Wacana importasi satu pintu minyak bumi melalui Pertamina bukan sepenuhnya tepat. Kelangkaan di SPBU swasta tidak bisa langsung dijadikan alasan menuduh Pertamina hendak melakukan monopoli.
Berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Perpres 191/2014, setiap badan usaha memiliki hak dan kesempatan yang sama melakukan impor minyak bumi, asalkan mendapat rekomendasi dari Kementerian ESDM dan izin dari Kementerian Perdagangan. Lalu mengapa narasi monopoli mengemuka?
Dalam melihat dinamika impor, penting menggunakan data dan fakta agar tidak terjebak asumsi yang melemahkan kepercayaan publik. Pertanyaan utamanya: apakah pemerintah membatasi hak swasta, atau justru menjaga stabilitas pasokan dan permintaan?
Dalam ilmu kebijakan publik, fungsi pemerintah adalah stabilisator. Regulasi dibuat untuk menyeimbangkan kebutuhan masyarakat dengan keberlanjutan ekonomi. Membuka keran impor tanpa kendali hanya memperbesar defisit perdagangan, menguras devisa, dan melemahkan ekonomi nasional. Akhirnya rakyat juga yang menanggung dampaknya.
Karena itu, kebijakan impor tidak bisa selalu populis, melainkan teknokratik dan terukur. Jika ada yang menilai impor melalui Pertamina sebagai monopoli, sesungguhnya itu instrumen stabilisasi.
Instrumen Geopolitik
Minyak bumi bukan lagi sekadar komoditas konsumtif. Bagi Indonesia yang berpopulasi besar, berambisi tumbuh, dan berstatus net importir, diperlukan pengaturan presisi dalam konsumsi minyak.
Ketergantungan berlebihan hanya akan menggerus kemandirian dan mengancam kedaulatan. Apalagi minyak masih menyumbang 28,82 persen dalam bauran energi nasional 2024.
Produksi nasional yang lemah membuat celah konsumsi-produksi hampir menembus 1 juta barel per hari. Fakta ini harus menjadi dasar pengambilan kebijakan. Pertanyaannya: apakah kebutuhan itu berarti harus membuka keran impor secara bebas?
Sebagai negara dengan rezim ekonomi terbuka, persaingan sehat tetap dijamin. Pasal 9 ayat (1) huruf d UU 22/2001 menegaskan swasta dapat melaksanakan usaha hilir, mulai pengolahan hingga niaga. Namun, kebolehan ini tidak berarti pemerintah kehilangan kendali. Minyak sebagai komoditas strategis tetap harus dijaga standar, mutu, dan harga yang wajar.
Karena itu, menyerahkan pemenuhan konsumsi sepenuhnya pada mekanisme pasar berisiko besar. Impor tanpa kendali sama saja seperti bara dalam sekam-tampak menjanjikan, namun rapuh dan berbahaya. Devisa terkuras, ketahanan ekonomi melemah.
Lebih jauh, liberalisasi impor berlebihan memperbesar risiko geopolitik: perang, terorisme, atau ketegangan antarnegara dapat langsung mengguncang stabilitas energi. Ketergantungan pada minyak dengan harga fluktuatif ibarat membuka kotak pandora.
Percaya pada Pemerintah
Situasi global sedang tidak stabil. Karena itu, impor minyak tidak bisa dilihat hanya dari sisi ekonomi atau perdagangan. Ini sudah menyangkut integrasi kebijakan publik. Memberikan mandat kepada Pertamina adalah langkah mitigasi agar kendali strategis negara tetap terarah. Tugas publik adalah memastikan Pertamina bekerja transparan dan akuntabel.
Faktanya, swasta tetap mendapat kuota impor sepanjang 2025, hanya saja serapan publik begitu tinggi sehingga kuota cepat habis. Memang, kasus dugaan penyimpangan minyak oplosan sempat menurunkan kepercayaan publik kepada Pertamina. Namun, menjadikan itu alasan menolak seluruh peran Pertamina jelas tidak bijak.
Krisis kepercayaan adalah satu hal, sementara liberalisasi impor adalah hal lain. Pemerintah perlu diberi waktu membuktikan kinerjanya. Publik berhak mengawasi, tetapi dengan kepala dingin, bukan sekadar menuding semua kebijakan salah.
Merdeka!
Imaduddin Hamid, S.I.A., M.A. Peminat Isu Kebijakan Publik / Alumni Analisis Kebijakan Publik UI
(ega/ega)