Kolom

Identifikasi Bahaya Laten Pembangunan yang Tidak Berkelanjutan

Ica Wulansari - detikNews
Selasa, 16 Sep 2025 19:15 WIB
Ilustrasi / Foto: iStock
Jakarta -

Dalam kurun waktu satu bulan ini, gejolak politik dan sosial mengalami eskalasi. Eskalasi ini tentu tidak terjadi di ruang hampa karena terjadi sistemik di tengah kebijakan pemerintah yang belum menunjukkan keberpihakan kepada warga yang diikuti oleh laku Dewan Perwakilan Rakyat yang setali tiga uang dengan pemerintah.

Di tengah ketidakpuasan publik yang telah berlangsung dengan eskalasi yang tegang pada awal pemerintahan baru Presiden Prabowo, pemerintah dan anggota dewan tidak memberikan respon serius terhadap kritik publik, bahkan memberikan respon yang bernada merendahkan kepada warga hingga mempertontonkan tindakan yang tidak sensitif terhadap penderitaan rakyat. Sementara itu, kepastian hukum dan keadilan menjadi 'penambah beban' rakyat ketika berhadapan dengan situasi ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

Kondisi sistemik yang telah berlangsung cukup lama dalam lintas kepemimpinan dengan tanpa perubahan yang sistemik dan transformatif disertai dengan berbagai tekanan hidup menyebabkan 'kemarahan' publik menjadi tidak terbendung. Namun, kekecewaan dan kemarahan publik pun belum mendapatkan respon pemerintah yang diharapkan oleh warga yaitu pembenahan sistemik baik pemerintahan nasional, lembaga eksekutif, lembaga peradilan dan lembaga keamanan negara.

Saat ini, kondisi Indonesia tengah berada di persimpangan jalan. Kontradiksi antara pengelola negara dan kehendak rakyat nampak meruncing sehingga akan menyebabkan ketidakpastian di semua sektor penghidupan. Tulisan ini hendak menyoroti bagaimana posisi Indonesia yang mengalami resiko akibat krisis lingkungan hidup dan ancaman perubahan iklim sehingga rentan terdampak bencana dan semakin menjauhi arah pembangunan yang berkelanjutan.

Berdasarkan indeks perubahan iklim dari CCPI (Climate Change Performance Index) tahun 2024 menunjukkan Indonesia berada di posisi ke-42 dengan keseluruhan indeks meliputi pengurangan emisi gas rumah kaca, kebijakan dan penggunaan energi yang berkelanjutan serta kebijakan perubahan iklim dengan 'rapot merah'. Sementara itu, dalam laporan World Risk Report tahun 2023 menempatkan Indonesia sebagai negara kedua berisiko terpapar bencana dalam tingkat global. Data pelengkap lain yang lebih rinci dari Climate Action Tracker yang diluncurkan pada 10 Desember 2024 menunjukkan bahwa Indonesia dalam 'rapot merah' untuk adaptasi menghadapi perubahan iklim.

Target, komitmen dan kebijakan Indonesia berada dalam kriteria 'kritis' sehingga tidak memadai untuk mencapai target dalam Perjanjian Paris untuk menahan laju emisi karbon global tidak lebih dari 1,5°C. Rapot merah tersebut mencakup kebijakan mitigasi perubahan iklim, pengurangan deforestasi, hingga kebijakan emisi nol karbon yang tidak memadai. Melengkapi data-data tersebut, Indonesia berada di rangking ke-70 dalam Security Sustainability Index (SSI) yang menunjukkan Indonesia menghadapi resiko dalam stabilitas nasional terutama dalam tata kelola dan pengelolaan sumber daya alamnya. Indonesia berada dalam bahaya karena mengalami degradasi sumber daya alam dan bersamaan dengan menghadapi bahaya perubahan iklim. Degradasi sumber daya alam tersebut dipengaruhi oleh tata kelola dan kelembagaan yang belum menunjukkan transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa angka kemiskinan turun sebesar 0,10 persen berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik) pada Maret 2025. Sedangkan, Rasio Gini di Indonesia mengalami kenaikan pada tahun 2024 dari 0,379 menjadi 0,381 artinya kesenjangan terjadi cukup tinggi dimana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin menjadi lebih rentan. Data kesenjangan dalam Rasio Gini memberikan ilustrasi kesenjangan di perkotaan yang didukung oleh data kemiskinan BPS.

Data BPS tahun 2024 menunjukkan jumlah penduduk miskin perkotaan mengalami peningkatan dari 6,66% pada September 2024 menjadi 6,73% pada Maret 2025. Selain itu, jumlah penduduk miskin pedesaan mengalami penurunan yang dipengaruhi oleh penghidupan dalam sektor pertanian. Data BPS tahun 2024 menunjukkan proporsi pekerja dalam sektor pertanian menempati 28,18% dengan jumlah 40,75 juta jiwa menjadi yang tertinggi dalam statistik ketenagakerjaan di Indonesia. Melihat data-data tersebut menunjukkan bahwa kelompok rentan di Indonesia cukup tinggi dan penghidupan pertanian menjadi bukti berkontribusi bagi sektor ketenagakerjaan. Akan tetapi, berbagai kebijakan pemerintah terutama kebijakan pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi menyebabkan Indonesia berpotensi pada pembangunan yang tidak berkelanjutan dan menghadapi bahaya maladaptasi terhadap perubahan iklim.

Jargon yang kerap dilontarkan oleh politisi adalah Indonesia kaya akan sumber daya alam, nampaknya menjadi narasi using saat ini. Betapa tidak industri ekstraktif telah menyebabkan deforstasi dan kerusakan hutan dan lahan yang cukup serius. Menurut Global Forest Watch bahwa deforestasi di Indonesia antara tahun 2001 hingga 2024 telah mengurangi tutupan hutan hingga 76% sehingga Indonesia turut berkontribusi terhadap meningkatnya karbondioksida. Kerusakan hutan dan lahan tidak dapat dipisahkan dengan laku kebijakan ekonomi politik dan kuasa power terkait energi dan komoditas mineral. Laku ekonomi politik tersebut seiring dengan kecenderungan global. Misalnya pada masa tahun 1970-1990-an masa keemasan pertambangan bahan bakar minyak bumi maupun gas alam yang diikuti dengan peristiwa politik, konflik dan kekerasan terhadap masyarakat sipil. Kecenderungan industri ekstraktif beralih pasca reformasi di mana trend global akan sawit yang kemudian menyebabkan Indonesia semakin kehilangan lahan hutan dan lahan gambutnya.

Trend industri ekstraktif era 2019 hingga saat ini beralih ke industri penopang bahan baku baterai kendaraan listrik. Berbagai jenis industri ekstraktif tersebut diikuti dengan pengelolaan sumber daya alam yang tidak transparan, politik rente, dan memperkaya para penguasa dan pengusaha yang berpadu dalam struktur oligarki. Sehingga perputaran kapital yang berasal dari sumber daya yang menjadi bahan baku ekstraktif menjadi semakin menggelembung, baik kapital ekonomi yang menjadikan pelaku semakin kaya, memiliki kapital politik karena menjadi bagian atau pun jejaring pusat kekuasaan, dan kapital alam dengan jargon nasionalisme dan upaya menarik investasi yang kemudian menyebabkan penghisapan kapital terhadap warga tempatan dan menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang masif. Logika komoditas berpadu dengan power dan akumulasi kapital oleh aktor elit abai terhadap standar-standar berkelanjutan dan sensitifitas sosial karena proses perumusan kebijakan tidak partisipatif. Namun, ketika terjadi resiko akibat proses maupun kegiatan industri ekstraktif tersebut hanya akan mendistribusikan bencana kepada warga tempatan sehingga kerentanan berlapis dialami oleh warga.

Selain permasalahan pembangunan yang belum mendukung keberlanjutan, Indonesia diperhadapkan dengan perubahan iklim. Perubahan iklim merupakan bahaya laten yang membutuhkan perangkat adaptasi dan mitigasi. Upaya minimal bagi warga agar adaptif menghadapi perubahan iklim diawali oleh kebijakan pembangunan yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Apabila kebijakan yang tidak mendukung pembangunan berkelanjutan, maka tahapan untuk melakukan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim menjadi sulit dan berliku. Di samping itu, untuk menjadi adaptif terhadap perubahan iklim membutuhkan partisipasi warga. Mengapa? Karena kondisi geografi, sosial, budaya, ekonomi di suatu tempatan memiliki kondisi unik yang berbeda dengan lokasi lainnya, maka pada dasarnya adaptasi membutuhkan keragaman. Namun, bagaimana mungkin keragaman dapat dipraktekkan apabila struktur politik yang tidak demokratis memaksakan homogenitas narasi, pikir dan laku dan menutup kapasitas partisipasi dan kapasitas adaptif warga atau masyarakat sipil.

Ica Wulansari. Pengkaji isu sosial-ekologi. Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina

Lihat juga Video: Bahaya Laten dari Umat Munafik




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork