Kolom

Manusia Merdeka Bermental Baja

Martinus Joko Lelono - detikNews
Selasa, 26 Agu 2025 12:20 WIB
Foto: Ilustrasi manusia (Unsplash/Debby Hudson)
Jakarta -

Di hari-hari ketika warga Indonesia merayakan kemerdekaannya, kita diingatkan akan mimpi awal kemerdekaan yaitu untuk memperjuangkan kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia guna mencapai kesejahteraan bagi semua. Dalam pidatonya di hari lahir Pancasila, Bung karno mengatakan, "kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas... di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat."

Di lain waktu, Bung Hatta mengatakan, "Kita boleh merdeka secara fisik, tetapi kita masih perlu usaha keras buat mewujudkan manusia bermental baja guna meraih cita-cita bangsa." Kedua tokoh ini membayangkan kemerdekaan bukan sebagai kemerdekaan fisik, tetapi sebuah perjuangan untuk menjadi manusia seutuhnya.

Menurut Bung Hatta, salah satu syarat untuk mencapai manusia seutuhnya adalah kejujuran. Dia mengatakan, "Tiada harta pusaka yang sama berharganya dengan kejujuran."

Kejujuran membuat orang menerima realitas kehidupan untuk kemudian menghadapi realita yang harus dihadapi. Ia tidak mencoba menutupi diri dari situasi nyata yang dihadapi. Sayangnya, banyak pihak lebih suka menipu diri sendiri dengan mengatakan dirinya sedang baik-baik saja, padahal ia tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Mungkin itulah terjemahan sederhana dari apa yang dikenal orang sebagai Pencitraan. Dengan terang-terangan, orang menipu dirinya sendiri dan membangun ilusi bahwa semuanya baik-baik saja.

Menerima Realitas Perjuangan

Salah satu ciri dari masyarakat maju adalah kesediaan untuk melihat realita sebagaimana adanya sehingga permasalahan bisa segera diselesaikan. Dalam filsafat, sifat demikian termasuk di dalam aliran materialisme.

Orang tidak sekedar mengamankan diri dalam rasa aman yang palsu, tetapi berani menghadapi realita. Salah satu premisnya adalah bahwa jarak terdekat yang menghubungkan dua titik adalah garis lurus. Dalam ungkapan lain, jarak terdekat yang menghubungkan masalah dan penyelesaian adalah langsung mengenali masalah supaya bisa ditemukan penyelesaian yang tepat.

Upaya memanipulasi data dan realita dianggap sebagai membuang-buang waktu yang justru menjadikan permasalahan tidak segera teratasi. Dalam bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), Tan Malaka, salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia mengatakan, "Materialisme Barat cukup kuat buat membasmi idealisme dalam aliran besarnya dan menembus jalan sampai ke zaman industrialism" (495).

Dengan memahami realita material sebagai kenyataan yang harus dihadapi, seorang atau sekelompok orang jadi memiliki pijakan untuk melangkah menuju kepada proses hidup selanjutnya.

Meng-iya-kan Kehidupan

Selain materialisme, dalam filsafat dikenal aliran eksistensialisme, sebuah aliran yang mempercayai bahwa manusia bisa mengubah nasibnya. Salah satu penggagasnya adalah Friedrich Nietzsche. Dia dikenal dengan ungkapan, "Tuhan sudah mati," sebuah ungkapan yang seringkali sekadar dipahami sebagai gambaran tentang ateisme dan ketidakinginan melibatkan Tuhan di dalam kehidupan.

Padahal, teks yang sama menggambarkan sebuah kehendak untuk mengatasi Batasan diri manusia. Selama manusia membatasi diri untuk menghadapi segala hal atas nama, "Nasib, Kehendak Tuhan, takdir, dsb," orang tidak akan beranjak dari satu titik kehidupannya. Dalam hal ini seakan orang menciptakan tembok yang membelenggu ruang geraknya, padahal sebenarnya ia mampu untuk melampaui dirinya. Analogi kematian Tuhan adalah sebuah dorongan agar orang mampu melampaui kelemahan diri dan mau menyelesaikan permasalahannya.

Salah satu karyanya yang terkenal adalah, Thus Spoke Zarathustra, sebuah karya Filsafat fiksi tentang apa makna perjuangan. Sebagian besar isi buku tersebut adalah wacana-wacana yang disampaikan oleh Zarathustra tentang berbagai macam topik. Sebagian besar topik itu ditutup dengan pernyataan, "Demikianlah sabda Zarathustra." Di dalamnya, ia menyatakan apa artinya kebebasan sejati.

Menurutnya, kebebasan sejati hanya akan diberikan bagi yang mampu memerintah dirinya sendiri guna melampaui batas-batas. Hal ini tidak hanya berlaku untuk masing-masing pribadi manusia, tetapi juga untuk berbagai institusi.

Kehidupan ditandai dengan berbagai macam perjuangan, usaha, penaklukan yang terus menerus terjadi. Dalam hal ini, diyakini bahwa tidak ada yang dapat tetap berada pada posisi yang mirip sama dalam waktu yang lama. Dengan tegas ia menyatakan bahwa "keberlangsungan dan ketetapan hanyalah ilusi semata."

Ilusi Kemakmuran

Uraian di atas membantu untuk memahami bahwa salah satu ciri dari masyarakat yang maju adalah kemampuan untuk bertanya guna memahami permasalahan. Di Indonesia, keyakinan ini Sudah beratus tahun diturunkan dari satu generasi ke generasi berikut dalam ungkapan, "Malu bertanya, sesat di jalan." Biasanya, ungkapan ini sekedar dipahami soal mencari jalan, padahal maknanya bisa jauh lebih luas. Singkatnya, kesadaran akan ketersesatan itu lebih baik daripada sudah tersesat tidak sadar-sadar.

Keyakinan yang palsu akan jalan yang benar, seringkali menjerumuskan orang kepada situasi yang semakin buruk. Dalam hal inilah kiranya kita menemukan makna dari memahami permasalahan.

Hari-hari ini ketika kita merayakan ulang tahun kemerdekaan, selalu saja penting bagi bangsa kita untuk memahami medan juang apa yang sedang dihadapi. Kemerdekaan tidak menjanjikan masa tanpa perjuangan, tetapi masa di mana semua orang dilindungi haknya untuk berjuang. Bangsa ini masih butuh pengorbanan. Jangan sampai kita menipu diri hanya untuk menghindar dari keharusan untuk berjuang lebih keras.

Kemiskinan masih ada di mana-mana. Pengangguran masih bisa dilihat di banyak tempat. Semoga kemajuan ekonomi berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat sampai di tataran paling bawah.

Inilah saatnya meng-iya-kan kehidupan, menghadapi apa yang harus dihadapi dan tidak memilih untuk menipu diri sendiri. Kemerdekaan bukan hanya soal merdeka secara fisik, tetapi ketika warga bangsa ini menjadi pribadi-pribadi yang bermental baja.

Saat kemerdekaan itu dicapai, badai dan gelombang permasalahan bukanlah hal yang ingin kita hindari. Justru badai dan gelombang kehidupan adalah cara terbaik bagi bangsa ini untuk beranjak maju menuju masyarakat yang berdaulat atas hidupnya sendiri.
Itulah kemerdekaan bagi manusia merdeka bermental baja.

Martinus Joko Lelono. Pastor Katolik dan Pengajar di Universitas Sanata Dharma.




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork