Satu waktu, saya berkunjung ke pesantren tempat dahulu sekolah. Saya melihat bangunan megah baru sedang dikerjakan. Gedung empat lantai, masjid bertingkat, asrama santri dengan marmer mengilap. Saya tertegun, lalu bertanya pada salah satu ustaz, "Wah, luar biasa, Pak. Semoga makin makmur, ya." Beliau tersenyum, dan berkata, "Alhamdulillah. Doakan semoga semakin makmur."
Cerita ini biasa-biasa saja. Setiap alumni, di mana pun itu, mengalami pemandangan yang sama. Gerbangnya sudah megah. Bangunannya bertingkat. Ada gedung baru, aula ber-AC, dan wifi yang katanya bisa dipakai 24 jam untuk belajar daring.
Tapi perhatikan yang sedang berdiri di hadapanmu: baju yang lebih tua dari umurmu mondok, sarung yang sama hanya tambah lusuh, kopiah, sandal, jam tangan, motor yang semakin batuk-batuk.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kita sering terjebak pada simbol kemajuan pesantren lewat yang terlihat. Tapi kita lupa bahwa esensi pesantren adalah orang: guru, ustazah, dan kiai yang bekerja tanpa lelah. Ironinya, anggaran ratusan juta untuk pembangunan bisa cair dalam sebulan, tapi menambah gaji guru Rp. 200.000 sering dianggap beban.
Baca juga: Efek Bola Salju Lonjakan Jumlah Pesantren |
Mungkin batu bata memang lebih dihargai dari pada manusia yang mengajarkan makna sabar, zuhud, tawakal. Begitukah?
Indonesia memiliki lebih dari 39.000 pesantren, dengan lebih dari 4,5 juta santri dan lebih dari 100 ribu guru, menurut data Kementerian Agama 2023. Tapi hanya sebagian kecil dari mereka yang masuk dalam skema sertifikasi atau bantuan pemerintah. Selebihnya? Hidup dari harapan, dan kadang-maaf-dari belas kasihan.
Hari ini, harga minyak goreng curah di pasar-pasar tradisional berkisar Rp. 16.000-18.000 per liter. Sementara itu, berdasarkan laporan INFID dan Maarif Institute, banyak guru pesantren hanya menerima antara Rp. 500.000 hingga Rp. 1.500.000 per bulan.
Kita tak sedang membandingkan pahala dengan rupiah. Tapi hidup tak bisa dibayar dengan harapan semata. Minyak goreng yang naik, beras yang melonjak, pulsa yang harus dibeli untuk membuka Zoom atau Google Form tugas madrasah.
Guru di pesantren bukan malaikat. Mereka makan, mereka membayar listrik, mereka punya anak yang butuh sekolah. Mereka mengajar sambil berdagang, mengisi waktu dengan mencangkul, atau kadang menulis buku yang tak pernah diterbitkan.
Itu semua bukan metafora keikhlasan, tapi kebutuhan jasmani yang mendesak. Semua itu tak paham apa itu ikhlas. Mereka menuntut dibayar, dan itu sah. Betapa getir hidup yang menggantungkan rezeki dari sistem yang menganggap ikhlas sebagai substitusi upah.
Dalam banyak pesantren, kata 'ikhlas' menjadi mantra yang ampuh. Tapi kadang, terlalu ampuh. Ia membungkam tuntutan, meninabobokan kritik, dan menjadi pagar tinggi bagi perubahan.
Padahal dalam tasawuf klasik, keikhlasan bukanlah pengabaian terhadap hak dasar manusia. Dalam ajaran Imam al-Ghazali, ikhlas adalah membersihkan niat, bukan menghapus hak. Ustaz yang menuntut gaji layak tidak sedang rakus, tapi sedang menagih tanggung jawab moral dari sistem yang mengaku menjunjung tinggi adab.
Apa artinya berbicara tentang maqamat dan ahwal, sementara anak guru tak bisa membeli sepatu? Apa artinya berbicara tentang zuhud, kalau para pengasuh pondok diam-diam hidup berkecukupan, sementara pengajarnya harus mencari tambahan dengan berdagang pulsa atau menjadi marbot?
Bahkan Nabi Muhammad menggaji guru di masjid, menunjuk mereka secara profesional, dan memastikan hak-hak mereka terjamin. Apakah kita lebih paham agama dari Rasulullah?
Spiritualitas bukan berarti melupakan dunia, tapi menata dunia agar tak menindas yang lemah. Dan menuntut gaji layak bukanlah bentuk cinta dunia. Ia justru bentuk tanggung jawab untuk tidak menelantarkan keluarga, menjaga martabat ilmu, dan merawat keberlanjutan amal.
Lalu, apa yang mesti dilakukan?
Pertama, kita harus jujur. Ada kesenjangan besar antara wajah luar pesantren dan kehidupan para pengajarnya. Transparansi dan keberanian untuk mengakui hal ini adalah langkah awal.
Kedua, perlu ada revisi menyeluruh dalam sistem pembiayaan pesantren. Bangunan penting, tapi manusia lebih penting. Ada baiknya setiap pembangunan gedung diiringi audit sosial. Berapa persen dari anggaran disediakan untuk peningkatan kesejahteraan pengajar?
Ketiga, perlu ada intervensi negara. Pemerintah sudah memiliki Program Penguatan Pendidikan Karakter, BOS Pesantren, bahkan tunjangan guru honorer. Tapi selama tidak menyentuh relung ekonomi pengajar pesantren yang swasta dan mandiri, maka ia hanya menjadi basa-basi birokrasi.
Keempat, dari sisi masyarakat dan alumni, sudah saatnya kita tidak hanya menyumbang semen dan keramik, tapi menyisihkan dana rutin untuk kebutuhan guru-guru kita. Ada banyak alumni sukses. Tapi adakah yang menyisihkan 1% penghasilannya untuk guru lama yang mengajarkan huruf hijaiyah?
Guru yang ikhlas tak butuh dipuja. Tapi dia juga tidak pantas dilupakan. Kalau ikhlas adalah bangunan menjulang, maka lihatlah motor butut guru yang saban hari memarkir nasibnya di bawah tangga kantor. Kalau santri sudah naik mobil dan ustaz masih jalan kaki, barangkali kita harus bertanya ulang, kepada siapa pesantren ini sedang ditujukan?
Gaji guru pesantren memang tidak bisa dibandingkan dengan harga pasar. Tapi kehidupan mereka tak bisa terus didefinisikan oleh kata "ikhlas" saja. Kita bisa membangun pesantren tinggi sampai menyentuh langit, tapi jika guru-gurunya tak bisa membeli minyak goreng, maka sesungguhnya bangunan itu kosong.
Ikhlas bukan berarti menyerah. Ia adalah tenaga dalam yang menggerakkan langkah. Tapi bukan alasan untuk menutup mata. Jika hari ini guru-guru pesantren hidup di bawah garis layak, maka barangkali yang kita warisi bukan sistem pendidikan Islam, tapi sistem pengabaian berjubah agama.
Dan itu bukan warisan Nabi. Itu warisan ketimpangan yang diam-diam kita aminkan.
Muhammad Aswar. Dosen STAI Sunan Pandanaran.
Simak juga Video: Jeritan Guru Honorer R4: Gaji Rp 500 Ribuan-Beban Kerja Berat