Kolom

Guru Antara Profesi dan Kerja Bakti

Denny Kodrat - detikNews
Kamis, 11 Sep 2025 16:12 WIB
Foto: Ilustrasi guru (detikcom/ilustrasi/thinkstock)
Jakarta -

Pernyataan Menteri Agama, Nasaruddin Umar meski sudah meminta maaf dan tidak berniat menyinggung profesi guru, bahwa "...kalau mau mencari uang jangan jadi guru, melainkan menjadi pedagang," menjadi gambaran di pejabat publik bahwa betapa seorang guru harus siap dengan kesejahteraan yang minim dibandingkan profesi bisnis.

Pernyataan sang menteri ini seolah-olah mengkonfirmasi masih banyaknya guru baik yang dikelola di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah belum mendapatkan penghasilan yang layak.

Publik bereaksi atas pernyataan ini mengingat seharusnya orang nomor satu di kementerian sebagai instansi pembina guru menerbitkan kebijakan yang dapat memperbaiki penghasilan guru sebagai upaya mengakselerasi peningkatan mutu pembelajaran.

Gaji guru di Indonesia berada pada posisi terbawah di ASEAN, beda satu peringkat di bawah Timor Leste. Negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam memberikan gaji guru di kisaran 7-75 juta rupiah.

Diperlukan political will pemerintah untuk memperbaiki gaji guru di Indonesia sehingga ia menjadi profesi yang menjadi magnet bagi para lulusan perguruan tinggi terbaik yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Ia akan memilih menjadi guru dibandingkan bekerja di perusahaan multinasional seperti Google karena bayarannya layak (well-paid).

Guru: Profesi atau Kerja Bakti?

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan secara eksplisit bahwa guru merupakan pendidik profesional. Dalam regulasi tersebut dinyatakan guru merupakan profesi.

Ia berada pada sektor formal. Konsekuensinya, negara wajib menjamin kesejahteraan guru, bukan mengabaikan fakta buram kecilnya gaji guru dengan kalimat guru tidak boleh mencari uang. Seolah-olah mewajarkan realitas masih banyaknya guru-guru madrasah diniyah yang berada di bawah Kementerian Agama digaji sangat minim dan tidak layak.

Hal itu pernah disampaikan oleh Menteri Agama pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII, 12 Maret 2025. Ia menyebutkan guru di madrasah diupah 100 ribu rupiah per-bulan. Padahal sebagai profesi yang dijamin undang-undang, pemerintah tinggal mewajibkan satuan pendidikan dan badan penyelenggara pendidikan memberi gaji guru secara layak.

Seandainya satuan pendidikan dan badan penyelenggara pendidikan kesulitan memberikan gaji yang layak, pemerintah membuat skema bantuan untuk penggajian guru tersebut.

Selama ini pemerintah nampaknya merasa cukup dalam memberikan bantuan penghasilan kepada guru melalui tunjangan profesi guru sebesar 2 juta rupiah. Untuk guru ASN, take home pay yang diperoleh di atas upah minimum kabupaten/kota/provinsi. Namun berbeda dengan guru non ASN.

Penghasilan yang diperoleh tergantung kekuatan fiskal badan penyelenggara pendidikannya (yayasan). Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah pusat dan daerah terkadang berubah menjadi Bantuan Operasional Yayasan (BOY) Alokasi gaji guru non ASN yang bekerja di sekolah swasta tersebut yang diambil dari dana BOS diberikan sesuai keinginan badan penyelenggara. Umumnya memperoleh gaji di bawah upah minimum kabupaten/kota/provinsi.

Oleh karena itu, tunjangan profesi guru menjadi oase di tengah gurun pasir bagi guru non ASN khususnya, di tengah tidak layaknya penghasilan yang didapatkan oleh dirinya. Sementara itu, guru yang mengajar di madrasah pada jalur pendidikan non formal, seperti madrasah diniyyah, guru ngaji sulit mendapatkan tunjangan profesi guru.

Dipastikan penghasilan mereka minim dan tidak layak. Bantuan terhadap guru madrasah diniyyah ini kadang muncul saat kampanye pilkada yang realisasinya jauh panggang dari api.

Seandainya negara memandang guru sebagai profesi strategis dalam meningkatkan sumber daya manusia (human capital) dan pembentukan peradaban, anggaran pendidikan 20% seharusnya diprioritaskan untuk kesejahteraan guru.

Ironisnya, di tahun 2026 ini, alokasi untuk guru dan dosen, dialokasikan 178,7 triliun (23%), masih kalah oleh makan bergizi gratis yang awalnya dialokasikan dari anggaran pendidikan sebesar 335 triliun (44%) menjadi 223,6 triliun (29%). Alih-alih pemerintah berani membuat terobosan untuk menaikan gaji guru, menteri keuangan curhat mengenai persoalan ini dengan melemparkan wacana apakah gaji guru ini harus full ditanggung APBN ataukah melibatkan partisipasi masyarakat.

Justru negara yang berkewajiban menggaji guru lebih tinggi dari profesi lain, jika ia ingin negeri ini maju. Pertimbangan kenaikan gaji guru bukan didasarkan atas kepentingan politik, namun lebih kepada profesi guru yang bertugas menyiapkan generasi muda sebagai penerus peradaban. Tidak akan ada profesi atau pemimpin selanjutnya, bila tidak ada guru. Oleh karena itu, negara maju seperti Jepang, Singapura, Amerika Serikat, menjadikan profesi guru ini tidak tergantikan oleh apapun, termasuk kecerdasan buatan (Artificial Intelligent).

Namun, membaca peta situasi ini, profesi guru masih dianggap sebagai "profesi kerja bakti". Ia dibayar dengan kata "pengabdian", "pekerjaan mulia" dan "ikhlas", seolah-olah menuntut penghasilan layak, minimal sama dengan upah minimum daerah, dianggap tabu dan merusak kemuliaan profesi guru.

Absennya regulasi yang memaksa badan penyelenggara memberikan gaji guru sesuai standar ketenagakerjaan, dimanfaatkan oleh banyak badan penyelenggara. Bercampur-aduknya misi badan penyelenggara yang nirlaba dan sosial, dengan penggajian guru mengakibatkan guru secara praksis tetap dipandang sebagai pengabdian, kerja bakti, bukan profesi sebagai pendidik profesional.

Dampaknya, kesejahteraan yang rendah mempengaruhi cara ia mendidik dan mengajar. Guru terbatas dalam pengembangan profesinya karena ketiadaan dana. Ia harus mencari penghasilan tambahan baik di sektor pendidikan dan tidak sedikit di sektor lain. Ujungnya, layanan pembelajaran bagi siswa tidak optimal.

Profesi Bermutu

Selama ini dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan khususnya guru lebih terfokus pada training, pendidikan dan pelatihan atau bimbingan teknis. Langkah memperbaiki penghasilan guru dengan menaikkan tunjangan profesi guru, bantuan sosial atau mengumpulkan seluruh badan penyelenggara pendidikan untuk diperintahkan menyesuaikan gaji guru sesuai dengan upah minimum daerah berdasarkan regulasi nyaris tidak terdengar, padahal perbaikan penghasilan akan berdampak juga pada layanan pembelajaran.

Pekerjaan rumah pemerintah mengurai kusutnya masalah penghasilan guru ini dilihat dari kompleksnya pemberi kerja (employer) dan kementerian pembinanya. Pemberi kerja guru bisa dari badan penyelenggara yang notabene swasta, didirikan dan dikelola oleh masyarakat. Standar penghasilannya ditetapkan oleh badan penyelenggara sendiri. Sehingga cara badan penyelenggara menggaji guru pun beragam.

Kadang tergantung banyak atau sedikitnya siswa ditambah jumlah jam mengajar dalam satu pekan. Sering kali penghitungan gajinya jumlah jam mengajar dalam satu pekan dibayar setiap bulan, tanpa dikalikan empat atau lima pekan. Ada juga pembayarannya berdasarkan jumlah pertemuan ditambah dengan transportasi. Kementerian pembinanya pun bisa dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, dan juga Kementerian Sosial.

Tentu saja bagi guru, tidak penting bagaimana skema ia mendapatkan gaji atau siapa kementerian pembinanya, terpenting penghasilan yang diperolehnya layak. Di sinilah sesungguhnya kebijakan terobosan pemerintahan Prabowo dinanti oleh guru. Ciri guru sebagai profesi bermutu, ia akan menjalankan tugas dan fungsi profesinya berdasarkan standar yang telah ditentukan.

Guru wajib memenuhi standar kepribadian, sosial, profesional dan pedagogik. Sebagai bentuk akuntabilitas profesi guru yang bermutu, negara dapat melakukan uji kompetensi secara berkala untuk menilai pemenuhan standar guru. Dengan telah diberikan penghasilan yang layak, negara dapat membuat regulasi semacam uji kelayakan bagi guru secara periodik. Dengan catatan, negara memandang secara benar guru sebagai profesi bermutu. Wallahu'alam bishawwab.

Denny Kodrat. Pengamat Kebijakan Pendidikan dan Ketua Program Studi Sastra Inggris Universitas Sebelas April.

Simak juga Video Menag: Kalau Mau Cari Uang Jangan Jadi Guru, Jadi Pedaganglah




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork