Kisah Samir dan Paman Sam
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kisah Samir dan Paman Sam

Kamis, 21 Agu 2025 09:08 WIB
Rachlan S. Nashidik
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. Pernah menjadi pengurus DPP Partai Demokrat.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
The U.S. Capitol is seen between flags placed on the National Mall ahead of the inauguration of President-elect Joe Biden and Vice President-elect Kamala Harris, Monday, Jan. 18, 2021, in Washington.
Bendera Amerika Serikat / Foto: AP/Alex Brandon
Jakarta -

Amerika Serikat (AS) baru-baru ini menolak visa medis untuk Samir Muhammed Samir Zekut, bocah berusia 11 tahun. Samir kehilangan lengan kiri, kedua kaki, dan sebagian penglihatannya akibat serangan udara Israel di Gaza.

Tadinya, Samir hendak dibawa ke rumah sakit di Florida. Namun Amerika menutup pintu. Negeri adidaya ini menganggap seorang anak cacat, korban perang, sebagai ancaman keamanan nasional. Pada tubuh Samir yang rapuh, klaim Amerika sebagai bangsa yang menjunjung kemanusiaan runtuh.

Padahal sejarah pernah mencatat wajah lain Amerika Serikat: membuka diri bagi pengungsi Hungaria tahun 1956, bagi eksodus Kuba pada 1960-an, dan bagi korban perang Bosnia pada 1990-an.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hukum Internasional

Dalam tragedi Gaza, Israel adalah pihak pertama yang harus dimintai tanggung jawab. Sebagai Occupying Power, Israel berkewajiban melindungi warga sipil. Fourth Geneva Convention (1949) tegas menyatakan: anak-anak harus dilindungi (Pasal 16), rumah sakit dijamin (Pasal 18), diskriminasi dilarang (Pasal 27), dan hukuman kolektif tidak boleh dilakukan (Pasal 33).

Namun Amerika tak bisa berpura-pura netral. Menolak seorang anak hanya karena ia berasal dari Gaza pada hakikatnya adalah manifestasi collective punishment yang dilarang Konvensi Jenewa.

ADVERTISEMENT

Tindakan tersebut juga dapat digolongkan sebagai internationally wrongful acts. Inilah konsep yang dirumuskan oleh International Law Commission (ILC) dalam dokumen ARSIWA-Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts--pada 2001.

Pasal 16 ARSIWA menyatakan: Sebuah negara dapat dimintai pertanggungjawaban bila secara sadar membantu atau mendukung negara lain dalam melakukan pelanggaran hukum internasional.

ARSIWA memang bukan traktat, tetapi ia telah diadopsi oleh Majelis Umum PBB sebagai kodifikasi hukum kebiasaan internasional.

Laporan PBB dan Amnesty International

Berulang kali lembaga-lembaga internasional melaporkan Israel melanggar hukum internasional. Komisi Penyelidikan Independen PBB (2024-2025) menyimpulkan Israel telah melakukan war crimes dan crimes against humanity.

Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR, Mei 2024) menyatakan operasi militer Israel mengabaikan hukum humaniter dalam skala yang tak ada presedennya.

Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese, dalam laporannya "From Economy of Occupation to Economi of Genocide" (Juni 2025), bahkan menilai ada dasar kuat untuk menyebut Israel melakukan genosida.

Dan Amnesty International (2023) menyebut adanya kejahatan sistematis Israel terhadap perempuan dan anak-anak di Gaza. Amerika tahu itu semua, tetapi memilih memalingkan wajah ke arah lain ketika berhadapan dengan Israel.

Leahy Laws

Ironisnya, Amerika juga melanggar hukum nasionalnya sendiri -- yakni melanggar Leahy Laws, undang undang yang melarang dana rakyat Amerika dipakai untuk melatih atau membiayai militer asing yang terlibat pelanggaran HAM berat.

Diambil dari nama Senator Patrick Leahy dari Vermont, undang undang ini disahkan Presiden Bill Clinton pada tahun 1996, setelah muncul laporan kejahatan serius oleh militer Kolombia yang mendapat bantuan besar dari Washington.

Sejak itu, Leahy Laws beberapa kali ditegakkan, misalnya terhadap militer Bangladesh dan Nigeria yang masuk daftar hitam karena kasus penyiksaan dan eksekusi di luar hukum, atau terhadap TNI pasca tragedi Timor Timur 1999.

Leahy Laws dikelola oleh Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Tapi prinsipnya sama: Bantuan tidak boleh diberikan kepada militer asing yang "credibly alleged" telah melakukan gross violation of human rights.

Global Apartheid?

Maka meski Israel adalah pelaku langsung kejahatan perang terhadap Palestina, Amerika turut memikul tanggung jawab. Amerika bukan hanya pemberi dana, senjata, dan perlindungan diplomatik -- ia kini juga menutup pintu bagi seorang anak korban bom Israel yang mencari pertolongan medis.

Kasus Samir adalah simbol paling telanjang dari wajah Amerika hari ini. Dengan menolak Samir, Amerika meneguhkan dirinya sebagai bagian dari tatanan global yang membenarkan penderitaan anak-anak demi memelihara aliansi geopolitik--inikah arsitektur apartheid global?

Rachland Nashidik. Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. pernah menjadi pengurus DPP Partai Demokrat. Opini ini pandangan pribadi penulis.

Simak juga Video: Data PBB Mei-Agustus: 1.857 Warga Palestina Tewas saat Cari Makan

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads