Kolom

2 September 1945: Saat Kejaksaan Lahir Bersama Republik

Fachrizal Afandi, Fachrizal Afandi - detikNews
Selasa, 02 Sep 2025 10:21 WIB
Foto: Fachrizal Afandi, Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Ketua Pusat Riset SIstem Peradilan Pidana UB (PERSADA UB) (Dok Istimewa)
Jakarta -

Tanggal 2 September tidak lagi bisa dilewatkan begitu saja sebagai tanggal biasa. Hari ini, bangsa Indonesia akhirnya memiliki kepastian historis bahwa pada tanggal inilah Kejaksaan Republik Indonesia lahir. Selama puluhan tahun, banyak orang masih keliru memahami 22 Juli sebagai hari lahir kejaksaan.

Padahal 22 Juli adalah Hari Bhakti Adhyaksa yang ditetapkan tahun 1960 untuk menandai pemisahan kejaksaan dari Kementerian Kehakiman. Tanggal itu dicatat sebagai simbol dedikasi kejaksaan kepada pemerintah, tetapi bukan hari kelahiran. Kelahiran sejati kejaksaan terjadi jauh sebelumnya, pada 2 September 1945, ketika Presiden Soekarno melantik Jaksa Agung pertama, Mr. Gatot Taroenamihardja, hanya beberapa hari setelah proklamasi.

Penetapan 2 September sebagai Hari Lahir Kejaksaan baru dikukuhkan pada 2023 melalui Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 196. Keputusan ini tidak muncul begitu saja, melainkan hasil kerja panjang riset dan penelusuran sejarah. Ketika menempuh studi doktoral di Universitas Leiden, saya menemukan sejumlah arsip lama yang memperlihatkan kesinambungan peran jaksa sejak abad ke-19.

Dari sana saya menelusuri bahwa pada awal kemerdekaan, posisi kejaksaan sudah diperdebatkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 19 Agustus 1945, sebelum akhirnya ditegaskan dengan pelantikan Jaksa Agung pada 2 September. Gatot, yang juga lulusan doktoral Leiden, bukan sekadar pejabat teknis.

Ia memimpin kejaksaan sekaligus kepolisian dan memberi instruksi agar keamanan rakyat dijaga dalam menghadapi ancaman agresi militer Belanda. Kejaksaan sejak awal hadir bukan hanya sebagai pelayan administrasi hukum, melainkan sebagai garda depan republik muda.

Sejarah mencatat bahwa Jaksa Agung kedua, Kasman Singodimedjo, merangkap Panglima Badan Keamanan Rakyat dan memerintahkan kepolisian membebaskan tahanan pribumi untuk memperkuat barisan revolusi.

Jaksa Agung Tirtawinata menolak menggunakan hukum acara Jepang yang represif dan memilih HIR sebagai hukum acara pidana Indonesia, dengan tegas menyatakan republik tidak boleh menjadi negara polisi. Dari ketiga Jaksa Agung pertama ini, jelas terlihat bahwa institusi kejaksaan adalah bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan, bukan sekadar birokrasi hukum.

Yang menarik, pada masa itu kejaksaan ditempatkan sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman. Jaksa dipandang sebagai magistraat, pejabat peradilan yang independen, berdiri sejajar dengan hakim. Konsep ini tercermin dalam UU No. 19/1948 maupun UU Darurat No. 1/1951, yang menegaskan kejaksaan sebagai bagian dari sistem peradilan, bukan organ eksekutif.

Dengan kedudukan itu, jaksa tidak hanya bertugas menuntut, tetapi juga memiliki integritas sebagai pejabat peradilan yang bebas dari intervensi pemerintah. Semangat inilah yang menjadikan kejaksaan di masa awal revolusi tidak terpisahkan dari cita-cita negara hukum yang demokratis.

Kebingungan publik soal hari lahir kejaksaan muncul karena narasi 22 Juli lebih dominan.

Namun penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa 2 September adalah pijakan sejarah yang sesungguhnya. Bersama sejarawan Iip D. Yahya, saya menemukan fakta ini melalui telaah arsip dan dokumen resmi. Sebelumnya, kami juga berhasil menelusuri Hari Lahir Persatuan Jaksa Indonesia (PERSAJA) pada 6 Mei 1951, ketika jaksa-jaksa untuk pertama kalinya berkongres membentuk organisasi profesi.

Temuan-temuan ini kemudian dibawa ke forum resmi, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin meminta kami bersama tim lain merumuskan penetapan hari lahir kejaksaan agar lembaga ini memiliki pijakan historis yang jelas. Dengan demikian, sejarah yang tadinya kabur akhirnya diluruskan.

Selepas fase revolusi, kejaksaan memasuki masa demokrasi parlementer. Tokoh penting pada periode ini adalah Jaksa Agung R. Soeprapto yang menjabat 1950-1959. Di bawah kepemimpinannya, kejaksaan mengalami reorganisasi besar-besaran. Soeprapto aktif merekrut sarjana hukum terbaik, membangun sistem supervisi terhadap surat dakwaan dan tuntutan, serta menjaga independensi jaksa dari intervensi politik.

Catatan Herbert Feith dan Daniel S Lev menyebut masa ini sebagai salah satu periode keemasan peradilan pidana Indonesia. Kejaksaan berani menyidik dan menuntut perwira tinggi militer serta menteri yang terlibat kasus korupsi. Pada era ini, kejaksaan benar-benar tampil sebagai institusi independen, berintegritas, dan berani, sehingga menjadi contoh bahwa independensi bukan hanya jargon, melainkan praktik nyata.

Mengapa fase Soeprapto penting untuk kita ingat saat memperingati Hari Lahir Kejaksaan? Karena ia menunjukkan bahwa kejaksaan tidak hanya lahir dari semangat revolusi, tetapi juga mampu dewasa dan berdiri tegak menghadapi godaan politik. Jika pada masa demokrasi parlementer yang rapuh sekalipun kejaksaan bisa bebas intervensi, seharusnya di era demokrasi konstitusional hari ini lembaga yang sama bisa lebih berani menjaga integritas.

Dalam kondisi politik sekarang, ketika tarik-menarik kepentingan begitu kuat dan publik sering meragukan independensi penegakan hukum, mengingat 2 September menjadi semakin relevan. Ia mengingatkan bahwa kejaksaan lahir untuk menjaga hukum, bukan melayani kekuasaan. Gatot, Kasman, Tirtawinata, hingga Soeprapto memberi teladan bahwa kejaksaan bisa tampil sebagai institusi yang berpihak pada rakyat dan negara hukum, bukan pada rezim semata.

Peringatan 2 September hendaknya tidak berhenti pada seremoni. Ia harus menjadi refleksi mendalam bahwa kejaksaan punya akar sejarah yang kuat dan teladan moral yang jelas. Penghargaan seperti Adhyaksa Awards yang diberikan setiap tahun kepada jaksa teladan boleh saja menjadi pelengkap, sekadar penanda bahwa integritas masih dirayakan. Tetapi jauh lebih penting dari penghargaan adalah bagaimana seluruh institusi meneladani semangat 2 September, menegakkan hukum dengan berani, jujur, dan tanpa kompromi.

Semangat jaksa sebagai magistraat yang independen sesungguhnya tidak pernah hilang. Ia kini kembali ditegaskan dalam UU Kejaksaan 2021. Undang-undang ini menyebut bahwa jaksa adalah Aparatur Sipil Negara dengan kekhususan. Rumusan ini menyesuaikan kerangka hukum kepegawaian modern, tetapi sekaligus menegaskan kembali jati diri jaksa sebagai pejabat dengan kedudukan khusus, bukan birokrat biasa. Artinya, sejak masa revolusi hingga hari ini, kejaksaan selalu diposisikan sebagai lembaga dengan corak unik: terikat dengan administrasi negara, tetapi tetap dituntut menjaga independensi sebagai bagian dari sistem peradilan.

Peringatan Hari Lahir Kejaksaan ke-80 tahun ini harus dilihat bukan sekadar upacara formal. Ia adalah momentum untuk mengingatkan jaksa-jaksa muda bahwa mereka mewarisi tradisi panjang independensi, integritas, dan keberanian. Dari riset arsip di Leiden, dari penemuan Hari Lahir Kejaksaan dan PERSAJA, hingga teladan Jaksa Agung Gatot, Kasman, Tirtawinata, dan Soeprapto, satu pesan besar dapat ditarik. Kejaksaan adalah institusi yang lahir dari perjuangan, tumbuh dalam revolusi, dan pernah mencapai masa keemasan karena independensi.

Tugas kita hari ini adalah memastikan sejarah itu bukan sekadar kenangan, melainkan menjadi pedoman. Di tengah politik yang goyah, di saat kepercayaan publik pada hukum diuji, memperingati 2 September adalah cara sederhana sekaligus mendalam untuk menjaga agar republik tidak kehilangan tiang penyangganya.

Fachrizal Afandi. Pakar Hukum Pidana Universitas Brawijaya.

Tonton juga video "Menelisik Sisi Lain Punggawa Kejaksaan" di sini:




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork