Kolom

Pajak Negara: Antara Kewajiban Konstitusi dan Beban Ganda

Arif Al Anang - detikNews
Selasa, 19 Agu 2025 12:43 WIB
Foto: Ilustrasi pajak (Shutterstock)
Jakarta -

Dulu, Muslim tak perlu membayar pajak negara. Cukup tunaikan zakat, dan semua kewajiban fiskal dianggap tuntas. Pajak? Itu hanya dibebankan kepada non-Muslim yang menolak ikut serta dalam pertahanan negara.

Sistem ini bukan sekadar aturan ekonomi, melainkan simbol identitas politik dan kesepakatan sosial yang lahir dari konteks abad ke-7.

Namun, hari ini di Indonesia, Muslim dan non-Muslim sama-sama antre di kantor pajak, mengisi SPT tahunan, dan menyetor rupiah demi mengisi kas negara.

Tak ada lagi pembeda antara pembayar zakat dan pembayar pajak. Bahkan, sebagian Muslim merasa menjalani "beban ganda": zakat dibayar, pajak pun tetap wajib.

Pertanyaannya, mengapa "privilege" fiskal umat Muslim di masa lalu hilang? Apakah ini bentuk kemajuan sistem negara modern, atau justru tanda bergesernya nilai keadilan fiskal yang dulu dijunjung tinggi?

Menelisik jawabannya membawa kita pada perdebatan panjang antara warisan sejarah Islam dan logika negara-bangsa abad ke-21.

Negara Modern, Paradigma Baru

Indonesia adalah negara konstitusi, bukan negara agama, sehingga pajak diatur lewat UU dan berlaku bagi semua warga tanpa memandang agama, etnis, atau status.

Pajak menjadi tulang punggung negara, menyumbang 80,6% penerimaan 2024 atau sekitar Rp 2.200 triliun, yang dialokasikan ke pendidikan Rp665 triliun, kesehatan Rp186 triliun, infrastruktur Rp 422 triliun, subsidi energi Rp113 triliun, bansos Rp496 triliun, dan pertahanan Rp 135 triliun.

Secara makro, rasio pajak 2023 hanya 10,4% PDB-di bawah target 15% dan rata-rata ASEAN 14-16%-menandakan perlunya perluasan basis pajak dan penekanan kebocoran. Pajak bersifat kontrak sosial: warga membayar, negara memberi perlindungan dan layanan.

Kewajiban agama seperti zakat tidak menggugurkan pajak karena fungsi dan pengelolaannya berbeda. Tantangan utama ada pada transparansi, akuntabilitas, dan keadilan agar kepercayaan publik terjaga serta ruang fiskal untuk pembangunan berkelanjutan menguat.

Keadilan Fiskal di Ujung Tanduk

Rasio pajak Indonesia 2023 hanya 10,4% PDB, jauh di bawah Thailand (16,4%), Malaysia (14,9%), dan Vietnam (14,5%). Artinya, potensi penerimaan negara yang hilang sangat besar. Sektor kaya seperti tambang dan industri digital belum tergarap maksimal.

Beban terbesar justru dipikul karyawan yang dipotong PPh otomatis, sementara sebagian orang kaya dan pengusaha leluasa menghindar lewat celah pelaporan. Potensi pajak dari kelompok ini diperkirakan ratusan triliun, tapi banyak yang lolos dari fiskus.

Jika rasio pajak naik ke rata-rata ASEAN, tambahan Rp 500-600 triliun per tahun bisa membiayai sekolah merata, rumah sakit daerah, dan pertahanan maritim. Meningkatkan kepatuhan pajak berarti memperkuat kas negara sekaligus memperkecil kesenjangan sosial.

Titik Temu Pajak dan Zakat

Bagi umat Muslim, zakat bukan sekadar ritual ibadah, tetapi juga instrumen pemerataan ekonomi yang punya kemiripan fungsi dengan pajak. Data BAZNAS menunjukkan, potensi zakat nasional bisa tembus Rp 327 triliun per tahun.

Sayangnya, realisasi pada 2023 hanya sekitar Rp17 triliun-alias kurang dari 6% dari potensi. Ini menunjukkan masih besarnya gap antara potensi dan realisasi, yang jika tertutup, dapat menjadi sumber daya signifikan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan sosial.

Beberapa negara telah lebih maju dalam memanfaatkan sinergi zakat dan pajak. Malaysia, misalnya, memperbolehkan zakat yang dibayar umat Muslim untuk mengurangi kewajiban pajak penghasilan tahunan mereka.

Pakistan bahkan menjadikan zakat sebagai pungutan resmi negara untuk kelompok tertentu, sehingga pengelolaannya lebih terstruktur. Integrasi semacam ini bukan hanya mengurangi beban ganda bagi pembayar zakat, tetapi juga meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.

Indonesia sebenarnya punya peluang besar untuk menerapkan model serupa. Jika potensi zakat Rp327 triliun dapat digarap optimal dan sebagian disinergikan dengan sistem pajak, beban fiskal negara bisa berkurang, sementara penerimaan negara untuk program sosial tetap terjaga.

Selain itu, legitimasi fiskal di mata umat Muslim akan semakin kuat, karena mereka merasa kontribusinya diakui secara adil. Dengan kata lain, integrasi zakat dan pajak bisa menjadi win-win solution: umat tidak terbebani dua kali, negara mendapat tambahan daya, dan masyarakat miskin merasakan manfaat lebih cepat.

Transparansi dan Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik adalah "mata uang" utama dalam sistem perpajakan. Kalau masyarakat yakin uang pajaknya benar-benar kembali dalam bentuk layanan publik yang berkualitas, kepatuhan akan mengalir secara sukarela.

Sayangnya, laporan Transparency International menempatkan Indonesia pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 34/100 pada 2024-masih jauh di bawah rata-rata global (43/100). Artinya, persepsi publik terhadap integritas pengelolaan negara masih rendah, sehingga wajar jika ada resistensi saat bicara soal kepatuhan pajak.

Selain itu, data dari Kementerian Keuangan menunjukkan tax ratio Indonesia di 2023 hanya sekitar 10,4% dari PDB, padahal rata-rata negara anggota OECD mencapai 33%.

Rendahnya tax ratio ini tidak semata karena ekonomi yang belum optimal, tapi juga karena masih tingginya tax gap-selisih antara pajak yang seharusnya dibayar dan yang benar-benar diterima negara. Salah satu penyebabnya adalah persepsi publik bahwa uang pajak "tidak sampai" sepenuhnya ke program yang mereka rasakan langsung manfaatnya.

Negara-negara dengan skor IPK tinggi biasanya berhasil membangun keterbukaan data anggaran dan sistem pengawasan yang kuat. Di Selandia Baru, misalnya, publik bisa mengakses secara detail penggunaan setiap dolar pajak lewat open budget portal.

Finlandia bahkan mempublikasikan daftar wajib pajak terbesar setiap tahun, menciptakan tekanan sosial positif untuk patuh. Transparansi semacam ini bukan sekadar formalitas, melainkan cara konkret membangun rasa percaya bahwa uang rakyat dikelola dengan benar.

Indonesia sebenarnya mulai bergerak ke arah sana. Beberapa kementerian dan pemerintah daerah sudah mengembangkan dashboard anggaran berbasis daring, namun cakupan dan kedalaman informasinya masih terbatas.

Tanpa keterbukaan penuh-mulai dari kontrak proyek, laporan realisasi anggaran, hingga dampak kebijakan-publik akan tetap bertanya-tanya: uang pajak saya larinya ke mana?

Arif Al Anang. Dosen Tafsir Ahkam Ekonomi pada Prodi Hukum Ekonomi Syariah di Universitas Nahdlatul Ulama Sunan Giri.

Simak juga Video: Wamenkeu Pastikan Tak Ada Pajak Naik-Pajak Baru di Tahun Depan!




(rdp/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork