Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Refleksi Kemerdekaan: Bule dan Demokrasi

Minggu, 17 Agu 2025 19:08 WIB
Faris Widiyatmoko
Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi bendera merah putih
Foto: Ilustrasi bendera merah putih (Getty Images/iStockphoto/Bastian Saputra)
Jakarta -

Seorang dosen senior mengatakan "Jangan panggil saya dengan Pak, cukup panggil saja dengan nama saya," ujarnya dengan setengah memaksa. Namun seorang dosen muda menyahut "Waduh, maaf sepertinya permintaan itu sulit sekali bisa dilakukan... Pak."

Penggalan interaksi itu saya dapati secara langsung di kehidupan kampus, tidak lama ini. Kata sapaan Bapak atau Ibu untuk dosen yang lebih senior adalah hal yang lumrah saja, kadang juga diselipi dengan panggilan atas gelarnya.

Namun apa yang ingin disampaikan dosen senior itu saya memahaminya--mungkin--sebagai ekspresi keinginan mendobrak relasi kuasa yang menurutnya tidak seharusnya. Bagi seorang dosen muda memanggil dengan sapaan Bapak atau Ibu kepada dosen senior, selain sebagai bentuk penghormatan juga merupakan sopan santun yang harus dijaga.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Entah, saya sendiri belum memahami betul, apakah itu baik atau buruk sebagai iklim akademis di kampus. Tapi umumnya bagi masyarakat dengan adat ketimuran seringkali kita dengar "adab lebih utama dari ilmu".

Hal itu mungkin yang menjadi dasar bagi sebagian besar dosen, termasuk dosen muda untuk lebih menjunjung dan menjaga adab.

ADVERTISEMENT

Kisah Ben Anderson Soal Istilah 'Bule'

Saya jadi teringat dengan sebuah kisah dari seorang Indonesianis, Benedict Anderson (Ben), yang memberikan kontribusi kecil dalam bahasa Indonesia (tapi bertahan hingga kini). Ben mempopulerkan kata "bule".

Bagi sebagian orang mungkin sapaan itu adalah terdengar rasis. Faktanya justru sebaliknya, Ben hanya tidak suka seringkali dipanggail dengan sapaan "Tuan" oleh orang-orang Indonesia pada masa itu hanya karena warna kulitnya putih. Ia juga membenci ketika orang Indonesia terkesan menunduk-nunduk hormat kepadanya, hanya karena warna kulitnya.

Bagi orang Indonesia yang baru bebas dari kolonialisme, pada masa itu sekitar 1960-an, memang tidak mudah untuk mengubah kebiasaan memanggil "Tuan" kepada orang-orang kulit putih. Karena bagi orang Belanda, pada masa kolonial itu, keinginan untuk dipanggil "Tuan" karena merasa derajatnya yang lebih tinggi dibandingkan orang Indonesia.

Akhirnya Ben menemukan jalan keluar. Ia menyadari bahwa warna kulitnya sebenarnya bukan putih melainkan lebih mendekati warna merah muda kelabu. Akhirnya ia memberi tahu kawan-kawannya orang Indonesia, bahwa ia seharusnya dipanggil bule karena warna kulitnya mendekati seperti hewan albino yang biasa disebut oleh orang Indonesia sebagai "bulai" atau "bule".

Dari sini kita memahami bahwa kata sapaan saja mengandung relasi kuasa. Ben hanya mencoba untuk membuat dirinya diterima sebagaimana adanya, sebagai dirinya tanpa embel-embel warna kulit.

Saya memahami itu karena Ben seringkali adalah pendukung mereka yang tak diperhitungkan atau underdog.

Pada masa kelam, Oktober 1966, Ruth McVey, Fred Bunnell, dan Ben menyusun sebuah preliminary analysis yang dikenal sebagai Cornell Paper. Judulnya adalah "Premimenary Analysis of the October 1, 1966, Coup in Indonesia", kurang lebih argumentasi awalnya adalah "percobaan kudeta" pada masa itu sebenarnya bisa dilacak pada konflik internal di tubuh militer sendiri, dan bukan PKI, sebagaimana yang luas tersiar pada masa itu.

Karena bocornya dokumen tersebut Ben dicekal masuk ke Indonesia selama 27 tahun, dan ia baru bisa kembali saat Soeharto tumbang.

Saya jadi teringat dengan kisah seorang pahlawan nasional, Sutan Syahrir. Ia adalah Perdana Menteri Indonesia pertama, termasuk orang yang secara aktif ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia di dalam negeri maupun forum-forum internasional. Namun naas bagi Syahrir, ia harus menghembuskan nafas terakhirnya sebagai tahanan politik di Zurich, Swiss. Syahrir seperti dikhianati oleh bangsanya sendiri.

Berbeda dengan Syahrir, Ben wafat di Kota Batu sebelum akhirnya abunya di Larung di laut utara Jawa. Sementara itu, jasad Syahrir dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Demokrasi Masa Depan

"Dimana-mana dewasa ini, demokrasi mengecewakan banyak orang" tulis William Liddle. Saya kira apa yang menjadi kalimat pembuka sebuah naskah orasi ilmiah yang pernah diberikan William Liddle, pada 2011 silam, masih sangat relevan dengan kondisi dunia hari ini, termasuk Indonesia. Sebagai sebuah orasi ilmiah pada masa itu, muncul beragam perdebatan atasnya, dapat membacanya pada masa itu saya merasa beruntung.

Gelombang otokrasi seperti merebak. Banyak negara mulai menunjukkan gejala apa yang disebutkan oleh Levitsky dan Way (2002) sebagai competitive
authoritarianism. Tanda-tandanya bisa banyak dan beragam, seperti adalah terjadi represi kepada pihak-pihak "oposisi" atau mereka yang mengkritik pemerintah.

Penggunaan kekuasaan untuk mengkooptasi dan melumpuhkan organisasi masyarakat sipil, tujuannya agar suara kritis tidak terdengar nyaring.

Hukum digunakan sebagai senjata untuk mengadili lawan dan mengamankan kawan adalah tanda lainnya. Selain itu, mengamankan kursi mayoritas di parlemen menjadi bagian penting untuk memastikan setiap kebijakan berjalan lancar, serta membungkam suara sumbang. Dalih yang sering digunakan adalah sebuah bangsa yang besar butuh persatuan dan kesatuan. Dengan demikian, koalisi gemuk adalah jalan yang pasti ditempuh.

Namun sadarkah kita? Bahwa koalisi gemuk, bahkan ketiadaan oposisi, justru mempercepat kita menuju jurang competitive authoritarianism. Hal ini membuat koreksi atas kebijakan yang keliru seringkali awalnya tidak datang awal meja-meja parlemen. Namun apakah kita harus meninggalkan demokrasi karena kekecewaan-kekecewaan kita terhadapnya?

Pernah suatu sore di akhir pekan dalam sebuah obrolan ringan seorang kawan dengan nada setengah bercanda menuturkan, "Demokrasi itu bikinan barat, nggak cocok buat kita." Kawan lain ikut menyahut, "Lalu yang origin kita apa? Kerajaan atau monarki", tiba-tiba suasana menjadi hening.

Refleksi Kemerdekaan

Menjelang hari kemerdekaan, pada 17 Agustus 2025, di pingir-pingir jalanan mulai menjamur penjual bendera dan umbul-umbul merah putih dengan beragam ukuran dan jenis. Kita Bersiap untuk merayakannya dengan beragam acara.

Namun apakah hari kemerdekaan ini hanya akan kita maknai sebatas ritual pengibaran bendera, acara perlombaan, atau seremonial?

Memang tidak salah merayakannya dengan cara demikian. Tapi mengingat usia republik yang sudah tidak lagi muda-80 tahun-upaya perayaan secara reflektif penting untuk dilakukan.

Refleksi memungkinkan kita untuk meneropong jauh ke depan, sekaligus memaknai masa lalu secara kontemplatif. Karena berbagai persoalan bangsa hari ini, tidak muncul tiba-tiba, ia merupakan penjelmaan dari beragam artikulasi kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Dari Ben kita bisa belajar bahwa bangsa Indonesia harus berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Kita harus menghilangkan puing-puing kolonialisme, termasuk neo-kolonialisme yang menjangkiti bangsa kita sekian lama. Ben menunjukkan seharusnya politik juga berpihak pada mereka yang tak dihitung, mereka yang lemah, atau mereka yang terpinggirkan.

Selanjutnya dari Syahrir kita juga memahami, bahwa terkadang cinta dan ketulusan terhadap Republik tidak selalu berbalas sebagaimana mestinya, dan kita mesti siap dengan segala konsekuensi. Namun bagaimanapun kecintaan terhadap Republik tidak boleh luntur.

Liddle menunjukkan kepada kita, meskipun demokrasi itu terkadang mengecewakan dan tidak seperti yang kita harapkan, namun langkah-langkah perbaikan atas mutu demokrasi harus selalu diupayakan. Karena melalui demokrasi pelbagai kepentingan dan pertisipasi warga negara menjadi dimungkinkan, serta demokrasi memungkinkan terwujudnya mekanisme perbaikan diri yang bisa terus tumbuh.

Selanjutnya, ketidakjelasan oposisi dalam pemerintahan kita hari ini, bisa menjadi pertanda buruk. Karena ketiadaan mitra kritis pemerintah, parlemen hanya akan jadi tukang stempel bagi setiap kebijakan pemerintah. Hal itu menjadikan setiap kebijakan tidak melalui perdebatan yang bermakna, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak evidence-based policy atau lebih buruk lagi hanya didasarkan pada selera penguasa.

Adakah jalan lainnya? Mungkin yang kita butuhkan adalah meradikalkan demokrasi, seperti yang pernah disampaikan Laclau dan Mouffe (1985) dalam bukunya "Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics". Setidaknya dalam demokrasi radikal, 'perbedaan' tidak hanya diterima, tetapi demokrasi juga hanya berfungsi melalui adanya 'perbedaan'.

Laclau dan Mouffe menekankan pentingnya mengakui dan memainkan antagonisme dalam politik. Sehingga melaluinya demokrasi radikal perbedaan dalam politik "kita" dan "mereka" akan selalu tumbuh, dan dengan demikian demokrasi menjadi hidup dan dinamis.

Faris Widiyatmoko. Direktur Eksekutif Politika Research & Consulting, Dosen Ilmu Politik FISIP UPN Veteran Jakarta.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads