Kolom

Dilema Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal

Aldaffa Syammaera Hadi - detikNews
Minggu, 03 Agu 2025 18:12 WIB
Kotak suara pemilu 2024 (Grandyos/detiknews)
Jakarta -

Mahkamah Konstitusi ini akhir akhir ini menuai berbagai komentar dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.

Pemisahan ini nantinya akan membagi pemilihan menjadi pemilu nasional yang bertujuan memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, dan DPD, dengan pemilu lokal yang bertujuan untuk memilih DPRD Provinsi/Kabupaten, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota.

Keputusan ini jelas merupakan hasil diskusi panjang dengan berbagai pertimbangan positif dan negatif dari Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislatoir.

Secara sederhana, antara pemilu nasional dan pemilu lokal akan memiliki jeda waktu antara 2 sampai 2,6 tahun, sehingga pemilu yang biasa kita kenal sebagai pemilu 5 kotak sudah tidak lagi ada. Hal ini berarti bila pemilu sebelumnya sukses dijalankan di tahun 2024, maka pemilu selanjutnya akan dilaksanakan di tahun 2029 sebagai pemilu nasional dan 2031 sebagai pemilu daerah.

Hal ini tentu menuai berbagai respon dari berbagai kalangan masyarakat mulai dari pemerintah, politisi, partai politik, akademisi, hingga masyarakat sipil. Banyak yang menganggap hal ini sebagai kemajuan demokrasi, namun tak sedikit pula yang menganggap bahwa hal ini adalah bentuk penyimpangan terhadap konstitusi.

Pemisahan pemilu ini bukan tanpa alasan. Hal ini didasari beberapa faktor yang telah dikaji secara mendalam melalui riset dan evaluasi dalam 2 periode pemilu serentak sebelumnya.

Memberi Kemudahan Bagi Pemilih

Dalam mekanisme pemilu serentak sebelumnya, setiap pemilih akan dihadapkan dengan 5 kotak suara dalam hari pencoblosan yang sama. Dampaknya cenderung memberikan kebingungan bagi pemilih karena melalui mekanisme tersebut pemilih harus menentukan dari sekian banyak calon dalam satu waktu, yang dimana mereka tidak akan mampu berfokus pada visi misi dari setiap calon.

Hal ini justru akan menjadikan pemilihan sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi menjadi tidak maksimal.

Selain itu pemilu serentak yang dilaksanakan di tahun yang sama akan memberikan kejenuhan bagi masyarakat. Dapat dilihat dari tingkat partisipasi masyarakat yang jika dikaji dapat kita saksikan bahwasannya tingkat partisipasi masyarakat justru menurun drastis ketika pilkada dilaksanakan.

Menurut data dari KPU RI Ketika pemilu 2024 berlangsung, tingkat partisipasi masyarakat mencapai sekitar 82%. Akan tetapi ketia pilkada justru anjlok hingga di bawah 70%. Angka tersebut menunjukan fenomena voters fatigue atau kejenuhan masyarakat dalam melakukan pemilihan.

Selanjutnya selain dengan banyaknya calon yang ditawarkan, ukuran kertas dalam pemilu serentak pun dinilai terlalu besar sehingga cukup menyulitkan dalam aplikasinya terutama bagi pemilih yang sudah lanjut usia.

Langkah Evaluasi di Tingkat Nasional

Melalui langkah pemisahan ini jelas bahwa akan ada jeda selama dua tahun. Selama periode tersebut masyarakat dapat melakukan fungsi evaluasi untuk melihat kelayakan calon calon yang terpilih di pemilu nasional beserta partai politiknya.

Ini akan menjadikan dasar evaluasi setidaknya selama 2 tahun setelah pemilu nasional bagi rakyat untuk dapat menentukan pandangannya terhadap partai politik yang menang di pemilu nasional untuk berlaga kembali di pemilu daerah.

Bagi parpol yang calonnya terpilih dalam pemilu nasional dan terbukti gagal memberikan kontribusi positif selama menjabat, maka rakyat tidak perlu menunggu 5 tahun untuk memberikan hukuman bagi partai poitik tersebut, cukup menunggu 2 tahun dalam periode pemilu daerah untuk menghukum partai politik tersebut untuk tidak memilihnya. Hal ini menuntut pengkaderan dan pembinaan politik di setiap parpol untuk menjadi lebih sehat dan evaluatif.

Meningkatkan Mutu Kerja KPU

Dalam sistematika pemilu sebelumnya, KPU baru mengalami situasi "hectic" untuk proses tahapan hanya pada tahun pemilihan dilakukan, meskipun KPU sudah mulai bekerja mempersiapkan proses tahapan sejak 20 bulan sebelum pemilu dilaksanakan, juga dengan pekerjaan seperti Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) dan pekerjaan substansial lainnya.

Sistem pemisahan pemilu ini nantinya akan menjadikan kinerja KPU yang lebih sehat dan ideal karena membuat KPU selalu dalam kondisi bekerja dan dituntut selalu dalam kondisi prima, bukan hanya bekerja dalam satu waktu di tahun pemilihan yang justru semua beban kerja menumpuk disana.

Meningkatkan Sistem yang Sehat di Parpol

Melalui sistem pemilihan ini partai politik dituntut untuk mampu mempersiapkan calonnya dengan lebih serius. Karena masa tunggu yang semula adalah 5 tahun, kini dipersingkat dengan jeda 2-2,6 tahun antara pemilu nasional dan pemilu daerah.

Partai politik pada akhirnya harus melakukan sistem pengkaderan dan mentoring kadernya secara berkala dalam tempo yang lebih singkat sehingga mereka dituntut untuk dapat selalu bekerja. Sama seperti KPU, pada akhirnya hal ini akan menciptakan sistem yang lebih sehat dan lebih aktif bagi setiap partai politik.

Isu ini jelas menjadi kontroversi di tingkat nasional karena akan memberikan dilematis sendiri baik di kamar konstitusi, demokrasi, maupun di kamar politik. Selain dalam dampak positif, adanya putusan ini juga dinilai banyak orang sebagai langkah penyelewengan terhadap konstitusi yang dimana Pasal 22E Ayat 1 dan 2 jelas menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan digelar untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, dan DPRD.

Kritik tajam banyak berhembus dari Senayan dan para petinggi partai politik yang mana menganggap MK sebagai "guardian of constitusion" justru bertindak sebagai positive legislatoir.

Secara substantif bilamana ingin dikaji lebih dalam, putusan ini sama sekali tidak bertentangan dengan konstitusi, justru yang menjadi titik problematika terletak pada bagaimana mekanisme pengisian kursi yang kosong pada selang waktu antara pemilu nasional dan pemilu lokal. Mekanisme inilah yang menuai berbagai pertanyaan apakah MK dalam memutus telah mempertimbangkan hal ini.

Di sisi lain terdapat beberapa alternatif yang bisa dilakukan agar tidak bertentangan atau melawan dengan UUD 1945 yang mana sebetulnya bisa dikaji lebih dalam oleh DPR RI selaku lembaga legislatif. Cara yang paling mungkin dilakukan adalah merevisi undang undang pemilu.

Undang undang pemilu, yakni UU no 7 Tahun 2017 dapat dirubah terkait dasar pelaksanaan pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal ini. Revisi ini bertujuan untuk memasukkan unsur mekanisme pelaksanaan kedua pemilu tersebut disertai dengan penjelasan supaya hal ini bisa disahkan dan memiliki kekuatan legalitas. Selain itu bisa juga dilakukan alternatif lain yang sedikit lebih berat, yakni dengan amandemen terbatas dari UUD 1945 yang tentunya memelukan pembahasan lebih intens.

Bila dikaji ulang, putusan dari MK ini bersifat final and binding yang artinya tidak dapat diganggu gugat. Bahkan secara filosofis sendiri hukum berada dalam koridor yang dengan fleksibel dimana akan terus berubah seiring dengan berkembangnya zaman.

Hukum dituntut untuk mampu memiliki kemampuan yang adaptif dan fleksibel karena dunia berkembang bahkan lebih cepat dari sekedar 5 tahun, sesuai dengan bunyi adagium "het recht hinkt achter de feiten aan" yang artinya hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman.

DPR sebagai lembaga perumus UU dituntut untuk mampu merumuskan dan membuat undang undang yang dapat mengakomodir putusan MK tersebut, karena sesuai dengan yang diungkapkan oleh Aristoteles yang berbunyi "Politiae legius non leges politii adaptasi" yang artinya hukum yang harus mengatur politik, bukan sebaliknya.

Maka dari itu jika dilihat dari kasus pemisahan pemilu ini, hukum seharusnya bisa memberikan wadah yang fleksibel untuk mengakomodir aturan aturan baru demi terciptanya demokrasi yang lebih baik di masa depan meski harus sedikit merubah aturan yang lama.

Adanya ketentuan ini menjadikan peran MK dalam judicial activism sebagai matras pelindung untuk menjaga kedaulatan rakyat dan mengakomodir kebutuhan rakyat dalam mewujudkan keadilan substantif dan berkelanjutan.

Aldaffa Syammaera Hadi. Peneliti Pusat Kajian Konstitusi, Perundang Undangan, dan Demokrasi Universitas Negeri Surabaya.




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork