Merawat Fondasi Keyakinan Konsumen
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merawat Fondasi Keyakinan Konsumen

Jumat, 01 Agu 2025 12:22 WIB
Edi Setiawan
Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
A container ship sails off from a container terminal in Qingdao in eastern Chinas Shandong province Sunday, April 6, 2025. (Chinatopix Via AP)
Foto: Ilustrasi perang dagang (AP)
Jakarta -

Keyakinan konsumen menjadi fondasi krusial dalam menjaga ritme pertumbuhan ekonomi Indonesia. Ketika asa masyarakat terhadap kondisi ekonomi melemah, aktivitas konsumsi-yang selama ini menyumbang lebih dari 54 persen Produk Domestik Bruto (PDB)-akan ikut melambat.

Sebaliknya, jika optimisme tetap terjaga, maka daya beli dan roda ekonomi akan terus bergerak bahkan di tengah tekanan global.

Bank Indonesia pada Juni 2025 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sebesar 121,6 , turun tipis dari posisi Mei 2025 yang berada di angka 122,4. Penurunan terjadi terutama pada indeks ekspektasi penghasilan dan pembelian barang tahan lama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meskipun masih berada di zona optimis (di atas 100), tren penurunan selama dua bulan terakhir menjadi sinyal bahwa persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi mulai tergerus. Kondisi ini tidak terjadi dalam ruang hampa.

Perekonomian global tengah diliputi ketidakpastian. Laporan IMF World Economic Outlook edisi April 2025 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 3,0 persen. Perlambatan ekonomi Tiongkok yang hanya tumbuh 4,5 persen, disertai suku bunga tinggi di Amerika Serikat (Fed rate 5,25 persen), mempersempit ruang gerak ekspor dan investasi negara-negara berkembang.

ADVERTISEMENT

Dampak tambahan datang dari kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Tarif impor baru rata-rata sebesar 32 persen terhadap produk dari negara berkembang, termasuk Indonesia, menghantam sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan furnitur.

Penurunan permintaan dari pasar global mengancam kelangsungan industri dan berpotensi menggerus lapangan kerja serta menekan daya beli jutaan rumah tangga. Di dalam negeri, tekanan hidup masyarakat juga bertambah berat.

Harga minyak mentah Brent mendekati USD 95 per barel, harga gandum naik 12 persen, sementara harga beras medium domestik telah menembus Rp14. 000 per kilogram. Inflasi bahan pangan menyulitkan kelompok rentan menjaga pengeluaran konsumsi. Namun, Indonesia memiliki modal besar.

Dengan populasi lebih dari 280 juta jiwa dan bonus demografi hingga 2035, potensi konsumsi domestik tetap kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi digital menjadi titik terang. Berdasarkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company (2024), nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan menembus USD 360 miliar pada 2030-tertinggi di Asia Tenggara.

Tahun 2025 ini saja, Gross Merchandise Value (GMV) e-commerce diproyeksikan mencapai USD 109 miliar. Sementara itu, transisi menuju ekonomi hijau juga membuka ruang baru. Dengan target emisi nol bersih pada 2060, sektor energi terbarukan, pengelolaan sampah, dan industri sirkular bisa menyumbang hingga USD 150 miliar per tahun menurut McKinsey. Transformasi ini menjadi peluang baru bagi penciptaan lapangan kerja dan diversifikasi pertumbuhan.

Pemerintah pun telah menyiapkan berbagai langkah taktis untuk menjaga daya beli masyarakat. Bantuan PKH, BPNT dan BLT Dana Desa diperluas untuk menekan beban biaya hidup. Belanja infrastruktur dalam APBN 2025 dialokasikan sebesar Rp435 triliun, naik 12 persen dibanding tahun sebelumnya, dengan orientasi menciptakan lapangan kerja dan distribusi ekonomi.

Kebijakan Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga kembali digulirkan, menyasar lebih dari 7 juta pekerja berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Tujuannya adalah menjaga daya beli kelas pekerja formal dan informal yang terdampak tekanan global dan inflasi domestik. BSU terbukti menjadi bantalan penting dalam menjaga sirkulasi konsumsi harian.

Meski begitu, masyarakat tetap menantikan kebijakan yang lebih responsif dan tepat sasaran. Pertama, stabilisasi harga pangan dan energi perlu menjadi prioritas. Selain menjaga cadangan strategis, perlu percepatan produksi domestik serta efisiensi distribusi, termasuk memperkuat Badan Pangan Nasional agar berfungsi sebagai pengatur pasar yang aktif. Kedua, akses terhadap layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan harus makin diperluas.

Ketimpangan akses dan biaya yang tinggi memunculkan keresahan jangka panjang. Layanan publik yang terjangkau dan berkualitas akan memperkuat rasa aman dan mendorong konsumsi.

Ketiga, pelaku UMKM dan sektor informal membutuhkan akses permodalan yang adil. Program kredit ultra mikro, pendampingan usaha, dan pelatihan digitalisasi sangat diperlukan.

UMKM menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 97 persen tenaga kerja, namun akses mereka terhadap pembiayaan formal masih terbatas. Keempat, kebijakan fiskal perlu dibuat lebih taktis dan progresif. Pemerintah dapat mengevaluasi kembali batas bawah pajak penghasilan bagi pekerja berpendapatan rendah, memperluas program insentif konsumsi seperti diskon produk lokal atau voucher belanja, serta mendorong pemerintah daerah untuk menggerakkan belanja sosial secara tepat waktu.

Kelima, perlindungan sosial harus berbasis data dan akurat. Pembaruan data penerima bantuan harus menjadi prioritas nasional agar program bantuan tidak hanya besar secara anggaran, tetapi juga presisi dalam pelaksanaan.

Akurasi akan meningkatkan legitimasi dan efektivitas kebijakan. Dunia usaha pun memegang peran penting. Pelaku usaha perlu menjaga kualitas dan keterjangkauan produk, memperluas distribusi digital, serta mengomunikasikan kebijakan harga dan promosi secara transparan.

Survei McKinsey (2025) menunjukkan 71 persen konsumen Asia Tenggara mengandalkan ulasan daring sebelum membeli-reputasi dan kepercayaan adalah modal utama. Lebih jauh, dunia usaha perlu aktif dalam program pelatihan tenaga kerja, kolaborasi riset dengan pemerintah, dan mengakselerasi penerapan prinsip ekonomi hijau. Dunia usaha bukan sekadar produsen barang, melainkan juga pembentuk ekosistem kepercayaan publik.

Indonesia memiliki kekuatan sosial berupa gotong royong, solidaritas, dan ketahanan komunitas. Nilai-nilai ini harus diterjemahkan dalam kolaborasi nyata lintas sektor. Narasi transformasi hijau, hilirisasi industri, dan ekonomi digital bukan sekadar proyek elite, melainkan jalan bersama menuju ekonomi yang adil dan tangguh.

Pada akhirnya, menjaga keyakinan konsumen bukan hanya tentang menjaga arus transaksi hari ini, tetapi juga merawat kepercayaan jangka panjang. Ketika masyarakat merasa pendapatan aman, harga terkendali, dan masa depan terarah, mereka terdorong untuk belanja, menabung, dan berinvestasi. Konsumsi yang terjaga akan menopang pertumbuhan ekonomi dan mendukung transformasi struktural. Sebaliknya, jika kepercayaan retak, pemulihannya akan mahal dan memakan waktu panjang.

Menjaga fondasi keyakinan konsumen sebagai denyut nadi ekonomi Indonesia. Dengan kebijakan taktis yang tepat sasaran, didukung dunia usaha yang bertanggung jawab dan rakyat yang dilibatkan, Indonesia tidak hanya bertahan-tetapi juga tumbuh menjadi bangsa yang tangguh, inklusif, dan berdaya saing di panggung global.

Edi Setiawan. Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Prof DR HAMKA.

(rdp/rdp)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads