Gaduh Kenaikan PBB: Kebutuhan Alternatif Peningkatan Pendapatan Daerah
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Gaduh Kenaikan PBB: Kebutuhan Alternatif Peningkatan Pendapatan Daerah

Senin, 18 Agu 2025 13:45 WIB
Hernanda Damantara
Pegawai Negeri Sipil di Kementerian ATR/BPN RI. Menempuh pendidikan S1 Ilmu Hukum di UNS Solo dan S2 Ilmu Hukum di UGM Yogyakarta dengan dukungan beasiswa LPDP.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi pajak
Foto: Ilustrasi pajak (dok. Getty Images/Khanchit Khirisutchalual)
Jakarta -

Kabupaten Pati menjadi pusat perhatian nasional pasca rencana Bupati untuk menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu gelombang protes besar.

Tepatnya tanggal 13 Agustus 2025, tercatat dari sejumlah media menyatakan bahwa puluhan ribu warga turun ke jalan, menuntut pembatalan kebijakan tersebut dan bahkan mendesak Bupati mundur dari jabatannya.

Aksi besar itu memang berakhir dengan pembatalan kenaikan tarif, akan tetapi kemarahan warga terlanjur membekas dan meninggalkan luka kepercayaan yang tidak mudah disembuhkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peristiwa ini menunjukkan betapa sensitifnya isu pajak tanah di mata masyarakat, terutama ketika kebijakan diambil secara mendadak dan tanpa disampaikan dengan komunikasi publik yang memadai.

ADVERTISEMENT

Sejarah Panjang Penerapan PBB di Indonesia

PBB sendiri sejatinya adalah pungutan tahunan yang dibebankan kepada setiap pemilik atau penguasa tanah dan bangunan. Besaran nilai PBB yang dibayarkan dihitung berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan pemerintah daerah di mana tanah dan bangunan itu berada.

PBB dirancang untuk menjadi salah satu sumber pendapatan yang stabil bagi negara maupun daerah. Hingga saat ini, PBB masih dikenakan pada warga dengan alasan untuk membantu pemerintah membiayai berbagai layanan publik.

Jika kita melihat ke belakang, pemberlakuan PBB di Indonesia memiliki akar sejarah yang panjang dan sarat muatan politik-ekonomi. Pada masa kolonial misalnya, kala itu pemerintah kolonial memandang bahwa negara adalah pemilik tertinggi atas tanah yang ada di wilayahnya, sedangkan rakyat hanyalah penyewa yang wajib membayar sewa atau pajak.

Pendekatan seperti itu pertama kali secara formal diberlakukan pada masa pemerintahan Inggris di Indonesia lewat kebijakan landrente yang diperkenalkan di era Raffles. Kebijakan pajak atas tanah itu kemudian dilanjutkan pada masa Hindia Belanda.

Setelah kemerdekaan, sistem ini diubah menjadi Pajak Hasil Bumi (PHB) dan Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA), sebelum akhirnya pada 1985 pemerintah menggabungkannya dalam satu skema yang lebih seragam bernama Pajak Bumi dan Bangunan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985.

Sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, pemungutan PBB-P2 diserahkan ke pemerintah kabupaten dan kota, memberi pemerintah daerah kewenangan penuh untuk mengatur tarif dan teknis pemungutan PBB hingga saat ini.

Terjebak di Zona Nyaman

Kondisi bahwa pemungutan PBB diserahkan kepada pemerintah daerah agaknya menjadi titik mula dari persoalan yang muncul saat ini. Sejumlah pemerintah daerah kemudian menjadikan PBB sebagai salah satu sumber penerimaan andalan bahkan utama untuk menggenjot pendapatan daerah.

Kebutuhan fiskal yang terus meningkat membuat mereka kerap memilih cara paling cepat untuk menambah kas, yaitu dengan menaikkan tarif atau dengan memperbarui NJOP. Langkah mudah meningkatkan pendapatan dari PBB juga didukung sejumlah faktor seperti digitalisasi layanan dan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari Pemerintah Pusat.

Namun demikian, kenaikan PBB terkadang dilakukan tanpa mempertimbangkan betul kondisi ekonomi warga dan/atau bahkan tanpa disertai dengan penjelasan yang memadai tentang manfaat yang akan kembali ke masyarakat.

Alhasil, PBB yang semula dimaksudkan sebagai kontribusi bersama justru dipersepsikan sebagai beban oleh masyarakat. Ujungnya, persoalan soal PBB ini seringkali menjadi pemicu ketegangan antara pemerintah dan warganya.

Alternatif Pengenaan Pajak Tanpa Menaikkan PBB

Pemerintah daerah yang membutuhkan dana segar untuk pembangunan dipertemukan dengan semakin tingginya biaya hidup masyarakat dewasa ini. Kondisi itu menuntut adanya alternatif yang lebih adil dan dapat diterima oleh masyarakat di tengah kondisi yang serba sulit.

Salah satu pendekatan yang layak dipertimbangkan adalah Land Value Capture (LVC). Prinsip dari LVC sederhana, nilai tanah sering naik karena adanya proyek atau kebijakan publik dari pemerintah, misalnya pembangunan jalan tol, stasiun, atau taman kota. Kenaikan tersebut tidak terjadi karena usaha atau investasi langsung dari pemilik tanah, melainkan akibat kerja dan dana publik.

Dengan pendekatan LVC, pemerintah dapat menarik pajak dari kenaikan nilai tanah yang terjadi untuk kembali membiayai pembangunan lainnya di kemudian hari. Berbeda dengan PBB yang dibayar setiap tahun tanpa memandang ada tidaknya perubahan nilai, LVC hanya dikenakan ketika terjadi manfaat nyata yang menaikkan nilai tanah warga.

Penerapan LVC pada dasarnya dapat dilakukan dengan langkah-langkah yang jelas. Pemerintah daerah terlebih dahulu dapat menentukan zona dampak suatu proyek, misalnya dalam radius tertentu dari lokasi pembangunan. Nilai tanah di zona ini diukur sebelum proyek dimulai, lalu kembali dinilai setelah proyek selesai, menggunakan data resmi dari penilai tanah independen yang transparan.

Selisih antara nilai awal dan nilai setelah proyek yang disebut uplift, menjadi dasar perhitungan pungutan. Pemerintah daerah kemudian dapat menetapkan persentase wajar dari uplift tersebut, misalnya 15 hingga 25 persen, dengan pilihan pembayaran sekaligus atau diangsur selama beberapa tahun.

Untuk melindungi warga berpenghasilan rendah, bidang tanah yang di atasnya terdapat bangunan rumah utama dengan nilai rendah dapat dibebaskan dari pungutan atau diberi potongan yang signifikan.

Dengan pendekatan ini, pemerintah daerah tidak perlu sepenuhnya meninggalkan PBB. PBB tetap bisa dipungut dengan tarif rendah untuk menjaga arus kas rutin, sementara LVC digunakan untuk menangkap sebagian keuntungan dari kenaikan nilai tanah akibat proyek strategis.

Kombinasi ini tidak hanya membuat pendapatan daerah lebih beragam dan berkelanjutan, tetapi juga membangun rasa keadilan di masyarakat, karena pungutan didasarkan pada manfaat yang benar-benar mereka terima.

Mewujudkan Penarikan Pajak yang Berkeadilan

Peristiwa di Pati menjadi pengingat bahwa kebijakan pajak tanah bukan sekadar soal angka, melainkan soal legitimasi dan kepercayaan publik. Kenaikan PBB yang drastis mungkin bisa menambah kas daerah dalam jangka pendek, tetapi jika dilakukan tanpa transisi yang bijak, hal itu berisiko memutus hubungan harmonis antara pemerintah dan warganya.

Sebaliknya, model kontribusi berbasis manfaat seperti LVC memberi adanya simbiosis mutualisme. Bagi pemerintah daerah akan tetap mendapatkan dana pembangunan, sementara masyarakat membayar dengan rasa rela karena tahu pungutan tersebut berbanding lurus dengan manfaat yang mereka peroleh.

Pajak, pada akhirnya, harus menjadi sarana gotong royong yang memperkuat, bukan merenggangkan ikatan antara negara dan rakyatnya.

Hernanda Damantara. Pegawai Negeri Sipil di Kementerian ATR/BPN RI.

Simak juga Video: Mendagri Tegur Bupati Pati Lewat Telepon Imbas Ricuh Kenaikan PBB

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads