Di penghujung Agustus 2025, Indonesia diguncang kerusuhan yang menguji kembali legitimasi demokrasi. Saat ricuh baru mereda, Presiden Prabowo Subianto menghadiri peringatan Victory Day di Beijing pada 3 September. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan beberapa kalangan tentang ketepatan waktu dan kepekaan politik. Apakah lawatan tersebut menunjukan nirempati terhadap krisis domestik, atau justru kalkulasi dingin untuk meneguhkan posisi Indonesia sekaligus mengirim sinyal politik ke dalam dan luar negeri?
Menilai logika di balik keputusan ini tidak cukup berhenti pada optik politik. Analisis perlu menembus ranah doktrin luar negeri, sumber legitimasi, dan jejak historis strategi Indonesia. Pemimpin bukan hanya penanggap krisis, melainkan penafsir peristiwa yang memberi makna pada momentum meski dengan konsekuensi tidak selalu populer. Dalam kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing dapat dibaca sebagai kalkulasi strategis untuk menempatkan kepentingan strategis jangka panjang di atas sensitivitas politik sesaat.
Diplomasi tidak pernah berlangsung dalam vakum. Setiap lawatan kenegaraan selalu menyasar dua panggung sekaligus: forum internasional dan audiens domestik. Dengan kacamata ini, kunjungan Presiden Prabowo ke Beijing hanya beberapa hari setelah kerusuhan besar bukanlah sekadar respons terhadap undangan negara sahabat, melainkan manuver yang menyasar legitimasi ganda.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi publik domestik, kehadiran tersebut menandai bahwa roda negara tetap berputar dan pemerintah masih memegang kendali.
Bagi komunitas internasional, Indonesia berusaha menunjukkan resiliensi strategis, tetap relevan sebagai kekuatan regional, menjaga jalur dialog dengan kekuatan besar, dan tidak terseret dalam pusaran politik internal.
Dalam kajian hubungan internasional, pola ini selaras dengan teori two-level games Robert Putnam, yang menekankan bahwa kebijakan luar negeri juga berfungsi memperkuat legitimasi politik domestik. Namun pesan seperti itu hanya bermakna bila ditopang kredibilitas yang telah dibangun dan ditindaklanjuti secara konsisten.
Di tengah tatanan global yang semakin labil, kehadiran dalam forum tingkat tinggi hanya berarti jika mencerminkan koherensi arah. Tanpa fondasi doktrinal yang jelas, diplomasi Prabowo mudah terbaca sebagai manuver reaktif, bukan strategi terstruktur. Pertanyaannya bukan lagi apakah kunjungan itu tepat, melainkan apakah lawatan Beijing ini bagian dari strategi yang lebih besar yang dapat dijelaskan ke
audiens dalam maupun ke audiens luar.
Koherensi jangka panjang kebijakan luar negeri Indonesia hanya dapat dipahami dengan meninjau kembali fondasi konseptual yang telah lama menjadi rujukan, yaitu doktrin bebas dan aktif. Gagasan Mohamad Hatta tentang politik luar negeri "bebas dan aktif" lahir dari konteks historis yang sangat berbeda.
Dalam pidatonya pada 1948, Hatta menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh menjadi objek perebutan pengaruh, melainkan subjek yang menentukan sikapnya sendiri. Prinsip ini memungkinkan Indonesia menjaga jarak dari blok besar sekaligus tetap berkontribusi dalam forum internasional, sebuah strategi yang masuk akal di tengah konfigurasi bipolar Perang Dingin. Struktur internasional kini tidak lagi bipolar, melainkan ditandai persaingan terbuka antar kekuatan besar yang saling terhubung melalui value chain, teknologi, dan institusifinansial. Dalam lanskap ini, posisi "bebas" berisiko dibaca sebagai ambigu tanpa arah, sementara sikap "aktif" mudah tereduksi menjadi partisipasi simbolik tanpa bobot substantif.
Kondisi ini menuntut pembaruan doktrinal yang tetap menghargai warisan lama tetapi memperkuat kapasitas adaptasi strategis.
Kebijakan politik luar negeri Indonesia sering oleh pengamat politik dikarakterisasikan dengan konsep 'dynamic equilibrium', atau keimbangan dinamis. Konsep ini terdengar adaptif, namun dalam praktik cenderung deskriptif dan tidak menjelaskan mekanisme strategisnya. Di sinilah Indonesia perlu bergeser dari semata-mata "dinamis" menuju sikap yang lebih "taktis", dari 'dynamic equilibrium' menjadi 'tactical
equilibrium'.
Konsep baru ini menawarkan kerangka alternatif bagi negara middle power untuk mengelola dinamika eksternal dengan otonomi strategis yang menekankan fleksibilitas manuver untuk menjaga keterlibatan dengan kekuatan besar sekaligus memaksimalkan daya tawar dalam kondisi asimetri kekuasaan.
Dalam praktiknya, keseimbangan taktis menuntut kalkulasi ulang yang berkelanjutan atas konstelasi kepentingan global, mulai dari aliansi, isu prioritas, hingga forum dan lawatan apa yang strategis untuk diikuti. Dengan kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing dapat dipahami bukan sebagai keberpihakan atau pengalihan isu domestik, melainkan sebagai upaya strategis mempertahankan ruang diplomasi, memperluas opsi negosiasi, dan menunjukkan bahwa krisis domestik tidak serta-merta mengurangi kapasitas Indonesia untuk terlibat dalam isu strategis global.
Strategi ini menuntut konsistensi narasi dan disiplin institusional. Tanpa kerangka jangka panjang, fleksibilitas mudah bergeser menjadi oportunisme. Sebaliknya, keseimbangan taktis dapat menjadi instrumen penting untuk mempertahankan otonomi strategis, memperluas ruang negosiasi, dan mendorong Indonesia membentuk kontur tatanan kawasan. Dalam kerangka ini, kehadiran Prabowo di Beijing di tengah suasana domestik yang rapuh hanya bermakna jika dibaca sebagai bagian dari narasi historis yang lebih besar tentang posisi Indonesia di regional dan global.
Lawatan ini bukan semata-mata respons seremonial, melainkan upaya konstruksi naratif yang menampilkan Indonesia sebagai aktor yang tetap aktif meski menghadapi krisis sekaligus penyeimbang dalam rivalitas kekuatan besar. Tanpa dimensi historis ini, simbolisme Prabowo duduk sejajar dengan Xi Jinping dan Vladimir Putin mudah dipandang sekadar tata tempat protokoler.
Optik stabilitas yang ditampilkan Prabowo di Beijing tidak dapat dilepaskan dari kondisi domestik pascademo. Stabilitas yang diproyeksikan secara internasional akan selalu diukur dari konsistensi internal dengan melihat sejauh mana pemerintah mampu meredam gejolak, menjaga legitimasi, dan memastikan institusi tetap berfungsi.
Kredibilitas diplomasi hanya bertahan bila ditopang kepercayaan domestik yang kokoh. Tanpa sinkronisasi tersebut, diplomasi mudah dipandang sebagai pertunjukan, bukan strategi.
Kunjungan Prabowo juga memperlihatkan paradoks diplomasi. Bagaimanakah suatu negara dapat menjaga kesinambungan arah luar negeri ketika fondasi domestik terguncang? Langkah ini memang berisiko ditafsirkan sebagai sikap dingin terhadap penderitaan rakyat, tetapi juga mencerminkan kalkulasi bahwa legitimasi jangka panjang hanya terjadi bila negara tetap aktif di panggung internasional.
Pilihan bagi Indonesia bukan sekadar hadir atau absen di forum global, melainkan memastikan setiap langkah diplomasi menjadi strategi jangka panjang. Dunia kini bukan lagi "dua karang", melainkan lautan arus yang bertabrakan. Tantangan Indonesia adalah mendayung dalam badai bukan untuk bertahan, tetapi untuk menentukan dan membangun arah ke depan.
Ujian berikutnya akan segera hadir ketika Prabowo dijadwalkan berpidato di Majelis Umum PBB. Forum ini berbeda dari Beijing. Audiensnya lebih banyak, sorotannya lebih tajam, dan kompetisi narasi jauh lebih sengit. Dunia akan menilai apakah stabilitas yang ditampilkan di Tiongkok benar-benar mencerminkan konsolidasi di dalam negeri.
*Penulis adalah associate consultant yang memberikan riset kebijakan dan analisis strategis terkait dinamika global. Ia adalah lulusan Hubungan Internasional dan Politik Eropa dengan fokus pada geopolitik, keamanan energi, dan perdagangan internasional.
Aaron Aristoteles Hanafi, Associate Strategic Analyst Arghataja Consulting.
Tonton juga video "Momen Prabowo Hadiri Parade Peringatan 80 Tahun Pemerintahan China" di sini:
(yld/yld)