Kolom

Tantangan Menkeu Baru dalam Menyelaraskan Fiskal dan Moneter

Cucun Ahmad Syamsurijal - detikNews
Kamis, 18 Sep 2025 09:54 WIB
Foto Cucun Ahmad Syamsurijal: (dok.Istimewa)
Jakarta -

Salah satu problem klasik dalam sejarah ekonomi Indonesia adalah kebijakan fiskal dan moneter yang sering kali tidak seiring sejalan.

Padahal secara teori, keduanya harus saling mendukung, seiring dan seirama. Kebijakan fiskal mengatur penerimaan dan belanja negara, sedangkan kebijakan moneter mengendalikan stabilitas harga, likuiditas, dan nilai tukar. Namun, dalam praktiknya, koordinasi sering kali tidak berjalan baik.

Misalnya, ketika pemerintah meningkatkan belanja untuk mendorong aktivitas industri, pada saat yang sama Bank Indonesia menaikkan suku bunganya dengan dalih meredam inflasi. Alih-alih saling menguatkan, kebijakan seperti ini justru akan melemahkan efektivitas kebijakan yang satu dengan yang lain. Pemerintah mendorong daya beli dengan meningkatkan jumlah uang beredar melalui meningkatkan belanja modal, sementara suku bunga tinggi menekan investasi dan permintaan kredit. Hasil akhirnya adalah beban fiskal meningkat, tetapi inflasi tidak sepenuhnya terkendali.

Sebaliknya, saat Bank Indonesia melakukan pelonggaran moneter dengan menurunkan suku bunga atau menambah likuiditas, belanja modal pemerintah terutama pemerintah daerah sering kali terlambat direalisasikan. Uang sudah tersedia, tetapi proyek infrastruktur tidak segera berjalan karena hambatan birokrasi dan administrasi. Akibatnya, stimulus moneter kehilangan momentum dan gagal mendorong pertumbuhan sebagaimana yang diharapkan.


Kebijakan yang "Offside"

Masalah koordinasi ini semakin rumit setelah adanya kebijakan "offside" antara Bank Indonesia dengan pemerintah dalam hal pengendalian inflasi. Selama ini, publik sering beranggapan bahwa inflasi hanya bisa dikendalikan oleh bank sentral. Padahal, sebagian besar inflasi di Indonesia bersumber dari sisi supply. Volatilitas harga beras, cabai, bawang, telur, atau bahan bakar minyak (BBM) lebih banyak disebabkan oleh instabilitas di sisi penawaran alih-alih naik turunnya permintaan.

Ketika pasokan pangan terganggu karena gagal panen, perubahan iklim, atau distribusi yang mahal akibat infrastruktur logistik yang lemah, harga-harga melonjak. Bank Indonesia kemudian menaikkan suku bunga, tetapi langkah ini tidak serta-merta menambah pasokan pangan. Inflasi tetap tinggi meskipun kredit ke dunia usaha ikut tertekan. Kebijakan Bank Indonesia ini masuk ke dalam kategori kebijakan yang "offside" karena masuk ke ranah bidang lain.

Sebagai contoh, krisis harga beras 2023-2024 lebih banyak dipicu oleh penurunan produksi akibat El Niño. Pemerintah berusaha menambal dengan impor, namun koordinasi antar kementerian lambat. Dalam kondisi seperti itu, kebijakan moneter yang lebih ketat tidak akan bisa mengatasi akar masalah. Justru peran fiskal-melalui subsidi pupuk, perbaikan irigasi, dan manajemen cadangan beras pemerintah-yang lebih menentukan.

Namun anehnya, anggaran kebijakan moneter setiap tahunnya sering kali mengalami peningkatan padahal sumber inflasi lebih banyak disebabkan oleh sisi penawaran yang tidak memerlukan campur tangan otoritas kebijakan moneter. Idealnya, anggaran kebijakan moneter naik turun tergantung dari kebutuhan campur tangan otoritas kebijakan moneter dalam memengaruhi stabilitas inflasi dan nilai tukar.


Tantangan Menteri Keuangan Baru

Menteri Keuangan baru menghadapi pekerjaan rumah yang tidak ringan terutama dalam kaitannya membangun keselarasan kebijakan fiskal dan moneter. Ada beberapa hal yang akan menjadi tantangan Menteri Keuangan baru dalam jangka pendek. Pertama, membangun koordinasi yang kuat. Selama ini koordinasi fiskal-moneter lebih bersifat simbolis, hanya sebatas rapat formal antar lembaga. Padahal, diperlukan mekanisme berbasis data real-time yang memungkinkan Bank Indonesia dan Kemenkeu merespons cepat gejolak harga, pergerakan modal, dan perubahan likuiditas.

Kedua, fokus pada inflasi pangan dan energi. Lebih dari 40% komponen inflasi berasal dari pangan bergejolak (volatile food). Oleh karena itu, fiskal harus diarahkan ke stabilisasi harga pangan melalui investasi infrastruktur rantai pasok, penyediaan cold storage, serta cadangan pangan strategis yang bisa digerakkan setiap saat.

Ketiga, pengelolaan utang dan defisit. Saat moneter mengetat, defisit fiskal yang melebar akan menambah tekanan pada biaya utang pemerintah. Menteri Keuangan baru perlu melakukan prioritisasi: hanya belanja produktif yang memberi efek ganda (multiplier effect) yang diperbesar, sementara belanja konsumtif ditekan.

Keempat, waspada terhadap dinamika global. Arus keluar modal asing (capital outflow) bisa terjadi kapan saja seiring dengan ketidakpastian yang semakin meningkat. Tanpa koordinasi erat, kebijakan fiskal dan moneter bisa kehilangan efektivitasnya. Oleh karena itu, sinkronisasi kebijakan menjadi hal mutlak.

Untuk melewati berbagai tantangan tersebut maka ada beberapa langkah teknis yang harus dilakukan Menteri Keuangan baru. Menteri Keuangan harus menghidupkan forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk melakukan koordinasi proaktif dengan otoritas kebijakan moneter dan keuangan. Bukan hanya pertemuan triwulanan, melainkan forum koordinasi mingguan atau bulanan dengan fokus pada proyeksi inflasi dan realisasi APBN. Dengan begitu, kebijakan fiskal bisa seiring, sejalan, dan seirama dengan arah kebijakan moneter.

Manteri Keuangan yang baru harus arahkan belanja fiskal pada sisi produksi. Misalnya perbaikan irigasi pertanian, pembangunan pelabuhan logistik, pemberian insentif pajak bagi industri pupuk, dan program hilirisasi pertanian. Dengan demikian, inflasi bisa ditekan dari akarnya.

Langkah berikutnya yang harus dilakukan Menteri Keuangan yang baru adalah mengintegrasikan data dan dalam waktu bersamaan melakukan digitalisasi. Melalui integrasi dan digitalisasi, pergerakan belanja pemerintah bisa terbaca secara real time yang dapat mengidentifikasi penyerapan anggaran di Kementerian/Lembaga yang masih rendah, dan kemudian dialihkan untuk kebutuhan pembangunan lainnya. Dengan langkah itu, Bank Indonesia bisa menyesuaikan likuiditas lebih cepat dan tepat.

Langkah selanjutnya adalah subsidi yang adaptif. Subsidi BBM dan energi sebaiknya menggunakan mekanisme automatic stabilizer, yaitu menurun secara otomatis ketika harga energi global turun, dan naik ketika harga melonjak. Dengan begitu, kebijakan fiskal lebih fleksibel dan tidak selalu bertabrakan dengan moneter.

Langkah terakhir yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan yang baru adalah memperkuat komunikasi publik. Kebingungan publik sering muncul karena Bank Inodnesia dan Kemenkeu memberikan pesan berbeda. Menteri Keuangan baru harus berkomitmen membangun komunikasi satu suara dengan bank sentral agar pasar lebih percaya diri.


Menatap Masa Depan


Koordinasi fiskal dan moneter ibarat dua sisi mata uang. Tidak ada kebijakan moneter yang bisa berhasil tanpa dukungan fiskal, dan sebaliknya. Negara-negara yang berhasil menjaga stabilitas ekonomi-seperti Korea Selatan atau Singapura-mampu menyatukan arah kebijakan fiskal dan moneternya dalam satu narasi yang jelas.

Indonesia membutuhkan hal yang sama. Apalagi ke depan, tantangan semakin berat, transisi energi yang butuh pembiayaan besar, ancaman perubahan iklim yang menekan pangan, serta geopolitik global yang memengaruhi harga minyak dan komoditas. Tanpa koordinasi yang kuat, risiko ketidakstabilan makroekonomi akan semakin tinggi.

Menteri Keuangan baru dituntut bukan sekadar mengelola APBN, tetapi juga menjadi jembatan utama antara kebijakan fiskal dan moneter. Dengan kepemimpinan yang kuat, komunikasi yang jelas, dan keberanian mengambil keputusan strategis, sinkronisasi fiskal dan moneter bisa menjadi landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang stabil, inklusif, dan berkelanjutan.

Khusus dalam bidang kebijakan fiskal, keberpihakan Presiden Prabowo yang menekankan program-program kerakyatan perlu diterjemahkan dengan tepat oleh Menteri Keuangan ke dalam prioritas anggaran negara. Pada saat yang sama, pemerintah juga perlu konsisten mengurangi belanja-belanja yang tidak produktif, sehingga ruang fiskal dapat diarahkan sepenuhnya untuk mendukung agenda pembangunan yang pro-rakyat. Dengan demikian, setiap program dan alokasi anggaran tidak sekadar menjadi instrumen teknokratis, tetapi benar-benar berfungsi sebagai alat negara untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Cucun Ahmad Syamsurijal. Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum PKB

Simak juga Video 'Menkeu Ungkap Dirut Bank Sekarang Pusing':




(yld/yld)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork