USA: United States of Apartheid?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

USA: United States of Apartheid?

Sabtu, 16 Agu 2025 20:05 WIB
Rachland Nashidik
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi dan pernah menjadi pengurus DPP Partai Demokrat, Rachland Nashidik
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
People walk amongst US national flags erected by students and staff from Pepperdine University to honor the victims of the September 11, 2001 attacks in New York, at their campus in Malibu, California on September 10, 2015. The students placed some 3,000 flags in the ground in tribute to the nearly 3,000 victims lost in the attacks almost 14 years ago.      AFP PHOTO / MARK RALSTON / AFP / MARK RALSTON
Foto: dok. Rachland
Jakarta -

Presiden Donald Trump baru-baru ini menyebut enam kota di Amerika Serikat akan diambil alih oleh pemerintah federal. Dimulai dengan Washington D.C., kemudian Baltimore, Oakland, Los Angeles, Chicago, dan New York- semuanya adalah basis elektoral Partai Demokrat.

Dari daftar itu, lima kota, termasuk ibu kota negara, dipimpin walikota kulit hitam: Muriel Bowser di Washington D.C., Brandon Scott di Baltimore, Karen Bass di Los Angeles, Brandon Johnson di Chicago, dan Eric Adams di New York. Oakland, satu-satunya pengecualian, dipimpin Sheng Thao, perempuan keturunan Asia-Amerika.

Sebagian besar kota itu memiliki penduduk mayoritas non-kulit putih. Baltimore dan D.C. berpenduduk mayoritas kulit hitam. Oakland dan Los Angeles memiliki populasi besar warga Hispanik. Chicago dan New York juga memiliki komposisi ras yang beragam, dengan porsi signifikan "people of color".

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Federalisasi demi apa?

Trump mengklaim kota-kota tersebut tenggelam dalam kriminalitas -- dan bersumpah akan "mengembalikan ketertiban" dengan melakukan "federalisasi" atas kepolisian setempat. Padahal, konstitusi AS, melalui prinsip dual sovereignty, dan undang-undang seperti Posse Comitatus Act, membatasi penggunaan kekuatan federal ini dalam penegakan hukum domestik.

ADVERTISEMENT

Data resmi justru membantah tudingan Trump. Baltimore, contohnya, berhasil menurunkan angka pembunuhan hampir seperempat dalam setahun terakhir. Oakland mencatat penurunan kriminalitas hampir sepertiga, khususnya kejahatan kekerasan. Adapun Washington D.C. berada di tingkat kriminalitas terendah dalam tiga dekade terakhir.

Sesungguhnya, retorika "mengembalikan ketertiban" bukan hal baru dalam politik Amerika. Presiden Richard Nixon pada 1968 dan Ronald Reagan di awal 1980-an mengambil langkah serupa untuk merespons keresahan publik terhadap kriminalitas. Bedanya, kebijakan mereka adalah kebijakan nasional -- bukan cuma menyasar kota-kota tertentu saja.

Trump berbeda. Ia memilih target spesifik: kota yang dipimpin lawan politik, memiliki mayoritas penduduk kulit berwarna, dan umumnya dipimpin walikota kulit hitam.

"Federalisasi" juga bukan barang baru. Pada 1957, Presiden Dwight D. Eisenhower misalnya pernah mengirim pasukan federal ke Little Rock, Arkansas, untuk memerangi rasialisme. Persisnya, untuk menegakkan putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan murid kulit hitam boleh bersekolah bersama murid kulit putih, melawan kebijakan segregasi pemerintah negara bagian.

Trump sebaliknya: Ia mau melakukan federalisasi untuk mengambil paksa kendali kota yang mayoritas warga dan pemimpinnya tak berkulit putih. Jika Eisenhower membongkar tembok diskriminasi, Trump sebaliknya seperti hendak membangunnya kembali.

Kasus Washington D.C.

Secara konstitusi, Washington D.C. memang unik. Kota ini otonom, bukan negara bagian, dan berada langsung di bawah yurisdiksi federal. Pengaruh pemerintah federal pada Kepolisian D.C. sangat kuat, terutama dalam hal anggaran dan kebijakan keamanan. Kondisi inilah yang membuat intervensi federal di D.C. secara hukum lebih mudah dilakukan.

Namun keadaan tersebut tak berlaku di Baltimore, Oakland, Los Angeles, Chicago, atau New York. Semua kota itu berada di bawah otoritas negara bagian yang memiliki otonomi kepolisian sendiri. Mengambil alih kendali kepolisian di kota-kota tersebut berarti merampas hak pemerintah negara bagian untuk mengatur urusannya sendiri-inti dari sistem federal yang telah menjadi tulang punggung demokrasi Amerika.

Dengan menjadikan D.C. sebagai pembenaran bagi "federalisasi" kota lain, Trump sedang menyerang prinsip dasar pembagian kekuasaan antara pusat dan negara bagian.

Apartheid?

Dan inilah yang membuatnya sangat berbahaya: Trump berusaha menggerus sistem federal yang menjadi fundamen demokrasi Amerika. Ia menawar tapal batas terjauh dari kewenangan konstitusional presiden Amerika Serikat -- gerbang besi yang selama ini menghalanginya dari kekuasaan terpusat dan tanpa kontrol.

Jangan-jangan, ia juga sedang membangun authoritarian racial politics-kekuasaan politik yang berbasis otoritarianisme dan kebencian rasial. Suatu diskriminasi terlembaga yang pernah membuat Afrika Selatan dan kini Israel disebut negara apartheid.

Statuta Roma mendefinisikan apartheid sebagai "kebijakan dan praktik yang dilakukan dengan tujuan dominasi sistematis satu kelompok ras terhadap kelompok ras lainnya, dan menindas mereka secara sistematis." Rejim apartheid di sebuah negara yang sebelumnya dianggap jantung demokrasi dunia? Betapa tragis bila itu terjadi!

Rachland Nashidik.

(maa/maa)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads