Inisiatif Menarik Dana Valas
Menteri Keuangan baru-baru ini menyampaikan bahwa pemerintah tengah menyiapkan paket insentif untuk menarik dana USD milik warga Indonesia yang selama ini banyak ditempatkan di luar negeri. Insentif ini masih dalam tahap finalisasi, namun diharapkan dapat segera berlaku dalam satu bulan ke depan. Tujuannya, dana tersebut bisa kembali masuk ke perbankan domestik sehingga menambah likuiditas USD di dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita sadar tidak semua dana bersedia untuk dikonversikan ke Rupiah namun economic substance yang ingin dicapai tentunya agar dana valas tersebut dikelola di dalam negeri dan digunakan untuk mendukung aktivitas bisnis serta investasi nasional. Tambahan likuiditas ini menurut Menkeu, penting untuk membiayai proyek-proyek strategis seperti hilirisasi yang memang membutuhkan aliran dana USD dalam jumlah besar. Meningkatnya simpanan USD di dalam negeri juga berpotensi memperkuat cadangan devisa negara secara tidak langsung.
Inisiatif ini merupakan kelanjutan dari berbagai langkah sebelumnya, seperti kewajiban penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan dalam negeri.
Kebutuhan Likuiditas Valas Dalam Negeri
Berdasarkan data per Juni 2025, Dana Pihak Ketiga (DPK) valas perbankan mencapai Rp1.482 triliun, sementara kredit valas sebesar Rp1.229 triliun. Dengan demikian, Loan-to-Deposit Ratio (LDR) valas berada di kisaran 81%-83%.
Angka tersebut mencerminkan kondisi likuiditas USD yang relatif sehat, meskipun sudah mendekati batas atas rata-rata LDR lima tahun terakhir (81%). Namun, LDR perlu dipandang dalam konteks permintaan ke depan. Jika proyek-proyek besar seperti hilirisasi benar-benar terealisasi, permintaan USD untuk impor barang modal akan meningkat sehingga bisa saja menekan likuiditas.
Kebutuhan USD berasal dari impor, belanja modal perusahaan, kredit valas, pembayaran bunga, hingga repatriasi keuntungan. Mengukur gap antara pasokan dan permintaan USD memang tidak mudah. Namun jika ekspansi swasta dan pemerintah berlangsung massif, tambahan pasokan valas domestic menjadi mutlak diperlukan.
Saat ini cadangan devisa Indonesia berada pada posisi aman, yaitu USD 150,7 miliar. Namun, keberlanjutan pasokan valas tetap harus dijaga. Pasokan USD domestik bersumber dari ekspor, Foreign Direct Investment (FDI), arus masuk investasi portofolio, penerbitan global bond, utang luar negeri, serta simpanan valas di perbankan. Ketika FDI dan portfolio inflow tumbuh melambat, perlu ada penyeimbang dari kanal lain.
Jika tambahan supply likuiditas USD ke perbankan diikuti dengan kenaikan Cost of Fund, ini memberikan tuntutan kepada bank untuk lebih efisien dan pandai dalam menyalurkan pembiayaan valas. Menumbuhkan portfolio kredit/pembiayaan valas yang berkualitas sehat merupakan tantangan tersendiri bagi bank. Termasuk juga bank musti cermat dalam menghitung komponen premium risiko dalam skema pembiayaan.
Pajak sebagai Pembeda Utama
Beberapa waktu lalu sempat muncul wacana perbankan menaikkan bunga deposito USD hingga 4% per tahun. Angka ini sebenarnya relatif kompetitif karena setara dengan US SOFR (Secured Overnight Financing Rate) yang saat ini berada di kisaran 4,14% dan mendekati bunga deposito USD tenor 1 bulan I AS (4,055%).
Namun, terdapat faktor pembeda utama: pajak. Indonesia mengenakan pajak bunga deposito sebesar 20%, sedangkan Singapura, misalnya, tidak mengenakan pajak untuk deposito individu. Perbedaan tingkat pengenaan pajak penghasilan bagi individu dan bagi korporasi di setiap yurisdiksi juga menentukan. Perbedaan struktur tarif pajak antarnegara menjadi faktor penting yang membuat simpanan valas di luar negeri lebih menarik.
Selain imbal hasil dan pajak, diversifikasi juga menjadi pertimbangan investor, terutama kalangan High Net Worth Individual (HNWI) dan nasabah private banking. Wajar bila mereka menyebar simpanan dan investasinya ke berbagai yurisdiksi, bank, maupun instrumen. Contohnya, di Indonesia penjaminan simpanan LPS berlaku maksimal Rp2 miliar per bank.
Insentif yang Tepat Sasaran
Sejumlah inisiatif pemerintah dan BI sebelumnya, seperti kewajiban penggunaan Rupiah, kebijakan DHE Valas, penerbitan instrument pasar uang valas dan obligasi, hingga penerbitan Patriot Bond oleh Danantara, terbukti cukup berhasil. Ke depan, langkah-langkah tersebut perlu terus diperkaya dengan insentif yang tepat sasaran agar dana luar negeri kembali masuk ke Indonesia. Kita juga perlu menjaga kepastian jangka panjang insentif agar dana bertahan di Indonesia, bukan sekedar one-off inflow.
Insentif perpajakan dan infrastrukturnya kiranya merupakan hal yang sangat krusial. Insentif perpajakan pernah diberikan untuk penempatan rekening khusus DHE valas. Pajak coupon obligasi dalam negeri juga sudah diberikan pengurangan. Kiranya paket insentif pajak atas simpanan valas dalam negeri yang terukur bisa dikaji oleh pemerintah. Tentu saja harus ada perhitungan cost dan benefit yang jelas. Insentif ini mungkin tidak hanya diberikan untuk simpanan perbankan tetapi juga untuk pengelolaan dana valas di dalam negeri oleh manajer investasi dan family office.
Selain melalui simpanan regular di perbankan, kanal masuk dana valas juga dapat diperluas melalui inovasi produk seperti simpanan terstruktur, multi-currency accounts, reksadana valas, USD ETF (Exchange Traded Funds), NCD valas, private equity, produk investasi emas, Shariah Restricted Investment Account (SRIA), serta pembiayaan berbasis portofolio investasi. Penerbitan Patriot Bond valas atau obligasi jangka menengah di dalam negeri juga bisa menjadi opsi, asalkan disertai mekanisme back-stop likuiditas yang memadai.
Inovasi layanan perbankan, termasuk kapabilitas kustodian, juga perlu diperkuat agar siap mengakomodasi kompleksitas produk dan kebutuhan investor global.
Kemal Aditya. Bankir dan Praktisi Keuangan Syariah
Tonton juga video "Firli soal Temuan Bukti Tukar Valas Rp 7,4 M: Saya Percayakan ke Penyidik" di sini:
(imk/imk)