Indonesia sudah mengumumkan keberhasilan swasembada pangan, namun keresahan masih cukup terasa di dapur rakyat. Masalah utamanya bukan hanya di sawah, melainkan di rantai pasok yang kurang selalu disiplin. Angka ketersediaan di gudang negara tidak otomatis berarti harga stabil di rak ritel.
Menurut rilis Badan Pusat Statistik per 1 September 2025, harga beras pada Agustus naik 6,15 persen year-on-year di tingkat penggilingan, 5,56 persen di grosir, dan 4,24 persen di eceran. Rata-rata harga eceran beras mencapai Rp 15.393 per kilogram, lebih tinggi dibanding Juli. Badan Pangan Nasional melaporkan Cadangan Beras Pemerintah sekitar 3,9 juta ton pada akhir Agustus hingga awal September, jumlah yang dinilai cukup hingga Desember.
Terpisah, neraca beras nasional diproyeksikan mencapai sekitar 9,3 juta ton pada 2025. Angka-angka ini memberi kesan aman, tetapi kenyataan di pasar menunjukkan harga tetap mengganggu stabilitas rumah tangga.
Di sejumlah kota, harga cabai rawit merah sempat menembus Rp100.000 per kilogram. Sementara itu, harga ayam ras pada pertengahan September rata-rata sekitar Rp38.000 per kilogram, dengan variasi antar-daerah yang bisa melampaui Rp40.000 hingga Rp60.000 per kilogram.
Tekanan ini sejalan dengan laporan FAO yang mencatat Food Price Index Agustus 2025 berada di level 130,1, tertinggi dalam lebih dari dua tahun. Tekanan global tersebut jelas merembes ke pasar domestik.
Antara Cadangan dan Rak Kosong
Instrumen kebijakan sebenarnya sudah banyak. Bulog mengelola CBP dan menjalankan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan dengan target penyaluran 1,5 juta ton. Subsidi pupuk dan benih tetap disalurkan. Sistem Resi Gudang dirancang agar petani tidak buru-buru menjual panen.
Toko Tani Indonesia Center dan Rumah Pangan Kita sempat digerakkan untuk mendekatkan stok ke konsumen. Panel Harga Bapanas dan PIHPS Bank Indonesia memantau harga harian. National Logistics Ecosystem diinisiasi untuk memperkuat arus logistik nasional.
Namun eksekusi di lapangan kerap tidak sinkron. Stok bisa menumpuk di gudang Sulawesi atau Sumatra, sementara harga di Jawa melonjak. Cabai berlimpah saat panen raya, lalu menghilang dalam hitungan minggu.
Distribusi antar-pulau tetap rapuh. Harga beras di Papua sering kali jauh lebih tinggi dibanding di Jawa. Masalah inti bukanlah produksi, melainkan kurangnya disiplin dalam distribusi.
Belajar dari Dunia
Pengalaman global memperlihatkan bahwa cadangan besar hanyalah prasyarat, bukan jaminan. Singapura mewajibkan importir menjaga Minimum Stockholding Requirement melalui Food Safety and Security Act agar rak tidak kosong.
India mengelola buffer gandum dan beras melalui Food Corporation of India dan menyalurkan Price Stabilization Fund untuk meredam lonjakan bawang. Jepang sepanjang 2025 beberapa kali melepas stok darurat beras, termasuk 200 ribu ton pada pertengahan tahun, untuk menahan kenaikan harga domestik.
Tiongkok mempertahankan kebijakan harga pembelian minimum bagi petani dan menggunakan big data serta satelit cuaca untuk memprediksi panen dan merencanakan pelepasan stok.
Pelajaran yang muncul jelas: tanpa mekanisme pelepasan yang disiplin, dasar hukum yang tegas, digitalisasi distribusi, dan orkestrasi logistik, pasar akan tetap bergejolak.
Analogi dari Semen
Industri semen bisa dijadikan cermin. Industri dalam kondisi oversupply (analogi swasembada di beras). Produk ini bulky, berat, dan rasio ongkos angkut terhadap nilai barang lebih tinggi dibanding beras, tetapi stoknya dalam beberapa tahun ini cukup jarang kosong. Industri menjaga buffer operasional sekitar dua hingga tiga minggu dengan buffer ganda di pabrik dan gudang, pengawasan harian, serta distribusi multimoda dengan rute tetap.
Ini bukan regulasi pemerintah, melainkan praktik supply chain industri yang menunjukkan bahwa kedisiplinan dalam menjaga ketersediaan seluruh wilayah bisa dicapai. Jika semen, produk non-konsumsi harian, mampu dikelola dengan presisi, seharusnya pangan sedikit lebih mudah.
Strategi MAKAN: Dari Gudang ke Meja Rakyat
Untuk menjembatani gap antara produksi dan konsumsi, diperlukan Strategi MAKAN, Manajemen Rantai Pasok Pangan Nasional. Filosofinya sederhana: rakyat harus bisa makan dengan tenang, dan negara wajib mengawal rantai pasok dari hulu hingga rak.
Strategi ini mencakup Control Tower Pangan Nasional, pusat kendali digital terintegrasi yang menghubungkan data harga, stok, cuaca, pupuk, produksi, dan logistik secara real time sehingga keputusan bisa diambil dalam hitungan jam.
Lalu Sistem Trigger dan Playbook Otomatis, di mana kenaikan harga beras lebih dari sepuluh persen dari rata-rata harus memicu pelepasan CBP, operasi pasar, dan prioritas jalur distribusi. Aturan serupa berlaku untuk cabai, bawang, telur, dan ayam.
Selanjutnya adalah Minimum Operating Stock. Bulog, wholesaler, dan ritel modern wajib menjaga stok minimal harian agar rak tidak kosong, sebagaimana buffer operasional di industri semen.
Resi Gudang perlu dihidupkan kembali dengan insentif yang tepat agar petani bisa menahan sebagian panen dan menjualnya ketika harga stabil. Koridor dingin untuk hortikultura dan protein juga mutlak diperkuat, dengan standar layanan ketat untuk menekan kehilangan 20 hingga 40 persen hasil segar selama perjalanan, sekaligus menjaga kualitas gizi masyarakat.
Tata Kelola dan Indikator
Badan Pangan Nasional perlu mandat hukum yang tegas sebagai orkestrator tunggal dengan akses data lintas lembaga dan kewenangan untuk memicu intervensi. Transparansi publik harus menjadi norma: dashboard harga dan stok dibuka agar masyarakat dapat memantau. Indikator sederhana bisa ditetapkan, misalnya availability minimal 95 persen di pasar setiap minggu, harga enam komoditas pokok stabil di mayoritas wilayah, dan cadangan beras nasional tidak turun di bawah delapan minggu.
Peran swasta perlu diperkuat. Perusahaan logistik yang menjaga disiplin minimum stock dapat diberikan insentif seperti keringanan biaya tol laut atau akses kredit berbunga rendah. Gudang buffer bisa didukung dengan subsidi listrik atau pendingin. Dengan cara ini, intervensi tidak lagi bergantung pada rapat birokratis, melainkan berjalan otomatis ketika indikator berwarna merah.
Dari Swasembada ke Orkestrasi
Swasembada pangan tidak cukup berhenti pada angka produksi. Ia harus diwujudkan di rak, di pasar, dan di meja rakyat. Strategi MAKAN memberi kerangka untuk itu: sederhana dalam nama, konkret dalam instrumen, tegas dalam eksekusi.
Jika industri semen mampu menjaga rantai pasok produk bulky dengan ongkos distribusi tinggi, tidak ada alasan pangan-urusan hajat hidup orang banyak-tidak bisa. Indonesia memerlukan keberanian untuk mengubah fragmentasi menjadi orkestrasi, dan menjadikan ketersediaan pangan terjangkau sebagai kontrak publik antara negara dan rakyat.
Akhmad Yani Yulianto. Praktisi dan Pengamat Rantai Pasok, Logistik, Srategi, dan Dinamika Persaingan.
Simak juga Video Kepala BGN Tanggapi Potensi SPPG Dipidana: Mereka Adalah Pejuang
(rdp/imk)