Apakah ketika seorang novelis yang berhasil memenangkan penghargaan kepenulisan--namun menghasilkan karyanya menggunakan ChatGPT--sama keadaannya dengan seorang olahragawan yang menang pertandingan, dengan menggunakan doping? Perlu berhati-hati menjawabnya.
Keadaannya tak serta merta sama, walaupun kedua-duanya tampak menggunakan daya bantu eksternal, saat meraih keberhasilannya.
Doping--yang asal katanya dope--berarti campuran bahan kimia obat--termasuk narkotika--yang digunakan untuk menjaga dan meningkatkan ketahanan olahragawan. Ini merupakan formulasi yang semula lazim digunakan di Inggris, pada cabang olahraga pacuan kuda. Doping yang saat ini dilarang di seluruh cabang olahraga, saat terbukti penggunaannya dapat menyebabkan tindakan tegas.
Kemenangan yang telah diraih dibatalkan, pelaku dicoret dari suatu cabang olahraga di periode tertentu, bahkan selamanya. Selain itu, Sang Olahragawan juga terbebani sanksi sosial, sepanjang hidupnya. Lantaran reputasinya tercemar oleh skandal itu.
Lance Armstrong pebalap sepeda jalan raya legendaris asal Amerika, yang pernah memenangkan Tour de France tujuh kali berturut-turut -antara tahun 1999 hingga 2005- pada tahun 2012, dicabut seluruh medali kemenangannya.
Ia juga dilarang mengikuti cabang olahraga olimpiade itu, selama hidupnya. Sanki kepadanya diberikan, setelah Badan Anti Doping Amerika di tahun itu memverifikasi -Ia pun dalam sebuah wawancara mengaku- telah menggunakan doping untuk meningkatkan ketahanan dalam memacu sepedanya. Pencabutan gelar kemenangan Amstrong, merupakan salah satu peristiwa yang sering dibicarakan di dunia olahraga. Seluruhnya, ditulis Skyler Caruso, 2024, dalam "Athletes Who Have Been Stripped of Olympic Medals and Why They've Had Them Revoked".
Senasib dengan Lance Amstrong, kejadian serupa sebelumnya menimpa Marion Jones. Kisahnya termuat dalam tulisan di atas. Pada Oktober 2007, medali Jones dari cabang olahraga atletik dicabut. Saat Olimpiade Sydney 2000, Ia memenangkan tiga medali emas dan dua perunggu. Masing-masing sebagai juara pertama dalam nomor lari 100, 200, dan estafet 4×400 meter. Juga juara ketiga dalam lompat jauh dan estafet 4×100 meter. Namun setelah semuanya diraih, 7 tahun kemudian kemenangannya dianulir dan medalinya dicabut. Ini akibat Jones yang mengaku, telah berbohong kepada dewan juri.
Ia menyebut tak pernah mengonsumsi obat peningkat ketahanan, tapi yang terjadi sebaliknya. Komite olimpiade internasional alih-alih hanya membatalkan kemenangan dan mencabut medali yang telah dikalunginya, Jones akhirnya dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Hukuman atas kebohongannya.
Mengapa olahraga melarang penggunaan doping? Argumentasinya sederhana. Ini di antaranya: pada olahraga yang mempertandingkan keterampilan, ketangkasan, dan ketahanan-seluruhnya dapat diringkas sebagai performa-ketahanan internal pelaku jadi titik tumpunya. Karenanya, kemenangan tergantung pada kondisi internal masing-masing olahragawan. Untuk memperoleh kondisi internal yang unggul, olahragawan berlatih dan terus mendorong batas kemampuan, hingga mencapai batas tertingginya. Saat tiba waktunya keunggulan dipertandingkan, namun pada performa internal olahragawannya ada yang didongkrak dengan doping, hakikat kompetisi jadi bergeser. Berubah jadi adu kemampuan, memformulasi bahan kimia pendongkrak performa. Pertandingannya, jadi adu ahli racik.
Tubuh olahragawan yang punya batas performa alamiah, saat bertanding diuji pencapaian tertingginya. Yang berhasil mencapai batas terjauh, diganjar kemenangan. Namun seluruhnya menjadi bias, ketika batas alamiah yang sudah mencapai titik terjauh --namun berkat tambahan doping-- dapat diretas. Olahragawan yang harusnya menyerah, namun berkat doping, dapat melanjutkan bahkan memenangkan pertandingan.
Performa siapakah yang digunakannya itu? Doping tabu dalam olahraga, akibat menghilangkan hakikat olahraga. Yang dipertandingkan bergeser: semula adu performa internal pelaku, menjadi adu performa eksternal. Peracik kimia obat. Hasil pertandingan yang diperlihatkan pun, merupakan hasil adu diformulasi bahan kimia. Bukan hakikat olahraga itu sendiri. Ketika mempertanyakan: bagaimana pula dengan yang tak menggunakan doping, haruskah selalu tak pernah menang? Lebih rumit lagi keadaannya.
Namun seluruh uraian di atas--dalam batas tertentu--tak sama dengan digunakannya artificial intelligence (AI) oleh penulis saat menghasilkan karyanya. Termasuk karya dalam bentuk novel. Ini walaupun, AI merupakan penopang eksternal yang analog dengan doping dalam olahraga.
Uraian di bawah ini dapat memosisikan digunakannya AI oleh penulis yang karyanya meraih penghargaan. Namun terjadi persilangan pendapat, setelah diketahui sebagian tulisannya dihasilkan AI. Khalayak pembaca maupun kritikus sastra, tak satu pendapat soal ini.
Rie Qudan, dalam berita yang dimuat nippon.com, 30 Juli 2025, berjudul "Qudan Rie: The "Sympathy Tower Tokyo" Author on Language and Rhythm" memenangkan penghargaan sasatra bergengsi, Akutagawa Prize di Jepang pada Januari 2024. Kesohoran Rie Qudan yang telah melahirkan total 4 karya itu, dimulai sejak tahun 2021.
Pada karyanya yang terakhir ini--yang diselingi ambisi memenangkan penghargaan setelah di tahun sebelumnya gagal--muncul riak-riak kontroversi. Ini terindikasi dari derasnya permintaan wawancara--termasuk dari berbagai media di luar negaranya-- untuk memperoleh penjelasannya.
Dengan penuh keyakinan, Rie Qudan menepis komentar miring atas karyanya. Penggunaan AI sama sekali tak bertujuan untuk menipu pembaca. Dirinya memang berkolaborasi dengan ChatGPT, namun justru untuk membantu melihat dampak penggunaannnya.
Keyakinan itu sama sekali bukan lantaran jumlah bagian novel yang ditulis menggunakan AI terbilang minim --diperkirakan tak lebih dari 5 %-- namun bantuan AI itu, justru untuk mendeskripsikan interaksi antara tokoh dalam novel dengan ChatGPT. Lewat cara itu, diperoleh banyak inspirasi dari interaksi yang dimediasi AI. Dan AI dapat merefleksikan proses berpikir manusia dengan cara yang menarik. Ini mungkin yang dimaksud Rie Qudan dengan membantu penulis maupun pembaca melihat dampaknya.
Penjelasan di atas tampak menunjukkan tak adanya campur tangan AI, dalam esensi karya. Keadaan yang semula, mungkin disesalkan sebagai tercemarnya karya oleh produk kecerdasan mesin. Komentar-komentar miring di media sosial menyebut "Symphaty Tower Tokyo" sebagai karya robot. Karenanya penghargaan harus ditarik kembali. Bahkan ada yang jelas-jelas menyebutnya sebagai kecurangan. Sama seperti olahragawan yang menggunakan doping. Namun di sisi hadapannya, transparansi Rie Qudan memperoleh apresiasi. Teknik barunya, disebut sebagai inovasi kreativitas penulisan.
Memang jika dilihat dengan cermat --pada karya yang membahas soal simpati pada pelaku kejahatan dengan mempertimbangkan penempatannya di sebuah gedung di Tokyo-- AI justru mewarnai jalan cerita dengan interaksi alamiah. Melihat ini Johnny Flash, 2024, dalam "Rie Kudan's AI-Assisted Novel: Innovation or Cheating in Literature?", mengartikulasikannya: penggunaan AI dalam penulisan bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan. Seluruhnya terutama ketika esensi cerita, kedalaman karakter, maupun kreativitas plotnya, tetap berasal dari penulisnya. Tentu saja sambil, komunitas sastra yang harus dipaksa untuk mempertimbangkan kembali apa yang membentuk kreativitas maupun kepenulisan di era AI.
Seluruhnya mungkin jadi berbeda, ketika karya kepenulisan yang dibahas mengandalkan ChatGPT sejak perencanaan plot cerita, karakterisasi tokoh pelaku, konteks ruang dan waktu penceritaan, bahkan hingga mewujudkannya sebagai tulisan. Walaupun nantinya penulis melakukan paraphrase --penulisan dengan menggunakan rangkaian kalimat sendiri, dan tak sekedar salin dan tempel dari output ChatGPT-- tetap saja, sebagian besar produknya merupakan kerja kreatif algoritma. Karya yang hampir seluruhnya, dapat disebut menggantungkan pada keandalan AI. Kalaupun penulis semacam itu menghendaki perannya dihargai sebagai kreativitas, validitasnya tersisa sedikit.
Kreativitas itu berupa kemampuan mewujudkan ide yang semula ada di dalam pikiran, menjadi kata-kata sistematis berbentuk prompt. Memang tak buruk, karena tak semua orang mampu mengartikulasikan dengan konkrit pikirannya yang abstrak. Namun juga tak memantaskan menyematkan namanya, pada karya yang dihasilkan. Seraya menggangap dirinya sebagai penulis novel, memberi hak mengkomodifikasikannya. Menangguk keuntungan ekonomi dan penghargaan sosial.
Seluruhnya sama sekali bukan soal besar kecilnya persentase tulisan yang dihasilkan. Lagi pula dalam ilustrasi di atas, peran ChatGPT memang lebih menonjol. Namun predikat novelis, tampaknya ditentukan oleh kualitas kreativitas dalam produksi esensi tulisan.
Perangkat berbasis AI yang tak dilengkapi emosi maupun pemahaman bermakna terhadap konteks, karenanya sering dikeluhkan menghasilkan karya tanpa jiwa.
Dalam keadaan ini peran penulis yang hanya sebatas mengartikulasikan prompt, makin dipertanyakan. Lantaran seluruhnya tak ubahnya para olahragawan yang menggunakan doping. Performa tambahannya terbit oleh unsur eksternal. Sementara performanya alamiahnya sendiri, berhenti di titik batas. Seluruhnya sama sekali berbeda dari yang dicapai Rie Qudan, bukan?
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org.
Simak juga Video: Apa Benar Sering Pakai ChatGPT Bikin Kita Bodoh?
(rdp/rdp)