Dikotomi Biner dalam Kekacauan Informasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Dikotomi Biner dalam Kekacauan Informasi

Senin, 01 Sep 2025 18:13 WIB
Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital & Pendiri LITEROS.org.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pengajar Komunikasi UI, Firman Kurniawan (Dok Pribadi)
Foto: Firman Kurniawan S (Dok Pribadi)
Jakarta -

Di dalam setiap konflik - ini termasuk unjuk rasa-korban pertama yang tumbang, adalah kepastian. Kepastian tentang yang terjadi, dan dibutuhkan khalayak dalam merencanakan tindakan lanjutan: turut dalam konflik atau menjauhinya? Apa pun pilihannya, perlu persiapan yang memadai. Itu juga yang terjadi, saat unjuk rasa yang gejolaknya terakumulasi sejak 25 Agustus lalu. Memang ada unjuk rasa sebelumnya di berbagai kota, juga dengan implikasi yang tak dapat diremehkan. Namun guncangan yang ditimbulkan, tak seintensif yang di akhir Agustus ini. Saat tulisan ini dimuat, hawa panasnya masih terasa. Energinya ada dalam dualitas: siap dikobarkan kembali atau sepenuhnya surut.

Kepastian kembali tumbang pada unjuk rasa 2025 ini. Dibanding unjuk rasa 1998 --yang berlangsung saat ini-- ada dalam pengaruh media sosial. Pengaruhnya berupa produksi-distribusi informasi yang massif, diikuti lonjakan konsumsinya yang intensif. Pemilik media sosial Indonesia --yang menurut We are Social 2025, jumlahnya tak kurang dari 143 juta-terserap perhatiannya pada media digital ini. Saat berpijak pada fungsi klasik informasi --sebagai material dan substansi yang memberi kepastian-justru di zaman media sosial ini, kepastian sulit ditentukan. Keadaannya jadi paradoks.

Ini misalnya: unjuk rasa yang semula direncanakan oleh sebuah kampus dan mengajak berbagai pihak turut serta, melalui poster di media sosial --lengkap dengan atribut penyelenggaranya-- dibatalkan. Antusiame dukungan yang semula hendak diberikan, surut. Rencana aksi yang mulanya telah membangkitkan dukungan, gagal. Tapi tak lama berselang, muncul unggahan-unggahan dari kampus itu, yang menunjukkan aksi tetap berlangsung. Tentu dengan jumlah peserta yang berkurang. Informasi batalnya rencana aksi ternyata palsu, mengempiskan antusiasme calon pendukung. Kepastian sederhana, semacam jadi-tidaknya unjuk rasa pun sulit diperoleh. Informasi massif beredar, tapi justru sulit digunakan untuk memastikan keadaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketakpastian yang disebabkan oleh massifnya peredaran informasi, serupa situasinya dengan infodemi. Infodemi -mengombinasikan kata informasi dan pandemi- semula digunakan dalam konteks kesehatan. Dan mengacu pada pengertian yang diedarkan World Health Organization (WHO), infodemi terjadi akibat banyaknya informasi yang beredar, selama wabah penyakit berlangsung. Istilah ini --semula dilontarkan pakar kebijakan luar negeri, keamanan nasional dan politik AS, David Rothkopf-- saat menanggapi wabah SARS 2002-2004. Pada situasi itu massif beredar informasi, termasuk yang palsu bahkan menyesatkan di lingkungan digital maupun analog. Peredaran yang justru menyebabkan kebingungan dan mendorong perilaku berisiko, bagi kesehatan.

Ketika infodemi diterapkan pada konteks unjuk rasa, terdapat syarat-syarat yang berkesesuaian. Pertama, peredaran informasi yang banyak. Ini --walaupun tak ada hitungan pasti jumlah informasi yang beredar-- dapat dirasakan, kuantitasnya meningkat. Pada unjuk rasa 2025, mudah didapat informasi tentang unjuk rasa itu sendiri, ajakan untuk berunjuk rasa dengan aman, fasilitas kesehatan yang tersedia ketika ada peserta yang luka, pos-pos penyedia dukungan logistik, isi tuntutan yang diajukan, respon pihak yang jadi sasaran unjuk rasa. Ini termasuk tindakan institusi keamanan, selama unjuk rasa berlangsung.

ADVERTISEMENT

Informasi-informasi yang tak diproduksi-distribusi selama situasi tanpa unjuk rasa, bermunculan. Juga diramaikan oleh analisa pemerhati di luar arena, yang makin gencar saat ada anomali atau kejadian menggemparkan. Wafatnya Affan Kurniawan akibat lindasan kendaraan aparat keamanan, juga ketika rumah para anggota legislatif dan menteri dijarah massa, melipatgandakan jumlah informasi yang beredar. Produksi-distribusinya yang meningkat, turut mendongkrak konsumsi informasi.

Kedua, di antara lonjakan informasi itu, terselip informasi palsu dan menyesatkan. Terselip, mungkin lebih tepat sebagai diksi yang menggambarkan keadaan tidak disengaja. Karenanya, saat dikaitkan dengan peredaran informasi jumlahnya harusnya sedikit. Namun dalam konteks unjuk rasa -ada pihak-pihak yang berkepentingan-- informasi palsu dan menyesatkan itu, dihadirkan dengan sengaja. Jumlah produksi-distribusinya sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

informasi palsu itu, bisa menyangkut isi pesannya. Ini seperti konten yang mengabarkan kebakaran di rumah seorang menteri. Yang setelah dicek faktanya, adalah kebakaran di Bekasi di tahun 2023. Tentu saja bukan rumah Sang Menteri. Palsu, juga bisa menyangkut pengirim pesannya. Hari ini, seluruhnya dapat diolah menggunakan artificial intelligence, berbentuk deepfake. Ini misalnya pada konten pernyataan: "Yang saya dimaksud dengan tolol, adalah yang paling pinter", yang diucapkan "Ahmad Sahroni", dan ternyata deepfake.

Seluruh tujuan pemalsuan informasi itu, untuk membangun situasi yang menyesatkan. Setidaknya membingungkan khalayak, dalam memahami situasi yang sebenarnya. Salah satu taktik penyesatan dilakukan lewat framing, pembingkaian pesan. Taktik ini dapat menjadi penyedia bukti bagi informasi palsu. Informasi palsu soal kebakaran rumah menteri di atas misalnya, dapat di- framing sebagai "demo yang anarkis". Akibat bukti ini, sentimen khalayak bisa berbalik: mengutuk tindakan pengunjuk rasa. Juga jadi pembenaran, dilakukannya tindakan represif, oleh siapa pun. Padahal sejatinya, unjuk rasa bertujuan mengupayakan perbaikan situasi.

Penyesatan lewat framing, juga dilakukan melalui pendekatan dikotomi biner. Cinta berhadapan dengan benci, baik berhadapan dengan buruk, teman berhadapan dengan musuh, dukung berhadapan dengan lawan. Seluruh operasinya menyederhanakan rasionalitas, yang bekerja dengan penuh pertimbangan. Tentu ini meringankan kerumitan yang dialami khalayak, ketika harus berhadapan dengan lonjakan peredaran informasi. Tersedianya dikotomi yang memperjelas bedanya, dapat dipilih secara emosional. Mengandalkan rasa merasa. Ini termasuk: ketika kaya dihadapkan dengan miskin, pejabat dihadapkan dengan rakyat. Yang ketika seluruhnya digabung, membentuk framing: pejabat yang kaya harus dibenci oleh rakyat yang miskin. Menghasilkan tindakan segera: benci. Walaupun mengandung kesesatan, tak semua pejabat kaya, dan tak semua rakyat miskin. Sehingga tak harus ada kebencian.

Dikotomi biner yang menggeser pertimbangan rasional menjadi emosional itu, selaras dengan prinsip kerja media sosial yang beroperasi digital: 0-1-1-0. Mutlak 1 atau 0. Tak ada keadaan di tengahnya. Dalam penerapannya, "cinta tapi benci", atau "setengah kaya" dan "agak miskin" bukanlah realitas digital. Rasionalitas yang telah direduksi oleh kehadiran dikotomi biner ini, teramplifikasi lewat keriuhan informasi di media sosial. Khalayak tak punya spekturm penilaian yang beragam, seluruhnya mutlak dikotomis.

Keadaan yang disusun berdasar rasionalitas yang melemah, bukan lantaran khalayak informasinya bodoh. Tapi lantaran dikuasai oleh emosi yang diarahkan framing. Ini mengantar pada situasi ketiga: kebingungan yang mendorong perilaku berisiko. Pada unjuk rasa 2025 ini, media sosial memperlihatkan masifnya gerakan massa menjarah rumah anggota legislatif maupun menteri, yang telah di-framing sebagai sosok yang patut dibenci. Seluruhnya belum tentu lahir dari pertimbangan rasional. Massa yang menghendaki perbaikan nasib dan negaranya --tak mungkin dalam waktu singkat-menempuh tujuannya secara ilegal. Merusak dan menjarah hak milik orang lain. Kalau memang rasional, kenapa tak dilakukan sejak dulu? Masyarakat yang bingung, mengekspresikan hasil framing dengan tindakan yang berisiko.

Keadaan bingung juga terjadi, ketika pelaku unjuk rasa tak tahu pasti: harus melanjutkan atau menghentikan gerakannya. Sementara tuntutan yang diperjuangkan, belum memperoleh respon yang memuaskan. Kebingungan juga akibat informasi yang di antaranya telah di-framing: unjuk rasa sudah tak murni lagi. Ditunggangi kepentingan pihak tertentu. Kepentingan apa itu? Tak jelas. Maka jika unjuk rasa tetap dilanjutkan, berhadapan dengan risiko dituduh sebagai pelaku kerusuhan. Karenanya sah untuk ditindak aparat. Namun jika tak dilanjutkan, gerakan yang telah diperjuangkan dan diselingi jatuhnya korban, berisiko berakhir dalam kesia-siaan. Dua keadaan yang tak mudah ditentukan.

Dari 3 situasi yang menegaskan terpenuhinya infodemi, dapat dikatakan: masyarakat Indonesia sedang mengalami infodemi ini. Algoritma media sosial yang membajak perhatian tak memberinya kesempatan, jeda dari layar. Konsumsi informasi intensif --yang tak seluruhnya merepresentasikan realitas-justru membuatnya bingung. Alih-alih bingung memahami situasi yang dihadapi, juga bingung bersikap selanjutnya. Ini pada gilirannya, mendorong curiga pada setiap informasi yang datang. Nyata atau palsu?

Jika sudah demikian, saatnya jeda dari informasi yang diproduksi-distribusi media sosial. Dari lingkungan yang nyata di sekitar tempat hidup -rumah, kampus, tempat kerja-- dapat diserap informasi analog. Walaupun yang analog pun tak selalu bebas dari kepalsuan, setidaknya informasi dari luar layar ini, tak dimoderasi algoritma. Juga di-framing sekehendak pemilik kepentingan. Karenanya, dapat dipertimbangkan dengan rasional. Rasionalitas yang kembali meningkat, dapat meredakan infodemi yang menjangkiti.

Simak juga Video KPAI: TikTok Jadi Sumber Informasi Cepat Dorong Pelajar Ikut Demo

(whn/whn)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads