Kolom

Melihat Ketahanan Otoritarianisme Demokratis

Nurul Fatta - detikNews
Senin, 06 Okt 2025 10:33 WIB
Foto: Nurul Fatta (Dok Pribadi)
Jakarta -

Barangkali tulisan ini agak terlambat hadir. Tapi bicara demokrasi, saya percaya lebih baik datang belakangan daripada tidak sama sekali. Tulisan ini bukan sekadar untuk menambah keramaian wacana, melainkan ingin menyambung perdebatan penting tentang arah demokrasi Indonesia yang dipantik oleh dua senior saya, Bang Dhayadi Hanan dan Gus Ulil Abshar, di harian Kompas pada bulan Agustus lalu.

Perdebatan tentang demokrasi memang tidak pernah selesai. Demokrasi, sebagaimana sering diingatkan banyak ilmuwan, bahwa ia bukan bangunan yang berada di titik final, melainkan proses yang senantiasa diuji oleh dinamika elit, tekanan publik, serta perubahan sosial yang tak pernah berhenti.

Oleh karena itu, agar demokrasi tidak hanya bertahan, tetapi juga bertumbuh, maka perdebatan di ruang publik menjadi bagian penting dari upaya kolektif untuk menjaga nalar kritis masyarakat.

Lewat artikelnya dengan judul "Ketahanan Demokrasi" (21/8), Bang Djayadi masih sedikit mengalami "keraguan" terhadap ketahanan demokrasi. Meski ia mengakui dari hasil survei-survei nasional memperlihatkan masyarakat umum dan para politisi memiliki tingkat komitmen yang tinggi terhadap demokrasi.

Namun menurutnya, yang menjadi ancaman, adalah perilaku dan kebijakan elite yang berkuasa cenderung tidak bersahabat, bahkan cenderung anti-demokrasi. Maka, ketahanan demokrasi bukan hanya soal komitmen atau sikap positif publik dan elite saja, tetapi juga harus didorong dalam bentuk gerakan sosial.

Sementara itu, Gus Ulil menanggapi lewat tulisannya "Ketahanan Politik Kita" (28/8) dengan nada yang lebih optimis. Ia menilai bahwa apa yang dipaparkan Bang Djayadi menguatkan keyakinannya, bahwa bangsa Indonesia sudah berada di titik di mana tidak akan mungkin kembali ke otoritarianisme ala Orde Baru.

Di sisi lain Gus Ulil juga memberikan kritik kepada kebanyakan intelektual yang menurutnya sedang mengalami "kemurungan politik". Menurutnya, mereka terjebak pada ketakutan berlebihan akan kembalinya otoritarianisme.

Padahal, menurut Gus Ulil ada hal yang lebih penting dari ketahanan demokrasi, yaitu ketahanan politik. Ia menegaskan, dimensi paling penting dalam ketahanan politik adalah kehendak kuat dalam masyarakat untuk hidup di bawah naungan satu negara bernama Indonesia.

Tidak hanya itu, Gus Ulil bahkan melontarkan provokasi, bahwa barangkali cara menyembuhkan demokrasi yang lemah bukan dengan menambah dosis demokrasi, sebagaimana sering diyakini para intelektual dan aktivis, melainkan dengan mengurangi dosisnya.

Di posisi inilah saya ingin masuk. Alih-alih menegaskan optimisme atau pesimisme terhadap sistem demokrasi. Memang demokrasi Indonesia tidak sepenuhnya mundur, tapi juga tidak berkembang matang. Justru yang bertahan adalah residu otoritarianisme yang beradaptasi dengan wajah demokrasi.

Persis seperti yang disampaikan Steven Levitsky & Lucan Way (2010), dalam kerangka competitive otoritarianisme-nya, menjelaskan kemunculan rezim campuran yang disebut otoritarianisme kompetitif, yakni sistem politik yang secara formal menggunakan institusi demokrasi, seperti adanya pemilu, adanya parlemen, media bebas, tetapi dijalankan dengan cara-cara otoriter, atau dalam praktiknya tidak seimbang karena aktor penguasa seringkali menyalahgunakan kekuasaan.

Berangkat dari kerangka kerja itu, bagi saya Indonesia bukan sekadar otoritarianisme kompetitif (competitive authoritarian), tapi sudah memasuki fase ketahanan otoritarianisme demokratis (democratic authoritarian resilience). Artinya, sistem ini bertahan bukan karena demokrasi semakin matang, tapi karena adanya prosedur demokratis yang memperkuat watak otoritarianisme yang diwarisi sejarah, dipraktikkan elite, dan diterima sebagian masyarakat akar rumput sebagai sesuatu yang nyaman.

Setidaknya ada empat faktor yang dapat menjelaskan mengapa ketahanan otoritarianisme demokratis ini akan bertahan lama.

Pertama adalah warisan historis. Budaya politik kita tidak lepas dari jejak panjang monarki era kerajaan Nusantara, kolonialisme yang menindas, dan rezim Orde Baru. Tiga fase sejarah itulah yang kemudian sama-sama menanamkan pola paternalistik, yaitu struktur pemerintahan yang memposisikan rakyat sebagai anak yang harus manut pada "bapak"-nya. Karakter itulah yang masih melekat, baik dalam perilaku elite maupun dalam mentalitas sebagian masyarakat.

Kedua, perilaku elite. Prosedur demokrasi relatif dimanfaatkan untuk melanggengkan kontrol saja, tanpa memperdalam partisipasi masyarakat. Misalkan, dalam pemilu yang mestinya kompetitif justru dijadikan arena mengokohkan dinasti politik, dan meski akhirnya diterima baik oleh masyarakat.

Ketiga, sikap publik. Lapisan akar rumput yang paling tebal di negeri ini umumnya tidak terlalu peduli siapa pemimpinnya atau bagaimana sistem politik dijalankan, selama kebutuhan praktis mereka dipenuhi. Seperti bantuan sosial, subsidi, dan pembangunan infrastruktur. Selama itu hadir, mereka akan menganggap negara atau seorang pemimpin sudah cukup menjalankan fungsinya.

Keempat, legitimasi prosedural. Selama pemilu tetap berlangsung, adanya kebebasan berpendapat, DPR tetap ada, dan partai masih tampil tiap lima tahun sekali, sebagian publik melihat sistem ini masih sahih, meski subtansinya terkooptasi.

Pemilu 2024 menjadi contoh paling jelas, di mana presiden aktif ikut cawe-cawe, bahkan memperlihatkan keberpihakannya dengan terbuka, apalagi membiarkan anaknya ikut dalam berkontestasi di saat sang ayah masih menjabat. Namun karena semua terjadi dalam melalui prosedur pemilu, hasilnya tetap dianggap sah dan diterima mayoritas rakyat.

Dari empat faktor tersebut, jelas bahwa ketahanan otoritarianisme demokratis memiliki pondasi sosial, budaya, dan politik yang membuatnya bertahan lama.

Konsekuensinya, kita melihat lahirnya sebuah antitesis yang relatif stabil. Di satu sisi, demokrasi memberi ruang kebebasan; di sisi lain, sisa-sisa otoritarianisme berfungsi sebagai pagar agar kebebasan itu tidak berubah menjadi anarkis.

Sebagian masyarakat kita yang belum siap menafsirkan demokrasi secara utuh dan radikal cenderung resisten terhadap bentuk kebebasan yang berlebihan, yang menurut Gus Ulil "over dosis". Demonstrasi besar pada Agustus lalu-yang diwarnai kericuhan dan aksi penjarahan-menjadi contoh bagaimana kebebasan tanpa kendali bisa memicu kekacauan.

Dalam konteks ini, bagi saya sikap otoriter justru dipandang "perlu" untuk menjaga keteraturan. Namun di saat bersamaan, jika kontrol otoriter terlalu dominan, justru aspirasi publik akan tersumbat.

Ketegangan antara dua kutub inilah yang membuat sistem "perkawinan" ini bertahan, tidak sepenuhnya demokratis, tapi juga tidak sepenuhnya otoriter. Dan saya yakin itu akan bertahan lama, selama penguasa membuat kebijakan yang berdampak langsung kepada masyarakat, lebih-lebih berdampak jangka panjang.

Pertanyaannya, apakah kita rela berhenti di sini saja, atau masih punya keberanian untuk mendorong demokrasi yang lebih matang tanpa harus kehilangan stabilitas?

Nurul Fatta. Peneliti politik di Politika Research & Consulting.

Tonton juga Video Prabowo Terima Tuntutan 17+8-Mau Bikin Tim Investigasi Kericuhan




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork