Tatkala Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol mengumumkan percepatan target penyelesaian masalah sampah nasional dari 2030 menjadi 2029, publik seolah diingatkan kembali bahwa waktu tidak pernah berpihak kepada bangsa yang terlambat merespons bencana lingkungan.
Sampah, terutama plastik sekali pakai, bukan lagi sekadar masalah kebersihan, melainkan persoalan peradaban. Laporan demi laporan menunjukkan bahwa Indonesia masih tercatat sebagai salah satu penyumbang sampah plastik terbesar di lautan dunia.
Jika tidak segera ditangani, wajah negeri maritim ini bisa berubah menjadi lautan sampah yang memalukan. Maka, langkah pemerintah mempercepat target penanganan sampah sejatinya bukan sekadar angka di atas kertas RPJMN, melainkan pertaruhan moral, politik, dan ekonomi bangsa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Merawat Fondasi Keyakinan Konsumen |
Namun, persoalan mendasar tidak berhenti pada target. Bagaimana target itu diwujudkan di lapangan? Dalam kenyataan sehari-hari, hampir semua kota di Indonesia masih jauh dari standar pengelolaan sampah nasional.
Dari TPA yang menggunung dan mengeluarkan bau busuk, drainase perkotaan yang tersumbat plastik, hingga laut yang dipenuhi mikroplastik, semua menjadi bukti bahwa pengelolaan sampah kita tidak pernah benar-benar selesai di hulu maupun hilir.
Pemerintah pusat telah memberikan sanksi administratif kepada banyak daerah yang gagal memenuhi kewajiban pengelolaan, tetapi sanksi tidak serta-merta mengubah kenyataan bahwa sistem pengelolaan masih rapuh. Bahkan, penilaian Adipura terbaru menunjukkan nyaris tidak ada kota yang lolos dari predikat kota kotor. Ironi ini membuat kita bertanya: bagaimana mungkin target 2029 tercapai jika kenyataan 2025 masih sebegitu kelamnya?
Di titik inilah, perlu dihadirkan perspektif yang lebih luas. Sampah bukan sekadar urusan teknis tata kelola atau pembangunan infrastruktur pengolahan. Ia adalah soal perilaku masyarakat, tanggung jawab produsen, dan keberanian politik negara untuk menata ulang rantai produksi dan konsumsi. Menteri Hanif sudah menyebut dua kategori plastik, yaitu plastik berguna yang masih bisa dikelola dan plastik problematik yang harus dibatasi.
Pemisahan ini penting karena selama ini isu sampah kerap dipukul rata, padahal tidak semua plastik harus dimusuhi. Botol air mineral bisa didaur ulang, tetapi kantong kresek, sedotan sekali pakai, dan styrofoam nyaris tidak memiliki jalan keluar selain menjadi limbah. Ketika plastik problematik ini terus diproduksi tanpa kontrol, maka kebijakan larangan penggunaan plastik di beberapa kota besar hanya menjadi kosmetik kebijakan, tanpa mengguncang akar masalah.
Di sisi lain, kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) yang akan diwajibkan adalah langkah progresif yang patut diapresiasi. Produsen memang tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon tanggung jawab konsumen. Selama ini, perusahaan besar kerap menggunakan citra hijau dalam iklan tetapi tetap mengguyur pasar dengan kemasan sekali pakai. Dengan EPR yang wajib, produsen dipaksa untuk menanggung biaya pengelolaan kemasan pasca-pakai.
Namun, tantangan berikutnya adalah pengawasan. Apakah EPR akan benar-benar dijalankan, atau sekadar menjadi angka setoran di atas kertas? Apakah pemerintah berani menindak perusahaan besar yang melanggar, termasuk yang memiliki akses politik kuat? Tanpa keberanian menegakkan aturan, EPR bisa menjadi slogan kosong yang mengulangi nasib program-program sebelumnya.
Pemerintah juga menyiapkan dua pendekatan teknologi, yakni Refuse Derived Fuel (RDF) dan Waste to Energy (WtE). RDF dianggap lebih logis untuk kota menengah karena menghasilkan margin keuntungan dari selisih biaya operasional dan penjualan, sementara WtE dipersiapkan sebagai opsi terakhir untuk kota-kota dengan timbulan sampah di atas seribu ton per hari. Namun, pendekatan berbasis teknologi ini harus hati-hati.
Sejarah pengelolaan sampah di Indonesia menunjukkan bahwa teknologi canggih kerap gagal bukan karena teknologinya salah, melainkan karena kelembagaan dan manajemennya rapuh. Pembangunan insinerator di berbagai kota, misalnya, banyak yang mangkrak karena tidak ada kepastian pasokan listrik, biaya tinggi, dan perlawanan masyarakat yang khawatir akan dampak kesehatan. Teknologi hanyalah alat. Tanpa ekosistem tata kelola yang bersih, alat itu bisa menjadi monumen kegagalan baru.
Karena itu, solusi paling fundamental tetaplah perubahan paradigma. Indonesia harus berani melangkah menuju ekonomi sirkular, di mana sampah bukan lagi dipandang sebagai limbah melainkan sumber daya. Konsep ini bukan hal baru. Banyak negara sudah menjadikannya kebijakan utama, mengintegrasikan sektor industri dengan sistem daur ulang, menciptakan lapangan kerja hijau, sekaligus menekan emisi karbon.
Untuk Indonesia, ekonomi sirkular bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan. Jika produsen diwajibkan mendesain ulang kemasan agar bisa didaur ulang, jika konsumen dibiasakan memilah sampah sejak rumah tangga, jika pemerintah menyediakan infrastruktur daur ulang yang memadai, maka sampah plastik bisa menjadi bahan baku yang bernilai.
Bayangkan jika setiap botol plastik bisa kembali ke pabrik, setiap kardus dikembalikan ke industri kertas, dan setiap logam dikembalikan ke smelter. Tidak ada lagi sampah yang tercecer di sungai atau laut, karena semuanya memiliki nilai ekonomi.
Kuncinya adalah integrasi kebijakan hulu-hilir. Hulu berarti edukasi masyarakat, pengurangan produksi plastik sekali pakai, serta kewajiban produsen untuk memikirkan siklus hidup produknya. Hilir berarti penyediaan fasilitas daur ulang, pemilahan sampah terintegrasi, serta penerapan teknologi pengolahan sebagai opsi terakhir.
Dalam rapat terbatas di Istana, Presiden Prabowo sudah menekankan skema hulu-hilir ini, tetapi tantangannya adalah implementasi di lapangan. Selama ini, koordinasi antar kementerian kerap menjadi titik lemah.
Kementerian LHK mendorong kebijakan, tetapi Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Dalam Negeri seringkali berjalan dengan ritme masing-masing. Pemerintah daerah pun masih banyak yang menjadikan sampah sebagai urusan pinggiran. Tanpa integrasi, target 2029 bisa menjadi target semu.
Selain itu, penting pula menimbang aspek keadilan sosial. Penanganan sampah jangan sampai menyingkirkan para pemulung, pengepul, dan pelaku daur ulang informal yang selama ini justru menjadi tulang punggung pengurangan sampah. Mereka bekerja tanpa jaminan kesehatan, tanpa perlindungan hukum, tetapi kontribusinya nyata.
Dalam desain ekonomi sirkular, kelompok ini harus dilibatkan, bukan dimarginalkan. Pemerintah dapat memberikan insentif, akses pembiayaan mikro, hingga skema perlindungan sosial bagi pekerja daur ulang. Dengan demikian, penanganan sampah bukan hanya soal mengurangi beban lingkungan, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan sosial.
Jika kita menengok ke luar negeri, ada pelajaran berharga. Jepang berhasil mengembangkan budaya memilah sampah di tingkat rumah tangga hingga sangat detail, bahkan bisa mencapai 30 kategori. Jerman memiliki sistem Pfand yang membuat botol plastik bernilai karena ada deposit yang bisa dikembalikan.
Korea Selatan memberlakukan tarif sampah rumah tangga berdasarkan volume, sehingga orang terdorong untuk mengurangi timbulan. Semua itu menunjukkan bahwa keberhasilan lahir bukan dari teknologi semata, melainkan dari budaya dan tata kelola. Indonesia bisa belajar, tetapi tentu tidak bisa menyalin secara mentah. Kita butuh model yang sesuai dengan karakter masyarakat dan ekonomi kita sendiri.
Pada akhirnya, percepatan target penyelesaian sampah menjadi 2029 adalah alarm keras bagi seluruh elemen bangsa. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Perguruan tinggi harus aktif melakukan riset dan inovasi, masyarakat sipil harus mengawal kebijakan, media harus kritis memberitakan, dan masyarakat harus berani berubah perilaku.
Jika semuanya berjalan, target bukan mustahil tercapai. Tetapi jika kita masih terjebak pada pola lama, target 2029 hanya akan menjadi slogan yang hilang bersama gunungan sampah di TPA.
Pertanyaannya sekarang bukan lagi apakah kita bisa menyelesaikan masalah sampah sebelum 2029. Pertanyaan sesungguhnya adalah apakah kita mau berubah secara kolektif atau terus menunda hingga masalah ini meledak menjadi tragedi ekologis yang lebih besar.
Dari darurat plastik ke ekonomi sirkular, jalan masih panjang tetapi pintu kesempatan masih terbuka. Jangan sampai bangsa ini menutup pintu itu hanya karena kita terlalu malas untuk berbenah.
Randi Syafutra. Dosen S1 Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung.
Simak juga Video: Prabowo Instruksikan Penanganan Sampah Selesai di 2029