpencil. BGN perlu bekerjasama dengan pemerintah daerah melalui dinas pendidikan atau instansi lainnya, untuk menemukan penerima manfaat MBG baru. Kasus seperti kabupaten Malang hanya contoh, dan sangat mungkin di wilayah lain akan ditemukan kecamatan nihil SPPG akibat berbagai keterbatasan akses. SPPG afirmasi di wilayah pelosok atau terpencil, sangat mendesak didirikan karena siswanya lebih membutuhkan asupan gizi dibanding siswa di wilayah kota.

Sebagai SPPG afirmasi, tentu tidak dapat disamakan langsung seperti SPPG existing. Namun BGN perlu melatih SPPG afirmasi secara bertahap memenuhi syarat operasional. SPPG afirmasi dapat dikelola oleh lembaga lokal, seperti dapur umum desa, Posyandu atau PKK, atau BUMDes. Khususnya di wilayah pedesaan, tradisi gotong royong masih berfungsi dengan baik, seperti biyodo, nyinoman, atau tahlilan di Jawa. Tradisi dan budaya lokal tersebut dapat dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan program MBG.

Kedua, pendekatan sociopreneurship. SPPG afirmasi selain untuk tujuan peningkatan gizi, juga untuk meningkatkan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat melalui wirausaha MBG. Dengan pendekatan sociopreneurship, program MBG berorientasi kepada equity melalui pemberdayaan sekaligus mengurangi kesenjangan sosial ekonomi. Ini kebalikan dari SPPG existing yang berorientasi bisnis dan efisiensi.
Dengan kondisi akses relatif terbatas dan jauh dari pusat pasar, operasional SPPG afirmasi senantiasa berhadapan dengan biaya transport relatif tinggi. Ini tentu berdampak kepada naiknya harga komoditi, pengolahan, dan distribusi. Di sinilah relevansi pendekatan sociopreneurship. Wirausaha SPPG afirmasi dikelola dengan melibatkan penduduk desa dan ibu-ibu sebagai tenaga kerja. Dari sana mereka menerima pendapatan, sementara anaknya menerima asupan gizi dari MBG. Melalui kesepakatan bersama, profit usaha dapat diputar lagi untuk kepentingan modal bagi sektor produktif pedesaan secara berkelanjutan.

Program MBG akan menjadi wadah kolaborasi antara pemerintah dan sociopreneur. Sociopreneur memiliki jangkauan lebih luas dan luwes dalam memberi solusi permasalahan masyarakat. Hal ini yang tidak mampu dikerjakan oleh (keterbatasan) pemerintah maupun entrepreneur bisnis. Sudah barang tentu, BGN perlu menunjukkan pemihakan kepada sociopreneur pelaksana SPPG, dengan memberikan dukungan pendampingan, pelatihan, dan peningkatan mutu penjamah MBG.

Ketiga, pemanfaatan bahan pangan lokal. Program MBG dapat menjadi sarana untuk mempromosikan bahan pangan lokal sekaligus mendukung ketahanan pangan. Sumber karbohidrat seperti ubi jalar, jagung, sagu, dan talas dapat menjadi alternatif beras. Petani, peternak atau nelayan lokal mensuplai telur, daging, dan ikan sebagai sumber protein. Buah dan sayur lokal menjadi sumber mineral dan vitamin.

Kuliner dengan bahan pangan lokal mewarnai setiap tradisi budaya. Kebiasaan penduduk desa memadukan makanan (food pairing) dalam menu keluarga atau sesuai tradisi akan menciptakan makanan yang cocok (culturally preferred foods). Kondisi ini menggambarkan makanan aman dan bergizi yang memenuhi beragam selera dan terjamin halal. Menurut Dietary Guidelines for Americans, makanan yang disukai secara budaya memberi peluang setiap orang memilih makanan yang familiar dan sehat yang mereka sukai. Jelasnya, kuliner bernuansa lokal ini dapat mencegah kejadian mubazir (tidak berselera) yang sering ditemui pada anak-anak.
BGN perlu memberikan dukungan pemberdayaan agar penjaman makanan lokal memahami literasi standar nutrisi dan gizi. Harapannya akan terwujud standarisasi makanan lokal mulai dari persiapan, pengolahan, penyimpanan, hingga penyajian dalam kondisi aman dan sehat. Ini juga bagian dari pembelajaran BGN untuk menyusun peta kuliner dan makanan lokal yang bermutu yang tersebar di seluruh Indonesia.

Iwan Nugroho. Guru Besar, Universitas Widyagama Malang, Alumni PPRA 45 Lemhannas RI 2010 dan Penulis buku Pembangunan Wilayah (LP3ES).

Simak juga Video Pihak Istana Sebut Perpres Buat Sempurnakan Program MBG




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork