Kolom

Era Taklid Digital: Otoritas Kebenaran Semu

maichel firmansyah - detikNews
Sabtu, 26 Jul 2025 09:05 WIB
Foto: Ilustrasi dunia digital (iStock)
Jakarta -

Kecerdasan buatan (AI) generatif seperti ChatGPT, Google Gemini, atau Claude bukan lagi sekadar alat bantu teknologi. Ia telah menjadi entitas pengetahuan yang memiliki pengaruh luar biasa besar terhadap cara masyarakat berpikir, belajar, dan membentuk pandangan. Di ruang pendidikan, dampaknya sudah sangat terasa.

Namun persoalan ini jauh lebih luas dari sekadar tugas siswa yang "dibantu" AI. Ia menyentuh ke dasar epistemologi: siapa yang sekarang kita anggap sebagai sumber kebenaran?

Di masa lalu, otoritas pengetahuan cenderung berpusat pada para ahli ilmuwan, dosen, peneliti, cendekiawan yang mendapatkan kepercayaan karena proses panjang akademik dan etik yang mereka jalani.

Kini, kepercayaan itu secara perlahan mulai bergeser ke arah algoritma. Masyarakat mulai taklid, atau mengikuti secara membuta, terhadap jawaban yang diberikan oleh AI. Ini adalah fenomena baru yang berpotensi mengguncang fondasi berpikir kritis dan budaya literasi.

Mari kita akui: AI generatif memang mengagumkan. Ia bisa menulis esai panjang, merangkum jurnal ilmiah, menjawab soal matematika, bahkan membuat puisi dan kode program. Kecepatan dan kemudahannya membuat banyak orang merasa seperti menemukan "cahaya" baru dalam belajar. Tapi di sinilah letak masalahnya. Apa yang terlihat canggih, belum tentu selalu benar.

AI tidak memiliki kesadaran, tidak mengenal nilai etika atau konteks sosial-politik, dan seringkali menyajikan jawaban yang terdengar meyakinkan meski secara substansi keliru atau menyesatkan.

Sayangnya, sebagian besar pelajar (dan bahkan orang dewasa) belum dibekali dengan kecakapan digital dan kemampuan literasi kritis untuk menyaring informasi yang datang dari AI. Mereka menerima dan menyalin begitu saja.

Dalam konteks ini, AI bukan lagi alat bantu, tapi sudah menjadi semacam "guru baru" yang tidak pernah dimintai pertanggungjawaban. Yang terjadi adalah taklid digital: sikap pasrah dan percaya buta pada sesuatu karena dianggap lebih pintar dan lebih tahu, tanpa proses berpikir ulang atau verifikasi.

Kebenaran: Dari Ahli ke Algoritma

Peralihan otoritas dari manusia ke mesin membawa risiko besar. Dalam masyarakat digital, kebenaran kini sering diukur dari seberapa cepat ia muncul di layar, bukan dari siapa atau bagaimana ia dihasilkan. Banyak orang lebih percaya pada jawaban instan dari AI ketimbang penjelasan panjang dari seorang guru atau buku ilmiah yang kredibel. Otoritas akademik dan keilmuan menjadi tumpul, digeser oleh "kemudahan".

Kita bisa menyaksikan ini pada banyak fenomena: mahasiswa lebih memilih tanya ChatGPT ketimbang berdiskusi dengan dosen; konten AI di media sosial dibagikan ribuan kali meski mengandung misinformasi; bahkan dalam diskusi publik, pendapat "kata AI" dianggap lebih sahih dibanding referensi ilmiah.

Jika ini dibiarkan, masyarakat kita akan mengalami krisis epistemologis: kehilangan kemampuan membedakan antara opini dan fakta, antara yang kredibel dan yang palsu, antara ilmu dan ilusi. Kita sedang menyaksikan zaman ketika suara mesin dianggap lebih objektif daripada suara manusia, padahal AI belajar dari data manusia yang penuh bias dan kelemahan.

Pendidikan yang Kehilangan Rohnya

Di ruang kelas, para pendidik menghadapi dilema besar. Bagaimana bisa mengevaluasi proses belajar siswa jika seluruh tugas bisa dihasilkan oleh AI dalam hitungan detik? Bagaimana bisa mengembangkan daya nalar dan orisinalitas kalau siswa tidak lagi merasa perlu berpikir sendiri?

Lebih dari itu, sistem pendidikan kita bisa kehilangan ruhnya: pembelajaran sebagai proses membentuk manusia yang berpikir, bukan hanya menghasilkan output. Jika guru hanya menjadi pengawas dan siswa menjadi operator perintah ke AI, maka pendidikan telah dikerdilkan menjadi transaksi data semata. Ini bukan kemajuan, tapi kemunduran dalam bungkus teknologi.

Jalan Tengah: Membebaskan dari Taklid Digital

Solusinya bukan melarang AI. Itu akan sia-sia. Teknologi ini sudah menjadi bagian dari ekosistem kita, dan bahkan bisa menjadi alat pembelajaran yang sangat baik jika digunakan dengan benar.

Tantangannya adalah bagaimana kita membangun budaya literasi digital yang kuat, serta menanamkan kembali pentingnya berpikir kritis, dialog, dan tanggung jawab intelektual.

Guru dan dosen perlu mengubah pendekatan pengajaran. Alih-alih sekadar memberi tugas, mereka bisa mendorong proses pembuktian, refleksi, dan debat terbuka. Kurikulum perlu menyisipkan etika AI dan keterampilan menilai informasi. Dan yang paling penting, siswa harus diajak menyadari bahwa AI bukan sumber kebenaran mutlak. Ia hanya alat, bukan otoritas.

Maichel Firmansyah. Alumnus Universitas Negeri Padang Departemen Sosiologi.

Lihat juga Video Koding-AI Jadi Mapel Pilihan di Sekolah, Apa Tujuannya?




(rdp/rdp)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork