Kemerdekaan, Partisipasi, dan Ruang Publik Demokratis
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Kemerdekaan, Partisipasi, dan Ruang Publik Demokratis

Minggu, 17 Agu 2025 15:04 WIB
Jacko Ryan
Policy Analyst di DPR RI Alumni Ilmu Politik Universitas Airlangga.
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) mengibarkan Bendera Merah Putih saat Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (17/8/2025). Peringatan HUT ke-80 RI bertemakan Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. ANTARAFOTO/Aditya Pradana Putra/mrh/bar
Upacara HUT RI di Istana / Foto: ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Jakarta -

Kehadiran publik dalam upacara bendera detik-detik Proklamasi di Istana Negara membawa makna mendalam. Tradisi yang sudah berlangsung sejak masa Presiden Joko Widodo dilanjutkan hingga saat ini. Pada HUT RI pertama yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto, jumlah undangan mencapai rekor tertinggi, 16 ribu orang yang didominasi masyarakat umum.

Antusiasme ini menunjukkan Istana menjadi ruang publik baru dalam penghayatan nasionalisme. Perayaan 17 Agustus merupakan momentum mengingat-rayakan kedaulatan rakyat yang menjadi pondasi berdirinya negara Indonesia.

Kehadiran publik sekaligus mengejawantahkan makna demokrasi yang sejatinya tercipta karena ada kesempatan-kesempatan yang luar biasa (extraordinary possibilities) yang dialami orang-orang biasa (ordinary people).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Bersatu Berdaulat

Prinsip ordinary acapkali luput ketika menggagaskan demokrasi. Sebab seringkali demokrasi dianggap tuntas ketika telah bertumpu pada prinsip mayoritas. Padahal prinsip demikian justru rentan menimbulkan paradoks dalam tubuh demokrasi itu sendiri karena mayoritas dapat berubah menjadi tiran yang mengabaikan pluralitas, bahkan menyingkirkan minoritas.

Ketegangan tampak karena pertentangan antara prinsip inklusivitas dengan kecenderungan dominasi mayoritas. Keduanya dimungkinkan dalam iklim demokrasi.

Karena itu, selain memberikan ruang yang luar biasa dalam diri orang-orang biasa, ide persatuan dan kedaulatan dalam demokrasi modern tak selalu berorientasi pada hasil akhir, namun menilik pada proses, yakni bagaimana dinamika masyarakat terlibat dalam arena diskursif (deliberative).

Sikap terbuka dan tenggang rasa diuji pada tahap ini, bahkan menjadi tantangan tersendiri. Hingga pada akhirnya, walaupun tidak selalu berujung pada konsensus, persatuan tetap dapat terajut di tengah perbedaan.

Di tengah arus polarisasi dan tantangan kebangsaan, momen upacara kenegaraan menghadirkan ruang kebersamaan yang melampaui sekat perbedaan. Ribuan warga dari beragam latar belakang berdiri sejajar di halaman Istana Negara, menghayati kemerdekaan dengan kebanggaan, dan pulang membawa pengalaman kolektif dalam keterlibatan pada ruang publik.

Rakyat Sejahtera

Demokrasi bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, salah satunya kesejahteraan. Untuk mencapainya, tiga nilai pokok harus berjalan beriringan: kebebasan, kesetaraan, dan keadilan.

Masing-masing bernilai penting, namun tidak cukup bila berdiri sendiri (necessary but not sufficient). Tanpa keterpaduan, kebebasan bisa meniadakan kesetaraan; kesetaraan tanpa kebebasan akan mematikan dinamika; dan keadilan tanpa keduanya kehilangan makna.

Filsuf Isaiah Berlin (1909-1997) pernah mengingatkan bahwa, "Kebebasan bagi serigala seringkali berarti kematian bagi domba." Kebebasan yang absolut, tanpa kesetaraan, hanya akan melanggengkan ketimpangan.

Di sinilah letak paradoks kebebasan, sebab kebebasan sejati adalah ketika kita rela melepaskan sebagian kebebasan demi memelihara ruang bersama. Kebebasan akan bernilai ketika dapat memberi tempat bagi kebebasan yang lain.

Begitu pula dengan nilai kesetaraan. Ketidakadilan lahir dari keterpisahan yang membawa demokrasi ke dalam krisis dengan dua ancaman: yakni ketika yang kuat berhimpun bersama, di lain pihak, yang lemah tersudut bersama yang lemah pula. Jurang keterpisahan ini akan meruntuhkan dambaan kesejahteraan yang dicapai melalui demokrasi.

Praktik nyata salah satunya tampak pada persoalan kemiskinan. Studi-studi dari Amartya Sen (1933), misalnya, menyimpulkan bahwa kemiskinan bukan disebabkan karena orang miskin tidak memiliki sesuatu, namun karena tidak memiliki kesempatan untuk melakukan sesuatu (quality of opportunity), sehingga mereka terus terjerembab dalam pusaran kemiskinan.

Dalam perkataan Santo Ambrosius (340-397), keadilan sejati bukan ketika orang kaya "memberi" kepada orang miskin, melainkan saat hak yang diambil dikembalikan. Sebab kesetaraan kesempatan seharusnya dimiliki oleh setiap orang.

Karena itu, perwujudan kesejahteraan (well-being) perlu dilihat dari sejauh mana kemampuan seseorang bisa menjadi sesuatu (being) ketika melakukan sesuatu (doing) secara penuh. Kedua fungsi ini yang membuat hidup seseorang bernilai.

Dari tegangan-tegangan di atas, tampak bahwa demokrasi adalah pilihan ekstrim, sebab melaluinya terjadi kemungkinan yang terbaik, sekaligus yang terburuk. Teolog Reinhold Niebuhr (1892-1971) menyorotnya dengan berkata, "Kemampuan manusia untuk menegakkan keadilan membuat demokrasi menjadi mungkin, tetapi kecenderungan manusia terhadap ketidakadilan membuat demokrasi menjadi suatu keharusan."

Demokrasi perlu berjalan dengan memfasilitasi potensi baik manusia, sekaligus membatasi hambatan buruknya. Di sinilah pemerintahan demokrasi berperan: ia perlu menjaga keseimbangan tegangan-tegangan tersebut, sehingga kemungkinan terbaik dapat terwujud, serta kemungkinan terburuk dapat teredam melalui jaminan kebebasan, kesetaraan, keadilan tercipta dalam rangka perwujudan kesejahteraan.

Indonesia Maju

Antusiasme publik pada upacara kali ini memberi harapan bahwa nasionalisme masih berdenyut di hati rakyat. Peluang ke depan adalah mengawal partisipasi ini menuju demokrasi substansial--yakni demokrasi yang bukan sekadar prosedural, melainkan berdampak pada kualitas hidup warga negara.

Demokrasi substansial dicanangkan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 sebagai salah satu dari 17 arah pembangunan menuju Indonesia Emas 2045. Dalam paradigma pembangunan ke depan, pembangunan demokrasi menjadi salah satu unsur penting yang tanpanya tak akan mungkin tercipta transformasi Indonesia secara menyeluruh (conditio sine qua non).

Kemajuan bukan berarti sekadar perubahan, melainkan bergantung pada daya tahan. Karenanya demokrasi matang membutuhkan kesinambungan pengalaman dan tidak dapat bertahan tanpa warga negara yang menghidupkannya.

Mencapai demokrasi memang sulit, namun lebih sulit lagi mempertahankannya, sebab prasyarat keberlanjutan demokrasi berbeda dengan prasyarat pembentuknya. Demokrasi bukanlah barang jadi, namun proses menjadi yang terus-menerus terjadi (democracy to come).

Ia tak lahir untuk dirinya sendiri, melainkan menyatupadu dalam perjuangan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sebagai jantung dari demokrasi. Perlu diakui bahwa sistem demokrasi tidak selalu sempurna, tetapi sampai hari ini, hanya melalui demokrasi kita dapat berharap pada perwujudan kesejahteraan semesta. Semoga.

Jacko Ryan. Policy Analyst di DPR RI Alumni Ilmu Politik Universitas Airlangga.

(rdp/imk)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads