Seorang dosen bercerita, ia menghabiskan hampir satu minggu hanya untuk menyusun laporan Beban Kerja Dosen (BKD), memperbarui akun SINTA, dan menyusun rencana penelitian sesuai template institusi. Dalam seminggu itu, tidak satu pun ide baru yang sempat ditulis. Tak ada waktu membaca. Tak ada ruang berpikir. Di akhir minggu, yang tersisa hanya kelelahan administratif—tanpa gairah intelektual.
Cerita ini bukan anekdot semata. Ia menjadi potret keseharian yang lazim di banyak kampus di Indonesia. Di balik semangat "transformasi pendidikan tinggi", tersembunyi sebuah ironi: dosen makin kehilangan jati diri sebagai pemikir. Mereka makin sering disibukkan oleh form, laporan, dan sistem, ketimbang gagasan, kritik, dan riset bermakna.
Transformasi yang dijanjikan justru menjelma birokratisasi yang membelenggu. Kampus menjelma kantor. Rektor seperti manajer korporasi. Dan dosen—yang seharusnya menjadi aktor perubahan—terjebak menjadi petugas administrasi yang mengejar skor.
Salah satu ironi besar pendidikan tinggi kita adalah bagaimana gagasan kebebasan akademik terus digaungkan, tapi praktiknya justru berjalan berlawanan. Banyak perguruan tinggi kini lebih mirip birokrasi pemerintahan: hirarkis, administratif, dan penuh pengawasan. Sistem yang dibangun bukan untuk mendorong keberanian berpikir, melainkan untuk memastikan kepatuhan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Max Weber pernah menyebut birokrasi sebagai sistem rasional-legal yang dibentuk demi efisiensi dan keadilan. Tapi ia juga mengingatkan, bahwa dalam masyarakat yang terlalu birokratis, manusia bisa terjebak dalam "sangkar besi" (iron cage)—kehilangan makna, tujuan, dan agensi. Hal ini kini nyata di dunia kampus kita.
Rektor menjadi aktor politik lokal. Senat akademik lebih sering menjadi perpanjangan kebijakan institusi ketimbang pengawal integritas ilmiah. Riset bukan lagi jalan mencari kebenaran, tetapi proyek tahunan yang harus sesuai agenda institusional.
Puncak dari birokratisasi akademik adalah ketika riset kehilangan ruhnya sebagai proses intelektual. Kini, penelitian harus sesuai Rencana Induk Riset Nasional (RIRN). Proposal wajib tunduk pada template. Laporan harus sesuai format LPPM. Dan hasilnya harus dikonversi ke angka kredit dosen.
Gagasan-gagasan orisinal yang berangkat dari keresahan sosial sering kali tidak mendapat tempat. Akibatnya, riset lebih menjadi pajangan statistik ketimbang menjadi fondasi kebijakan publik. Berbeda dengan di Inggris, seperti disampaikan Bagus Muljadi (University of Nottingham) dalam Podcastnya, kampus di sana memiliki otonomi penuh dalam riset dan hasilnya digunakan serta dilindungi oleh negara. Di Indonesia, sebaliknya, topik-topik yang terlalu kritis dianggap tidak strategis. Luaran yang tidak masuk dalam indeks internasional dianggap kurang bernilai.
Hasilnya, riset berubah menjadi pajangan administratif—tersimpan rapi dalam laporan, tapi tidak punya daya gugah. Kita sibuk mengurus sistem, tapi lupa membangun isi.
Data dari World Intellectual Property Report 2024 menunjukkan bahwa Indonesia tertinggal dalam lanskap inovasi global. Dari 626 kapabilitas inovasi yang diukur secara internasional, tidak satu pun yang dikuasai Indonesia melebihi ambang kontribusi 1%. Sementara itu, Malaysia dan Singapura terus mencatatkan kemajuan signifikan—bahkan dalam bidang kompleksitas tinggi seperti teknologi dan produksi.
Kondisi ini tak bisa dilepaskan dari lemahnya sistem yang menghubungkan sains, teknologi, dan kebijakan. Di Indonesia, riset akademik cenderung tercerabut dari kebutuhan riil masyarakat. Ia hidup dalam ekosistem yang sempit, dibatasi oleh skema pembiayaan, luaran administratif, dan evaluasi formalistik.
Sebaliknya, negara-negara yang lebih maju dalam inovasi justru memberi ruang otonomi kepada kampus. Mereka menempatkan dosen dan peneliti sebagai motor utama pembangunan pengetahuan—bukan sekadar buruh akademik yang patuh pada dokumen.
Hari ini, menjadi dosen berarti harus ahli mengelola dokumen: BKD, SINTA, akreditasi, laporan kinerja, angka kredit, dan sebagainya. Sistem ini membentuk budaya akademik yang mengutamakan skor, bukan makna. Menulis bukan untuk menggugat, tapi untuk naik pangkat. Riset bukan untuk menjawab masalah publik, tapi untuk memenuhi kewajiban tri dharma.
Gairah intelektual perlahan meredup. Gagasan-gagasan liar dan radikal—yang seharusnya tumbuh subur di kampus—malah dianggap berbahaya. Kritik pada sistem ditafsirkan sebagai pembangkangan. Dosen pun memilih diam. Ruang diskusi menyempit. Yang tersisa hanya rutinitas—rapi, tapi kosong.
Dalam sistem seperti ini, keberanian akademik sulit tumbuh. Riset ramai saat musim hibah. Artikel ilmiah ditulis bukan karena kegelisahan, tapi karena kewajiban. Banyak dosen yang menghindari isu-isu kritis karena takut dikaitkan dengan "politik" atau dianggap "tidak sejalan" dengan kebijakan institusi.
Keberanian berpikir menjadi barang langka. Padahal, universitas semestinya menjadi tempat di mana kebebasan dijunjung tinggi. Tempat di mana pertanyaan paling sulit diajukan, dan jawaban paling radikal bisa diuji secara intelektual.
Namun hari ini, kampus seperti kehilangan napasnya. Ia masih hidup—tapi tanpa jiwa.
Menata Ulang Arah Pendidikan Tinggi
Sudah saatnya kita menegaskan: dosen bukan birokrat. Kampus bukan kantor. Riset bukan proyek tahunan. Jika bangsa ini sungguh ingin maju dalam peradaban pengetahuan, maka dosen harus dipulihkan posisinya sebagai aktor perubahan. Bukan sekadar pelaksana kebijakan, tapi pemikir yang berani menggugat arah.
Negara dan institusi pendidikan tinggi perlu mengembalikan ruh keilmuan ke dalam sistemnya. Jangan lagi menilai dosen semata dari angka kredit dan laporan kinerja. Nilailah dari dampak pemikirannya, relevansi risetnya, dan keberanian kritiknya. Hilangkan ketergantungan pada metrik formalistik. Bangun sistem evaluasi yang kontekstual, terbuka, dan adil.
Riset harus dikembalikan pada orientasi sosialnya. Biarkan dosen meneliti persoalan yang ia lihat dan alami langsung. Dorong penelitian lintas-disiplin yang menjawab kompleksitas zaman. Hasil riset harus dijadikan dasar kebijakan publik, bukan sekadar penghias laporan institusi.
Dosen bukan hanya pelaksana tri dharma. Ia adalah pemikir, penggerak perubahan, dan penjaga nurani bangsa. Jika negara terus mendorong dosen untuk sekadar patuh, maka yang lahir bukan intelektual, tapi birokrat berseragam akademik.
Dan selama kampus lebih percaya pada angka ketimbang nyali intelektual, maka ilmu hanya akan jadi pelengkap kekuasaan—bukan penantangnya.
Dr Ali M Zebua. Dosen di Program Pascasarjana, IAIN Kerinci, pengurus pusat pada Perkumpulan Prodi MPI Indonesia (PPMPI).
Simak juga Video: Kata Sri Mulyani soal Gaji Guru-Dosen Kecil