Pesan Kemerdekaan untuk Birokrasi yang Cekatan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pesan Kemerdekaan untuk Birokrasi yang Cekatan

Rabu, 27 Agu 2025 09:12 WIB
Husni Rohman
Perencana Ahli Madya di Kementerian PPN/Bappenas.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi ASN
Foto: Ilustrasi ASN (Pradita Utama)
Jakarta -

Persoalan birokrasi kembali mengemuka dalam pernyataan-pernyataan para pemimpin nasional belakangan ini. Dalam Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI 15 Agustus 2025, Presiden menyatakan bahwa perilaku korup ada di setiap eselon birokrasi di institusi dan organisasi pemerintahan.

Pada forum yang sama, Ketua DPR-RI menyampaikan bahwa negara dan para pemegang kekuasaan harus moved on dari pola birokrasi yang lamban, dari rutinitas yang hanya formal, dan kebiasaan menunda penyelesaian masalah rakyat. Tujuannya adalah agar terciptanya pelayanan publik yang lebih responsif, adil, dan menyejahterakan masyarakat.

Pesan-pesan penting tersebut bisa menjadi bahan bagi para pemangku kebijakan untuk melakukan upaya-upaya reflektif atas pelaksanaan program reformasi birokrasi. Terlebih, tahun 2025 merupakan tahun terakhir pelaksanaan Desain Besar (Grand Design) Reformasi Birokrasi (RB) 2010-2025.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pada awalnya, reformasi birokrasi dipicu oleh krisis ekonomi 1997/1998 dimana salah satu sumber persoalan yang memicu krisis adalah lemahnya akuntabilitas sektor publik, termasuk inefisiensi dan penyalahgunaan kewenangan. Target reformasi birokrasi saat itu adalah memulihkan kembali kepercayaan publik melalui pemberantasan korupsi.

Sejak saat itu, reformasi birokrasi terus bergulir dengan berbagai macam dinamika kebijakannya. Area-area yang berusaha di reform meliputi aspek organisasi, tatalaksana, peraturan perundangan, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta pola pikir dan budaya kerja.

ADVERTISEMENT

Walakin, persoalan SDM aparatur seringkali menjadi isu yang paling disorot dan ramai diperbincangkan. Kebijakan penataan SDM aparatur mendominasi trajektori perubahan selama 20 tahun terakhir, seperti perbaikan remunerasi, penerapan sistem merit, seleksi terbuka (open bidding), de-eselonisasi, hingga penyelesaian persoalan tenaga honorer.

Pada periode awal reformasi birokrasi, kebijakan yang menonjol untuk mengurangi praktik koruptif adalah dengan memperbaiki kesejahteraan PNS. Hal itu dilakukan melalui pemberian remunerasi kepada para PNS di beberapa K/L tertentu. Kebijakan ini merupakan embrio dari istilah tunjangan kinerja (tukin) yang kita kenal saat ini.

Pada periode berikutnya, seleksi terbuka (open bidding) menjadi terobosan kebijakan dalam reformasi birokrasi. Pengisian jabatan setingkat eselon 1 dan eselon 2 dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS. Proses ini dilakukan untuk memastikan adanya meritokrasi dalam tubuh birokrasi.

Selanjutnya, terjadi kebijakan yang begitu dramatis melalui penyederhanaan birokrasi dengan memangkas jabatan eselon 3 dan eselon 4.

Sejumlah 47.992 struktur pada 95 K/L dan 148.256 struktur pada 33 provinsi dan 498 instansi daerah, serta 44.870 jabatan administrasi pada 91 K/L, 31 provinsi, 371 kabupaten, dan 86 kota telah dihilangkan.

De-eselonisasi itu bertujuan untuk memangkas hierarki dan prosedur yang berlebihan agar mempercepat pengambilan keputusan. Secara garis besar, kebijakan ini dan kebijakan-kebijakan di bidang manajemen ASN lainnya bertujuan untuk menciptakan apa yang sering kita sebut dengan performance based bureaucracy.

Oleh karena itu, agenda reformasi tata kelola pemerintahan yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto--dalam Astacita- memuat 7 (tujuh) program kerja untuk meningkatkan kualitas ASN.

Ketujuh program tersebut terkait dengan beberapa isu strategis, seperti integritas, kompetensi, kesejahteraan, budaya kerja, akses belajar, manajemen talenta, dan manajemen kinerja. Program-program tersebut diarahkan untuk dapat meningkatkan kapasitas kebijakan (policy capacity) para ASN.

Kapasitas kebijakan (policy capacity) diartikan sebagai seperangkat kemampuan (kompetensi) dan sumber daya (kapabilitas) yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan (X.Wu, M. Ramesh & M. Howlett, 2015). Terdapat tiga kapasitas yang harus dimiliki oleh SDM ASN, yaitu kapasitas analitik, kapasitas operasional, dan kapasitas politis.

Pertama, kapasitas analitik menyangkut kemampuan untuk menggunakan pengetahuan ilmiah dan mengolah berbagai informasi sebagai dasar dalam melakukan analisis kebijakan (evidence based policy). Untuk mencapai ini maka akses belajar bagi ASN akan dibuka seluas mungkin melalui pendidikan gelar maupun non-gelar.

Kedua, kapasitas operasional berkaitan dengan kemampuan untuk menjalankan fungsi-fungsi manajerial dari suatu kebijakan. Fungsi-fungsi tersebut melingkupi diantaranya perencanaan, koordinasi, serta pemantauan dan evaluasi. Kemampuan ini terutama ditujukan bagi pimpinan organisasi yang menduduki jabatan pimpinan tinggi.

Ketiga, kapasitas politis yang menyangkut kemampuan untuk membaca konteks politik dari suatu kebijakan. ASN harus dapat menemukan aktor-aktor kunci yang mempengaruhi kebijakan, memahami kepentingan aktor-aktor tersebut, serta menggali pandangan dan hubungan diantara aktor-aktor kebijakan dimaksud.

Hanya dengan kepemilikan atas kemampuan-kemampuan tersebut maka harapan para pemimpin nasional akan adanya profil birokrasi yang cekatan dan lincah (agile) dapat terwujud.

Husni Rohman. Perencana Ahli Madya di Kementerian PPN/Bappenas.

Simak juga Video: Prabowo: Perilaku Korupsi Ada di Setiap Eselon, BUMN, BUMD

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads