Ketika Sukarno membidani kelahiran bangsa Indonesia dalam pidato "Lahirnya Pancasila" yang terkenal itu pada tanggal 1 Juni 1945, ia mengatakan bahwa kemerdekaan politik merupakan suatu jembatan emas.
Sebenarnya, Bapak Proklamator sedang mengutip tulisannya berjudul "Mencapai Indonesia Merdeka" yang dibuat terlebih dahulu pada tahun 1933. Di mana, Sukarno membayangkan jalanannya terbagi menjadi dua setelah jembatan itu dilalui.
Sukarno mengatakan bahwa salah satu jalurnya mengarah kepada 'dunia keselamatan' dan yang lainnya kepada 'dunia kesengsaraan' rakyat Marhaen yang menjadi bagian terbesar bangsa Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan gambaran Sukarno sebagai primus inter pares para pendiri bangsa Indonesia, maka kehidupan bangsa ini merupakan sebuah perjalanan dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Akan tetapi, pengembaraan di atas dunia ini tidak berakhir di situ.
Setelah lepas dari penjajahan dan meraih kebebasannya sebagai salah satu lagi insan merdeka di antara bangsa-bangsa, Indonesia harus melalui sebuah jembatan untuk berjalan menuju kondisi masyarakat yang adil dan makmur. Kondisi ideal yang ingin dicapai itu sendiri merupakan suatu antitesa terhadap penjajahan, yaitu bangsa Indonesia setelah menderita di bawah penjajahan ingin hidup bahagia dengan kemerdekaannya.
Tidak lama lagi, bangsa Indonesia akan merayakan hari ulang tahunnya yang ke-80 pada tanggal 17 Agustus 2025. Semua kalangan sepertinya bersuka-ria dimulai dari presiden yang akan membacakan pidato di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengenai pencapaian-pencapaian pemerintahannya, perayaan di istana negara, sampai dengan lomba panjat pinang di komunitas masing-masing.
Seakan-akan, bangsa Indonesia sudah berhasil melalui jembatan emasnya dan mengarah kepada 'dunia keselamatan'. Pada momem kritis ini, terutama di tengah munculnya banyak masalah di dalam dan luar negeri, kebahagiaan itu patut dipertanyakan apakah hanya sekadar menjadi topeng untuk menutupi penderitaan yang lebih mendalam lagi.
Sebelum membicarakan lebih lanjut apakah bangsa Indonesia benar-benar sudah meraih kebahagiaan, atau itu merupakan perasaan semu yang mengaburkan kenyataan, terlebih dahulu harus dibahas bagaimana kehidupan bangsa ini ketika dijajah oleh bangsa-bangsa asing. Perbandingan antara dua era, yaitu masa penjajahan dan masa kemerdekaan memungkinkan orang-orang yang hidup kini untuk membuat penelaahan dan kesimpulan objektif.
Demikian, sebuah penyelidikan, sekecil apapun itu, harus dilakukan terhadap kondisi bangsa Indonesia ketika masih hidup menderita pada masa penjajahan. Salah satu penunjuk yang dapat menggambarkan kondisi hidup di Indonesia pada masa penjajahan adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, sebab dua hal itu berkaitan langsung dengan kemampuan seseorang mencukupi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, terutama yang mendasar.
Berbagai literatur seperti An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1916 (Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926) yang ditulis Takashi Shiraishi (1990), menjelaskan tentang bagaimana perekonomian kolonial dan feodalisme di tanah Jawa yang mengambil keuntungan terbesar bagi dirinya sendiri.
Perekonomian model ini menekan para petani di wilayah tersebut, sehingga rakyat jelata hanya memperoleh pendapatan kecil dan harus hidup secara melarat.
Penelitian kontemporer seperti yang dilakukan Pim de Zwart (2021) menjabarkan realita tersebut dengan menggunakan angka-angka. Dalam artikelnya, Zwart menemukan bahwa sebagian terbesar Indonesia pada masa kolonial menderita tingkat kesenjangan ekonomi yang tinggi.
Bahkan, beberapa daerah seperti Batavia dan Surabaya memiliki angka rasio gini lebih dari 0.55, atau mengalami ketimpangan pendapatan yang tinggi. Berhadapan dengan kondisi seperti itu, maka tidak mengherankan apabila bibit-bibit ketidakpuasan muncul di tengah masyarakat yang akhirnya menuntut kemerdekaan untuk memperbaiki nasibnya sendiri.
Pentingnya masalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi ini terlihat dalam pidato-pidato dan esai-esai yang dikarang oleh Sukarno. Dalam "Mencapai Indonesia Merdeka" dan "Indonesia Menggugat" (1930) yang ditulis lebih dahulu lagi, tema-tema kemiskinan yang diakibatkan oleh penjajahan dan membuat rakyat hidup menderita, terutama kalangan Marhaen atau wong cilik yang notabene merupakan petani-petani kecil, mendominasi tulisan Bung Karno.
Sehingga, begitu besarnya permasalahan itu bagi kehidupan bangsa Indonesia sampai-sampai Sukarno dalam "Indonesia Menggugat" menegaskan bahwa pergerakan nasional harus bisa menyusun kekuatan para wong cilik dan mengedepankan kepentingannya dalam rangka meraih kemerdekaan Indonesia yang adil dan makmur.
Beranjak dari satu permasalahan kepada persoalan lainnya, kondisi pendidikan yang berkaitan dengan upaya melakukan pencerdasan terhadap kehidupan bangsa juga menarik untuk dibandingkan di sini.
Mengacu kepada pidato "Lahirnya Pancasila", Sukarno mengambil contoh bagaimana Uni Soviet (sekarang Rusia) mempergunakan kemerdekaannya untuk memperbaiki pendidikan dan mencerdaskan kehidupan bangsanya. Sukarno memaparkan bagaimana 80 persen rakyat Soviet mengalami buta huruf sebelum negara tersebut didirikan di atas reruntuhan Kekaisaran Rusia sebelumnya.
Baru setelah menjadi negara yang merdeka dan berdaulatlah, Soviet dapat mendirikan sekolah-sekolah untuk mencerdaskan masyarakatnya. Soviet kemudian menjadi bangsa adidaya pada masanya.
Indonesia juga memiliki permasalahan yang serupa dengan Soviet di bidang pendidikan itu. Shiraishi menulis dalam bukunya bahwa tingkat melek huruf kalangan pribumi di Jawa berada di bawah 3 persen sampai dengan tahun 1920, kendati dijalankannya sebuah kebijakan 'politik etis' oleh pemerintahan kolonial yang juga berfokus untuk memberikan pendidikan kepada para pribumi di Hindia Belanda.
Rendahnya angka melek huruf itu salah satunya juga diakibatkan oleh akses pendidikan yang tidak merata. Pendidikan masih diutamakan bagi kalangan Eropa, bangsawan, dan kalangan berpunya yang dapat merogoh kantong untuk mengirim anak-anaknya ke sekolah.
Permasalahan lainnya yang mengganggu pikiran Sukarno dahulu dan bangsa Indonesia kini adalah pembangunan infrastruktur fisik untuk mempermudah kehidupan sehari-hari warganya, sekaligus sebagai simbol kemajuan. Masih dalam pidato "Lahirnya Pancasila", Sukarno mengutarakan bahwa Soviet membangun bendungan besar di Sungai Dnieper setelah menjadi negara berdaulat untuk meningkatkan kondisi infrastruktur di negara itu.
Seperti dalam bidang pendidikan sebelumnya, Soviet lagi-lagi memanfaatkan kemerdekaannya untuk memperbaiki kehidupan bangsanya dengan melakukan pembangunan di segala bidang. Bung Karno berseru agar Indonesia melakukan hal yang sama setelah mendapatkan kemerdekaannya kelak.
Sebenarnya, 80 tahun Indonesia berjalan di atas jembatan emas kemerdekaan ini sudah melakukan perbaikan di segala bidang untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas itu.
Menulis untuk Asian Development Bank (ADB), Hal Hill (2021) menemukan bahwa standar hidup di Indonesia meningkat seiringan dengan berlangsungnya pertumbuhan ekonomi selama beberapa dasawarsa lalu.
Selain itu, kemiskinan juga berkurang meskipun hal itu terjadi secara perlahan. Pencapaian-pencapaian tersebut tidak bisa lepas dari pembangunan di sektor pangan dan industri manufaktur yang padat karya sampai dengan tahun 1980an. Kendati demikian, masih ada banyak rakyat Indonesia yang melarat dan Hill mencatat terjadinya peningkatan kesenjangan seiring dengan dilakukannya pembangunan ekonomi.
Di bidang pendidikan, bangsa Indonesia juga telah menempuh perjalanan panjang sejak Boedi Oetomo (BO) pertama kali didirikan pada tahun 1908 untuk mengumpulkan studiefond atau dana beasiswa dalam rangka membantu pemuda-pemuda dari kalangan pribumi memperoleh pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) menemukan bahwa sebanyak 96,67 persen penduduk Indonesia yang berusia 15 tahun ke atas sudah melek huruf pada tahun 2024.
Akan tetapi, pendalaman lebih lanjut akan menunjukkan bahwa kondisi pendidikan di beberapa daerah masih buruk. Pada tahun 2022, hanya sekitar 45 persen masyarakat Gorontalo yang berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat sekolah menengah atas (Bisnis, 2024). Sementara itu, tidak lebih dari 40 persen warga di Papua yang berhasil menamatkan pendidikannya sampai dengan jenjang tersebut.
Pemerintah belakangan ini juga telah mengupayakan pembangunan infrastruktur-infrastruktur fisik di beberapa tempat. Di Pulau Jawa dan beberapa tempat lainnya, pembangunan jalanan tol yang menghubungkan baik kota-kota besar maupun kecil digencarkan.
Bersamaan dengan itu, Indonesia juga membangun Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang menghubungkan Jakarta dan Bandung. Kemudian, sistem irigasi yang mencakup bendungan-bendungan dan saluran-saluran air di berbagai daerah juga ditingkatkan. Namun berbeda dengan di Pulau Jawa, kemajuan tersebut berjalan secara lambat di daerah-daerah lainnya.
Sebagai contoh, kondisi terhubungnya Pulau Jawa dari ujung ke ujung dengan jalan tol belum ditemukan di pulau-pulau lainnya seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Sama dengan persoalan-persoalan lainnya, permasalahan ini juga perlu segera diatasi.
Demikian sudah 8 dasawarsa lamanya Indonesia merdeka, ternyata bangsa ini masih berhutang 'pekerjaan rumah' untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dahulu, Sukarno pernah mengatakan bahwa kemerdekaan merupakan sebuah jembatan emas. Ketika sudah berhasil meraihnya, bangsa Indonesia harus menyeberangi jembatan itu untuk membangun dan menyempurnakan masyarakatnya.
Seyogyanya, kebebasan yang telah diraih susah-payah bisa digunakan untuk memperbaiki kehidupan rakyat Indonesia dalam segala aspeknya, termasuk pendidikan dan ekonomi.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa kemerdekaan Indonesia sebagai alat akan kehilangan maknanya apabila perbaikan-perbaikan itu tidak bisa terlaksana atau gagal dilaksanakan hingga rakyat tetap mengalami penderitaan dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Perjalanan untuk menyeberangi jembatan emas kemerdekaan dan membangun kehidupan bangsa Indonesia di sisi kebebasan itulah yang kini menjadi panggilan sekaligus tantangan bagi pemerintahan sekarang di bawah kepemimpinan Presiden, Prabowo Subianto, dan Wakil Presiden (Wapres) nya, Gibran Rakabuming Raka.
Dengan Asta Cita atau 8 cita-citanya untuk membangun Indonesia itu, menarik untuk dilihat apakah Prabowo mampu untuk memperbaiki kehidupan bangsanya.
Mulai dari penguatan ideologi Pancasila, sampai dengan penciptaan lapangan pekerjaan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), hingga memperkuat reformasi politik, dapatkah Prabowo akhirnya menyeberangi jembatan emas kemerdekaan dan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Seperti dikatakan sebelumnya, keberhasilan pemerintah akan membawa rakyat Indonesia ke seberang jembatan emas itu menuju 'dunia keselamatan'. Sebaliknya, kegagalan akan membuat rakyat tetap hidup di 'dunia kesengsaraan' bahkan setelah kemerdekaan berhasil diraih.
Bayu Arasy. Tenaga Ahli Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
Tonton juga video "Perintis, Tol Laut, dan Ternak: Jembatan Emas Penyambung Negeri" di sini:
(rdp/imk)