Waspadai Efek Domino Konflik Global
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Waspadai Efek Domino Konflik Global

Sabtu, 12 Jul 2025 08:35 WIB
Wim Tohari Daniealdi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi gencatan senjata.
Ilustrasi / Foto: Freepik/pvproductions
Jakarta -

Kita tentu pernah mendengar istilah "efek domino". Yaitu rangkaian peristiwa yang saling berkaitan, di mana satu kejadian memicu kejadian lain, seperti susunan domino yang jatuh satu per satu.

Seperti itulah gelombang instabilitas yang menyapu dunia sejak Aprilβ€―2025. Ia bergerak seperti deretan domino: satu keping jatuh, keping lain menyusul.

Titik mula terjadi pada 22β€―April di Kashmir, ketika serangan bersenjata di Pahalgam menewaskan 26 pelancong Hindu. Newβ€―Delhi menuding jaringan militan yang beroperasi dari Pakistan dan, dua pekan kemudian, melancarkan Operationβ€―Sindoor. Berupa serangan rudal dan drone terhadap sembilan sasaran di Pakistan serta Azadβ€―Kashmir (7‑10β€―Mei).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Empat hari baku tembak merenggut lebih dari 80 nyawa dan memaksa puluhan ribu orang mengungsi di sepanjang Lineβ€―ofβ€―Control, meninggalkan bayang‑bayang ancaman nuklir di Asia Selatan.

Tiga pekan berselang, api konflik menjalar ke Timur Tengah. Pada 13β€―Juni Israel memulai "Perang 12β€―Hari" dengan menghantam fasilitas nuklir dan markas Garda Revolusi Iran. Teheran membalas ratusan rudal balistik ke Telβ€―Aviv. Ketika gencatan 24β€―Juni diumumkan, Iran mengakui 935 korban jiwa, 38 di antaranya anak‑anak. Sementara Israel kehilangan 28 warga dan lebih dari 3β€―000 orang terluka.

ADVERTISEMENT

Tragisnya, jeda senjata dengan Iran tak menghentikan mesin perang Israel di Gaza. Serangan darat‑udara terus menyasar kamp pengungsi dan meratakan kota‑kota seperti Khuza'a, menewaskan lebih dari 57β€―000 warga Palestina. PBB memperingatkan kelaparan "faseβ€―5" bagi setengah juta penduduk, dan Amnesty International menyebut blokade bantuan Israel sebagai tindakan yang "memenuhi unsur genosida".

Ketika perhatian dunia terpusat pada Gaza, Rusia melancarkan serangan udara terbesar sejak 2022. 539 drone Shahed dan 11 rudal menghujani Kyiv sejak malam 3β€―Juli. Separuh berhasil ditembak jatuh, namun sisanya memicu kebakaran di enam distrik, melukai sedikitnya 23 warga dan membakar sebuah klinik.

Gempuran itu datang tepat setelah telepon Donaldβ€―Trump–Vladimirβ€―Putin, di tengah keputusan Washington menangguhkan pengiriman sistem Patriot, yang menjadi pertanda goyahnya dukungan Barat bagi Ukraina.

Urut‑urutannya jelas: Kashmir, lalu Teluk Persia, menyusul Gaza, dan Kyiv. Tiap krisis meninggalkan vakuum keamanan yang segera diisi konflik berikutnya, yang memperlihatkan efek domino instabilitas regional.

Rivalitas bersenjata nuklir di Asia Selatan memantik keberanian Israel menyerang Iran. Respons Iran memperdalam isolasi Telβ€―Aviv yang lantas menggandakan kekerasan di Gaza. Focus global yang terbelah memberi Rusia ruang menghantam Ukraina tanpa banyak konsekuensi.

Dan di balik semuanya, mundurnya komitmen militer AS – dari Asia Selatan hingga Eropa – membentuk pola retrenchment yang kian menyulitkan diplomasi multilateral. Tanpa mekanisme de‑eskalasi terpadu, setiap keping yang jatuh hanya menunggu saat menjatuhkan keping berikutnya.

Pattern Perang Dunia I & II

Gelombang konflik yang terjadi secara beruntun sejak April hingga Juli 2025 menunjukkan sebuah pola yang mengkhawatirkan dan mengingatkan kita pada tahapan awal sebelum pecahnya Perang Dunia I dan II.

Perang India–Pakistan di Kashmir, Perang 12 Hari antara Iran dan Israel, berlanjutnya genosida di Gaza, dan serangan besar-besaran Rusia ke Ukraina bukanlah rangkaian peristiwa yang berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan dalam lanskap sistem internasional yang tengah mengalami krisis struktural.

Keempat konflik ini merefleksikan dinamika dunia yang kembali bergerak menuju kondisi anarki, di mana tidak ada otoritas global yang mampu mengatur atau menahan laju agresi negara-negara kuat.

Lebih dari sekadar letupan kekerasan regional, rangkaian peristiwa ini memperlihatkan retaknya sistem aliansi global, tumpulnya institusi internasional, meningkatnya agresivitas aktor regional, serta hilangnya kepercayaan pada norma dan hukum internasional. Sebuah gejala klasik yang pernah mendahului dua perang dunia sebelumnya.

Dalam konteks teori hubungan internasional, situasi ini secara jelas menggambarkan bangkitnya kembali logika neo-realisme. Teori ini menegaskan bahwa dalam sistem internasional yang anarkis, negara bertindak berdasarkan kepentingan nasionalnya semata, tanpa bisa bergantung pada sistem atau hukum yang lebih tinggi.

Ketika Amerika Serikat, sebagai penyeimbang utama dalam berbagai konflik global, mulai menarik diri dari peran hegemoniknya dan beralih pada kebijakan retrenchment, maka negara-negara lain, baik musuh maupun sekutu, merespons dengan cara masing-masing.

Rusia, misalnya, membaca penurunan bantuan militer AS ke Ukraina sebagai sinyal melemahnya komitmen Barat, dan langsung merespons dengan serangan drone dan rudal paling masif ke Kyiv sejak 2022. Israel pun melancarkan serangan terhadap Iran dan kembali memperbesar skala kekerasan di Gaza karena yakin tidak akan ada tekanan efektif dari Dewan Keamanan PBB. India bertindak pre-emptive di Kashmir, dengan asumsi bahwa dunia tengah terlalu sibuk memantau krisis Timur Tengah.

Semua ini menegaskan kembalinya sistem self-help dalam hubungan internasional, ketika masing-masing negara merasa harus bertindak sendiri demi menjamin kelangsungan hidupnya.

Pola Awal PD I

Jika dicermati lebih dalam, gejala-gejala ini mengingatkan pada dinamika menjelang Perang Dunia I. Saat itu, mobilisasi militer Austria, Jerman, dan Rusia pada awal Juli 1914 bukan hanya tindakan pertahanan, melainkan juga sinyal bahwa mereka tidak lagi mempercayai sistem aliansi atau mediasi internasional.

Dilemma keamanan (Security dilemma) semakin menguat, dimana langkah defensif dianggap ofensif oleh pihak lawan, dan perlombaan mobilisasi dengan cepat berubah menjadi perang besar.

Situasi serupa terlihat hari ini. India merasa perlu mengamankan Kashmir karena khawatir dengan aktivitas militan di wilayah perbatasan, sementara Pakistan melihat tindakan itu sebagai ancaman terhadap kedaulatan nasionalnya.

Israel menganggap program nuklir Iran sebagai ancaman eksistensial, sementara Iran menilai serangan udara Israel sebagai agresi terang-terangan terhadap kedaulatan dan kehormatan nasional. Rusia mengklaim bahwa serangannya terhadap Ukraina adalah bagian dari "denazifikasi" dan membela wilayah historisnya, sementara Ukraina dan Barat melihatnya sebagai upaya ekspansi imperialis.

Ketegangan dan kesalahpahaman seperti ini menciptakan spiral konflik yang sulit dihentikan, karena setiap langkah pembalasan dianggap sebagai bentuk pertahanan diri yang sah.

Pola Awal PD II

Dalam konteks menjelang Perang Dunia II, paralelnya juga mencolok. Ketika Hitler merebut Rhineland dan kemudian menginvasi Sudetenland, reaksi pasif dari Inggris dan Prancis justru memperkuat keyakinannya bahwa Barat tidak akan bertindak.

Kebijakan appeasement saat itu, yang bermaksud meredakan ketegangan, malah menjadi lampu hijau untuk ekspansi Jerman lebih jauh.

Situasi ini sangat mirip dengan kebijakan Barat terhadap Israel hari ini. Ketika dunia internasional hanya memberikan kecaman retoris terhadap kekerasan Israel di Gaza, tanpa sanksi nyata atau tekanan efektif, maka tindakan militer Israel makin brutal, bahkan ketika tuduhan genosida telah didokumentasikan secara luas.

Di sisi lain, Rusia melihat absennya respons tegas terhadap Israel sebagai indikator bahwa komunitas internasional tak lagi mampu menahan agresi. Maka tak heran jika Moskwa merasa leluasa melanjutkan kampanye militernya di Ukraina.

Dalam konteks ini pula, teori balance of power menjadi relevan. Ketika tidak ada kekuatan yang mampu menyeimbangkan agresor, maka konflik akan terus melebar. Eropa Timur kini tidak memiliki penyeimbang efektif terhadap Rusia, Timur Tengah tidak memiliki kekuatan yang mampu menahan dominasi Israel, dan Asia Selatan menghadapi krisis keseimbangan antara India dan Pakistan yang sarat potensi nuklir.

Mandulnya Institusi Multilateral

Di tengah itu semua, institusi global seperti PBB, Mahkamah Internasional, atau Dewan HAM PBB kehilangan relevansi karena tak mampu menjalankan fungsi penegakan hukum dan perdamaian. Bahkan organisasi-organisasi regional seperti Liga Arab atau OKI terbukti tidak mampu memberi tekanan berarti, meskipun puluhan ribu rakyat Palestina terbunuh di depan mata dunia.

Interdependensi ekonomi dan teknologi yang selama ini dianggap bisa menjadi penahan konflik juga tidak berfungsi. Ketika rantai pasok global bisa dimanfaatkan untuk memotong bantuan militer atau ekonomi secara sepihak, maka saling ketergantungan berubah menjadi senjata politik baru.

Di tengah dunia yang terkoneksi secara digital dan media sosial yang masif, narasi kekerasan menjadi viral lebih cepat dibandingkan diplomasi bisa bekerja.

Apa yang kita lihat hari ini adalah dunia yang perlahan namun pasti sedang tergelincir menuju fase krisis sistemik global. Jika tidak ada langkah besar untuk membangun kembali tatanan keamanan internasional, baik melalui reformasi lembaga global, diplomasi regional, atau penguatan norma kemanusiaan, maka eskalasi ini akan terus melebar.

Mencegah Perang Dunia III

Dunia pernah gagal mengenali tanda-tanda ini pada 1914 dan 1939. Dua kali, harga yang dibayar adalah puluhan juta nyawa dan kehancuran peradaban. Kini, dengan senjata nuklir, drone otonom, dan sistem informasi yang mampu memanipulasi persepsi massal dalam hitungan detik, konsekuensinya bisa jauh lebih cepat dan lebih parah.

Dunia tidak lagi punya waktu untuk bersikap pasif. Krisis ini bukan lagi peringatan. Ia adalah gejala awal dari babak sejarah yang bisa mengulang kengerian abad ke-20β€”dengan wajah yang lebih dingin, lebih digital, dan lebih mematikan.

Untuk mencegah agar sejarah tidak kembali terulang dalam bentuk yang lebih mematikan, dunia perlu membangun ulang arsitektur keamanan global yang selama ini terbukti rapuh menghadapi tekanan geopolitik mutakhir.

Rekonstruksi itu harus dimulai dengan mereformasi lembaga internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB, agar lebih representatif dan tidak dikuasai oleh kepentingan veto segelintir negara. Mekanisme pencegahan konflik regional juga harus diperkuat melalui revitalisasi forum-forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) di Asia dan OSCE di Eropa Timur, sehingga mampu bertindak lebih cepat dan efektif dalam meredam eskalasi.

Di saat yang sama, diplomasi tidak boleh hanya bertumpu pada jalur formal. Diperlukan diplomasi multitrack yang melibatkan aktor-aktor non-negara (masyarakat sipil, pemuka agama, dan komunitas transnasional), untuk membangun tekanan moral dan menciptakan narasi damai yang kuat.

Dan yang tak kalah penting, prinsip keamanan kolektif harus dihidupkan kembali, bukan berdasarkan loyalitas aliansi sempit, tetapi atas dasar tanggung jawab bersama untuk mencegah penderitaan umat manusia.

Dalam seluruh proses ini, Indonesia – dengan prinsip bebas aktif, posisi strategis di G-20, dan legitimasi moral sebagai negara demokrasi terbesar di dunia Islam – wajib mengambil peran aktif sebagai jembatan, penengah, sekaligus penggerak konsensus global baru menuju perdamaian yang lebih adil dan lestari. Wallahualam bi sawab

Wim Tohari Daniealdi. Dosen Hubungan Internasional, FISIP, UNIKOM, Bandung


Simak juga Video: Apakah Akan Ada Koreksi Pasar Mendadak?

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads