Tulisan ini bertolak dari pendapat Wawan Sobari dalam artikel "Amandemen Pemilu dan Transformasi Pemilih" (kolom detikcom, 2 Agustus 2025). Tulisan itu menyebutkan bahwa revisi UU Pemilu harus mampu mendorong desain sistem pemilu yang menumbuhkan perilaku pemilih dialogis (argumentatif) dan berintegritas, bukan hanya reaktif, transaksional, dan emosional.
Penulis menilai, desain sistem pemilu memiliki makna determinatif terhadap terbentuknya perilaku pemilih. Tanpa kemudian menegasikan faktor lainnya seperti perubahan demografi penduduk yang cenderung muda, transformasi media sosial dan visual, serta kondisi praktis kebutuhan pekerjaan bagi generasi muda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Amendemen Pemilu dan Transformasi Pemilih |
Desain pemilu merupakan preferensi utama membangun transformasi pemilih agar rasional, memahami isu publik, dan partisipatif terhadap pembangunan.
Wawan memberikan catatan penting bahwa dalam pemilu 2024 faktor persona capres (karisma, citra digital), bukan lagi afiliasi partai yang membuat dinamika pemilih menentukan pilihan di bilik suara.
Temuan ini tentu menarik jika menelaah hasil pemilu 2024 yang anomali. Efek ekor jas yang dalam dua pemilu terakhir didapatkan PDIP dengan kemenangan Joko Widodo dalam Pilpres 2014 dan 2019 tidak terjadi pada Gerindra. Sebagai pengusung utama Prabowo Subianto, Gerindra hanya berada di peringkat 3 nasional, dengan jumlah suara kursi di parlemen yang tidak jauh berbeda dari pemilu 2019.
Faktor Jokowi juga dinilai banyak pengamat dan analisis yang mampu mendorong pendukungnya untuk memilih Prabowo-Gibran. Kekuatan persona, sosok dan karisma menjadi fenomena paling penting dalam pemenangan Prabowo. Menariknya meskipun mereka memilih Prabowo, tetapi pemilih enggan memilih Gerindra sebagai kendaraan utama Prabowo.
Fenomena keterbelahan ini tentu menarik untuk diteliti lebih jauh. Mengapa pemilih tidak sinkron menentukan pilihan politiknya untuk presiden dan partai pengusung utama.
Ketakcocokan Sistem Pemilu
Hal ini semakin menarik jika disandingkan dengan hasil pemilu di AS yang dalam tesis Scott Mainwairing (1999) menyatakan bahwa sistem multipartai dengan desain pemilu proporsional akan sulit dikombinasikan dengan sistem pemerintahan presidensial. Sistem presidensial akan cocok dengan sistem pemilu mayoritarian (sistem distrik).
Namun faktanya, tesis Mainwairing yang merupakan refleksi atas pemilu pada negara-negara Amerika Latin pada kurun 1960-1990 an tersebut tidak berlaku lagi dengan situasi terkini.
Pemerintahan yang terbelah yang terjadi di negara-negara Amerika Latin karena hasil pemilu legislatif sering berbeda dengan hasil pemilu presiden kini tidak lagi terjadi setelah negara ini melakukan pemilihan legislatif dan presiden secara simultan.
Ketika Obama memenangkan presiden, Demokrat sebagai pengusungnya mengalami kekalahan sehingga Obama mengalami kesulitan dalam mengelola pemerintahan.
Situasi tersebut juga dialami SBY dan Jokowi pada periode pertama pemerintahan. Tetapi situasi dapat segera terkendali setelah pergeseran kepemimpinan di partai-partai pengusungnya.
Keserentakan pemilu merupakan jalan tengah agar sistem pemerintahan mayoritas dapat tercapai dengan mutlak, teori tersebut merupakan banyak refleksi dari pemilu di Amerika Selatan. Tetapi faktanya pada pemilu 2024 di Indonesia.
Hasil pemilu untuk Prabowo dan Gerindra tidak sinkron. Fakta ini menunjukkan adanya ketidakselarasan antara teori dan fakta di lapangan.
Hasil ini juga mematahkan asumsi teoritik keserentakan pemilu presiden dan legislatif yang dapat mendorong pemenang minoritas dalam parlemen. Meskipun faktornya tentu tidak hanya keserentakan pemilu, banyak faktor yang kemudian mempengaruhi ketidaksinkronan tersebut.
Sayangnya Wawan tidak memberikan solusi konkret revisi model apa yang diperlukan untuk melakukan transformasi pemilih terhadap desain sistem pemilu yang dapat memperkuat sistem pemerintahan, dalam hal ini sistem presidensial.
Hasil pemilu 2024 ini sejatinya mematahkan fatwa keserentakan pemilu merupakan bagian dari Putusan MK No. 55/PUU-XVII/2019 tetap dalam rangka penguatan sistem pemerintahan presidensial.
Putusan yang digunakan penyelenggara pemilu dalam menyusun melaksanakan pemilu 5 kotak pada 2024 lalu. Putusan yang oleh MK sendiri diperkecil pilihannya menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal pada tahun 2029 dan 2021 melalui Putusan MK No. 135.
Ijtihad Politik
Oleh karena itu, landasan inilah yang juga harus jadi acuan bagi pembuat undang-undang ( DPR dan Pemerintah) dalam rangka menyusun kerangka desain sistem pemilu yang bertujuan untuk memperkuat sistem presidensial sekaligus memperkuat transformasi pemilih serta upaya untuk meningkatkan kelembagaan partai politik.
Dalam konteks ini, desain sistem pemilu menurut penulis akan sangat menentukan arah demokrasi di Indonesia. Selama pemilu-pemilu dilangsungkan sejak 1955 hingga 2024 yang lalu, Indonesia selalu menggunakan sistem proporsional, baik proporsional tertutup maupun terbuka. Alasan kemajemukan dan pluralitas masyarakat menjadi bahan baku mendesain sistem pemilu ini.
Beberapa kali sistem mayoritarian didorong namun partai-partai selalu menolaknya. Seminar Seskoad 1968 pernah mendorong sistem distrik, begitu juga dalam masa transisi pemilu 1999. Partai-partai selalu menolak sistem ini. Proporsional dengan beragam modifikasi selalu jadi pilihan.
Perubahan ekstrem dari sistem proporsional menjadi distrik memang sangat rawan terhadap gejolak. Namun demi perbaikan demokrasi, sistem campuran bisa jadi alternatif untuk mendesain demokrasi semakin substantif. Pengalaman Bolivia bisa jadi tolak ukur bagi Indonesia memperbaiki demokrasi dan memperkuat sistem pemerintahan.
Ahan Syahrul Arifin. Tenaga Ahli di DPR RI, Mahasiswa S-3 di Universitas Brawijaya Malang.
Tonton juga video "Cak Imin Pede PKB Bisa Menang di Pemilu 2029" di sini:
(rdp/imk)