Kolom

Ekonomi Politik Seafood

Thomas Nugroho - detikNews
Minggu, 05 Okt 2025 14:30 WIB
Foto: Ilustrasi Nelayan menata ikan tuna sirip kuning sebelum pememeriksaan kualitas dagingnya sebagai syarat untuk ekspor di Pelabuhan Perikanan Samudera Lampulo, Banda Aceh, Aceh, Selasa (24/6/2025). ANTARA FOTO/AMPELSA
Jakarta -

Seafood atau produk pangan laut merupakan salah satu komoditi paling penting dalam perdagangan global. Pertumbuhannya pesat, mencakup sektor perikanan tangkap dan budidaya, yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan global. Konsumsi seafood dunia diperkirakan naik sebesar 11 persen dengan volume mencapai 196 metrik ton tahun 2034 (OECD, 2025).

Namun dalam pandangan Liam Campling dan Elizabeth Havice (2018) dalam artikelnya berjudul The Global Environmental Politics and Political Economy of Seafood Systems menyatakan bahwa transaksi perdagangan produk seafood ini tidak hanya berhubungan dengan konsumsi pangan, melainkan juga erat dengan politik global, dinamika ekonomi internasional, serta isu lingkungan.

Untuk memahami kompleksitas tersebut, tulisan ini mengulas perspektif ekonomi politik perdagangan seafood dunia. Seperti dijelaskan Caporaso dan Levine (1992) dalam bukunya berjudul Theories of Political Economy, menyatakan bahwa hubungan antara politik dan ekonomi bersifat interdependen.

Politik menentukan kerangka distribusi sumber daya, sementara ekonomi memberi batasan serta peluang bagi praktik politik. Dengan kerangka ini, sistem seafood global dapat dibaca sebagai arena di mana kekuasaan negara, korporasi, dan rezim internasional saling berinteraksi, dengan dampak signifikan pada lingkungan dan keadilan sosial.

Ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan dalam mencermati perdagangan produk seafood yaitu struktur seafood dunia, peran aktor dan distribusi kekuasaan, serta implikasi ekologis dan sosial. Hal ini menegaskan bahwa memahami seafood tidak cukup hanya dari sisi pasar atau ekologi, tetapi harus dipandang sebagai sistem ekonomi politik global.

Produk seafood harus dipahami sebagai komoditas ekonomi politik, yang diproduksi, diperdagangkan, dan dikonsumsi dalam sistem yang dibentuk oleh perjanjian dagang, regulasi lingkungan internasional, serta dinamika geopolitik. Hubungan politik dan ekonomi sebagai bentuk dialektika, di mana politik menyediakan legitimasi dan regulasi, sementara ekonomi menggerakkan distribusi nilai.

Dalam konteks tersebut, produk seafood memainkan peran dalam hal pertama perdagangan internasional yang diatur oleh WTO dan perjanjian regional. Kedua, pengelolaan sumber daya laut yang dipayungi oleh UNCLOS, RFMO, FAO, dan berbagai rezim multilateral. Ketiga, kontestasi geopolitik atas perikanan di laut lepas yang memperlihatkan bagaimana sumber daya dan lingkungan menjadi objek perebutan politik internasional.

Dengan demikian, seafood bukan hanya makanan laut, tetapi juga alat distribusi kekuasaan di tingkat global. Aktor kunci yang membentuk arah dan pergerakan perdagangannya adalah pertama negara maju. Negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang menjadi konsumen utama sekaligus pengatur standar kualitas seafood global.

Negara maju ini kerap menetapkan aturan impor ketat, yang memaksa negara berkembang mengikuti standar teknis tanpa memiliki posisi tawar yang seimbang. Kasus terhangat penetapan tarif produk impor asal Indonesia ke Amerika Serikat yang semula 32 persen menjadi 19 persen oleh Presiden Donald Trump.

Kedua, negara berkembang yang mayoritas berperan sebagai produsen dan eksportir bahan mentah. Meskipun sebagai produsen yang menyuplai sebagian besar pasokan ikan di dunia, namun nilai tambah ekonomi lebih banyak mengalir dan terkonsentrasi ke negara konsumen. Posisi tawarnya pun lemah karena ketergantungan pada ekspor ke pasar negara maju.

Ketiga, perusahaan transnasional. Korporasi besar mendominasi rantai pasok, mulai dari pengolahan hingga distribusi. Posisi ini membuatnya mengendalikan harga dan arus komoditi hasil laut, sehingga keuntungan ekonomi terkonsentrasi di pihak swasta skala global, bukan komunitas nelayan di negara produsen.

Keempat, organisasi internasional. Lembaga internasional seperti FAO, RFMO dan rezim lingkungan ditingkat regional berupaya mengatur eksploitasi sumber daya laut. Namun efektivitasnya sering dibatasi oleh kepentingan negara dan korporasi besar. Kelima, masyarakat sipil dan NGO. Aktor ini berperan penting dalam mengadvokasi isu keberlanjutan, keadilan sosial, serta melawan praktik eksploitatif seperti perikanan ilegal, kerja paksa (perbudakan), human trafficking dan overfishing.

Rantai Pasok

Rantai pasok seafood bersifat panjang dan kompleks. Dari nelayan atau pembudidaya ikan, produksi ikan mengalir ke pedagang lokal, kemudian ke pabrik pengolahan, kemudian didistribusikan ke pedagang besar (eksportir), dan akhirnya ke konsumen global. Panjangnya rantai pasok ini menciptakan asimetrik ekonomi.

Negara dan perusahaan dengan modal besar di bagian hilir (pengolahan, distribusi, dan retail) memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar dibandingkan produsen primer, khususnya nelayan kecil di negara berkembang.

Dalam konteks aktor, seafood sebagai alat distribusi kekuasaan menunjukkan bahwa dinamika politik menentukan siapa yang mendapat apa, kapan, dan bagaimana sistem perdagangan dikendalikan di pasar internasional. Dalam hal ini ekonomi pasar tidak bersifat netral, melainkan dipengaruhi oleh institusi politik dan relasi kekuasaan. Dengan kata lain, rantai pasok seafood adalah arena politik terselubung di mana distribusi keuntungan ditentukan oleh posisi tawar.

Selain itu, seafood juga merupakan komoditas yang sangat rentan menimbulkan krisis ekologi, karena faktor permintaan, eskalasi dan intensifikasi produksi, serta transaksi perdagangan yang meningkat setiap periode. Konsekuensinya terjadi overfishing, bycatch, degradasi habitat dan deplesi sumberdaya, pencemaran limbah dan sampah.

Perdagangan seafood ini juga menimbulkan situasi paradoks yaitu di satu sisi, rezim internasional berusaha menjaga keberlanjutan, namun di sisi yang lain, logika kapitalisme global mendorong eksploitasi berlebihan demi memenuhi permintaan pasar. Dalam hal ini terjadi konflik antara kepentingan ekonomi dan kepentingan politik ekologi. Politik seharusnya membatasi eksploitasi demi keberlanjutan, tetapi seringkali melemah karena tekanan kepentingan ekonomi jangka pendek.

Dinamika sosial

Dinamika sosial yang relatif mudah dilihat dalam transaksi perdagangan seafood adalah nelayan kecil di negara berkembang menanggung beban paling berat dari struktur global yang timpang. Tantangan yang dihadapinya yaitu pertama terpinggirkan oleh perikanan industri skala besar (modern) karena keterbatasan akses modal dan pasar. Kedua, harga jual komoditi ikan rendah akibat dominasi tengkulak dan pedagang besar.

Ketiga, kehilangan akses ke sumber daya akibat eksploitasi berlebihan dan kalah berkompetisi dengan perikanan industri yang sering merampas sumber daya lokal. Keempat dampak ekologis dari eksploitasi berlebihan mengurangi stok ikan di wilayah perikanan tradisional.

Selain itu, isu eksploitasi buruh di sektor perikanan juga tumbuh, termasuk kerja paksa di kapal penangkap ikan. Kondisi ini menunjukkan bahwa seafood tidak hanya menyangkut perdagangan dan ekologi, tetapi juga hak asasi manusia. Distribusi seafood menciptakan ketidakadilan ganda yaitu nelayan kecil tidak hanya tereksploitasi secara ekonomi, tetapi juga kehilangan akses terhadap sumber protein utama yang sangat penting bagi ketahanan pangan lokal.

Dengan demikian seafood bukan sekadar komoditi pangan, tetapi juga sebagai komoditi strategis yang terkait dengan keamanan pangan, perdagangan internasional, dan politik perikanan. Perikanan laut lepas, misalnya, sering menjadi arena perebutan akses dan kontrol antarnegara, mencerminkan kepentingan geopolitik yang lebih luas.

Tata niaga

Sirkulasi seafood dari tingkat pasar lokal ke pasar global membutuhkan desain tata niaga yang memungkinkan hubungan perdagangan internasional membentuk transaksi yang transparan dan berkeadilan. Namun demikian kerap kali regulasi internasional yang diciptakan tidak menguntungkan bagi negara produsen. Misalnya, standar kualitas dan keamanan pangan yang ditetapkan oleh pasar utama seperti Uni Eropa dan AS sering menjadi hambatan bagi negara berkembang.

Lebih jauh, perjanjian dagang internasional mendorong liberalisasi yang sering menguntungkan negara konsumen besar, sementara negara produsen justru semakin tergantung pada ekspor. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan global dalam tata niaga.

Gagasan penting untuk mengatasi masalah keadilan tersebut yaitu tata niaga seafood harus bergeser dari sekadar efisiensi pasar menuju keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan dengan mendorong perubahan regulasi, distribusi kekuasaan, dan transformasi institusi global. Ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan.

Pertama, penguatan regulasi internasional untuk membatasi overfishing. Kedua redistribusi nilai tambah agar negara berkembang dan nelayan kecil memperoleh bagian yang adil; transparansi rantai pasok untuk melawan perikanan illegal. Ketiga, pengakuan hak-hak buruh untuk mencegah eksploitasi, dan hak perikanan tradisional dan adat untuk menutup aktivitas perampasan akses sumberdaya pada nelayan lokal.

Penutup

Seafood adalah contoh nyata bagaimana politik komoditi menentukan struktur ekonomi global. Perdagangan dan konsumsi seafood tidak bisa dipahami hanya sebagai transaksi pasar, melainkan sebagai proses ekonomi yang melibatkan distribusi kekuasaan, nilai, dan sumber daya.

Tanpa perubahan mendasar dalam tata niaga global, sistem seafood akan terus menghadirkan paradoks yaitu menyediakan pangan bagi miliaran orang, namun di saat yang sama memperkuat ketimpangan ekonomi, merusak ekosistem, dan mengeksploitasi masyarakat rentan. Oleh karena itu, membangun tata niaga seafood yang berkeadilan dan berkelanjutan bukan hanya agenda lingkungan, tetapi juga agenda ekonomi politik global.

Thomas Nugroho. Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University.

Tonton juga video "Putin: Ekonomi Dunia Masih Membutuhkan Minyak dari Rusia" di sini:




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork