Sebelum reformasi, dunia dilanda isu besar tentang globalisasi. Di mana-mana negara-negara berlomba-lomba menyiapkan semua perangkat, baik ekonomi, sosial, budaya, dan hukum, tidak terkecuali Indonesia.
Di belahan Barat nun jauh di sana, Sekjen Partai Komunis Soviet, merangkap Kepala Pemerintahan, Mikhail Gorbachev, meluncurkan satu gerakan yang terkenal dengan istilah Glasnost dan Perestroika. Dunia menyambutnya dengan gembira.
Di Indonesia, Presiden Soeharto menggebrak dengan Deregulasi dan Debirokratisasi. Tujuannya baik, menyambut globalisasi untuk masuk dalam pergaulan bangsa-bangsa, sesuai dengan amanat UUD 1945.
Langkah presiden adalah baik karena kita sedang mencoba menyesuaikan diri dengan sistem perdagangan dunia yaitu GATT, yang menjadi cikal bakal lahirnya WTO.
Inti dari GATT adalah penyederhanaan birokrasi, memangkas regulasi yang menghambat lancarnya arus barang, jasa, dan orang. Intinya, globalisasi menjadikan semua negara menjadi borderless.
Di Eropa, khususnya Eropa Barat, kita mengenal Zona Euro yang menyebabkan tidak ada lagi batas antarnegara. Mata uang disatukan, perdagangan barang dan jasa serta perjalanan di antara negara-negara Zona Euro menjadi bebas.
Waktu itu ada seorang intelektual muda Universitas Indonesia bernama Sri Edi Swasono menulis dan pada intinya mengingatkan Presiden Soeharto bahwa deregulasi dimulai dengan regulasi. Beliau seorang ekonom, namun pandangannya yang tajam mengenai isue hukum patut diacungi jempol.
Sri Edi ingin menegaskan bahwa setiap tindak pemerintahan, setiap gerak-gerik aparat penegak hukum wajib dilandasi dengan aturan hukum (deregulasi mesti juga dilandasi dengan regulasi).
Hal di atas menegaskan makna negara hukum, yang artinya bahwa negara hukum itu wajib mendasarkan dirinya dengan hukum di setiap aspek berbangsa dan bernegara.
Banyak pihak menafsirkan negara hukum dengan prinsip equality before the law. Tafsiran ini benar sebagian dan salah sebagian. Benar karena dalam negara hukum terkandung prinsip equality, namun ide negara hukum (civil law) jauh lebih besar dari prinsip ini.
Dalam negara hukum, sebagaimana disebutkan oleh Friedman, mengandung tiga syarat utama yaitu legal substance, legal structure, dan legal culture. Ketiganya harus utuh dan tidak boleh menafikan yang lain. Dalam legal substance terkandung (inheren) prinsip equality before the law. Namun dalam praktik (legal structure) belum tentu prinsip ini berlaku.
Berdasarkan premis di atas, maka Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru yang ingin kita tuju harus menciptakan iklim yang baik agar tercipta ketiga hal di atas sebagaimana Friedman katakan. Legal substance sebaik apa pun tanpa disertai legal structure maka akan sia-sia upaya kita untuk menegakkan hukum dengan baik.
Dalam legal structure minimal tercipta tiga kondisi, yaitu: pertama, kelembagaan penegak hukum. Kedua, kewenangannya, dan ketiga, keseimbangan di antara lembaga-lembaga dimaksud.
Kelembagaan penegak hukum sudah diatur dengan rapi, kewenangan juga demikian. KUHAP baru sedang menyusun dengan sungguh-sungguh kelembagaan yang ada dan tentu menyeimbangkan kewenangan yang dimiliki masing-masing aparat penegak hukum (APH).
Yang menarik, dalam RUU KUHAP dengan tegas menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Sebagai konsekuensi logis, maka kewenangan advokat harus mumpuni dalam rangka penegakan hukum.
Advokat harus diberi tugas dan kewenangan dalam rangka perlindungan hukum warga negara akan tindakan dari aparat penegak hukum. Friedman menegaskan bahwa kewenangan antara aparat penegak hukum seyogianya diberikan secara berimbang sehingga tidak ada yang saling mendominasi.
Di sana-sini terdengar suara minor mengenai kewenangan advokat. Bagi mereka, advokat sebagai penghalang terselenggaranya penegakan hukum. Sesungguhnya pandangan ini keliru. Advokat dalam menjalankan tugasnya justru menjadi penyeimbang, melindungi warga negara yang sedang bermasalah dengan hukum agar mencegah timbulnya penyalahgunaan wewenang.
Advokat hadir sebagai amanah konstitusi kita, yaitu untuk melindungi segenap tumpah darah. Bagi seluruh warga negara, maka negara wajib menjaga keselamatannya, baik jiwanya, harta bendanya, maupun harkat dan martabatnya.
Pertanyaannya yang timbul adalah: bagaimana jika seorang warga negara yang sedang berhadapan dengan negara? Apakah negara tetap wajib melindungi warga negara itu? Jika jawabannya adalah tetap wajib melindungi, maka bagaimana cara perlindungan tersebut?
Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP yang baru telah mengakomodasi hal di atas. Warga negara yang kurang paham hukum didampingi oleh advokat yang paham hukum. Dengan pendampingan advokat, diharapkan tidak ada lagi penekanan atau intimidasi atau penegakan hukum dengan melanggar hukum.
Kedua, RUU Advokat juga melindungi kaum rentan, kaum perempuan, hak-hak perempuan terutama yang berkaitan dengan hak reproduksi dan kesehatan itu, perlindungan akan anak agar tidak terjadi kesewenang-wenangan.
Kepastian hukum adalah salah satu faktor yang bisa menjamin bangsa kita untuk menjadi bangsa yang modern. Kepastian hukum juga menjadi salah satu faktor pendukung masuknya investasi dari luar. Beberapa survei terhadap pengusaha dan investor menyatakan bahwa investasi itu akan lancar dan masuk jika ada kepastian hukum.
Maka dengan adanya RUU KUHAP ini, diharapkan timbul budaya hukum (legal culture), unsur ketiga dari apa yang dikatakan Friedman di atas. Mari kita sambut datangnya era baru penegakan hukum yang humanis (legal substance), bersih (legal structure), dan berbudaya (legal culture).
Soedeson Tandra. Anggota Komisi III DPR RI.
Simak juga Video Habiburokhman Ngaku Undang Massa Aksi Diskusi RUU KUHAP tapi Ditolak
(rdp/rdp)