Pada Sabtu, 21 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto secara resmi meluncurkan kelembagaan 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dalam sebuah seremoni nasional di Klaten, Jawa Tengah. Di hadapan jajaran kabinet dan tokoh-tokoh nasional, Presiden menyampaikan bahwa koperasi adalah "alat perjuangan orang-orang lemah", dan karena itu harus menjadi kekuatan kolektif baru bagi ekonomi Indonesia.
Peluncuran ini bukan semata seremoni atau ekspresi politis. Ia adalah bagian dari upaya besar menata ulang struktur ekonomi Indonesia dari bawah, melalui pendekatan berbasis komunitas, kepemilikan bersama, dan gotong royong.
Dalam konteks global yang sedang krisis, langkah ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara pelopor dalam membangun alternatif atas kapitalisme neoliberal. Jika dikelola dengan serius dan konsisten, koperasi bisa menjadi wajah baru ekonomi Indonesia, yang lebih adil, demokratis, dan tahan terhadap guncangan global.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapitalisme dalam Sorotan Kritik
Krisis demi krisis yang melanda dunia saat ini menunjukkan bahwa kapitalisme dalam bentuknya yang sekarang telah kehilangan arah. Laporan The Future of Capitalism yang dirilis oleh IESE Business School pada 2021 mengidentifikasi tiga krisis utama dalam sistem kapitalisme modern, yaitu: ketimpangan sosial-ekonomi, kerusakan lingkungan, dan alienasi manusia dari aktivitas ekonomi.
Ketimpangan menjadi momok global. Di Amerika Serikat, misalnya, 1% orang terkaya menguasai sekitar 32% kekayaan nasional menurut data Federal Reserve tahun 2023. Sementara di negara-negara berkembang, kesenjangan antar kelas sosial terlihat begitu nyata dalam akses pendidikan, kesehatan, dan sumber daya produktif.
Krisis kedua adalah krisis ekologis. Sistem kapitalisme yang mendorong pertumbuhan tanpa batas menghasilkan degradasi lingkungan yang masif. IMF mencatat subsidi global terhadap energi fosil mencapai USD 7 triliun pada 2022, dan mendorong kerusakan ekosistem alih-alih inovasi hijau.
Krisis ketiga lebih bersifat eksistensial, yakni hilangnya makna dalam kerja dan komunitas. Survei Gallup pada 2023 menunjukkan bahwa hanya 21% pekerja global merasa benar-benar "terlibat" dalam pekerjaan mereka.
Ini mengindikasikan adanya kelelahan kolektif dan keterasingan yang semakin dalam dalam sistem ekonomi saat ini.
Oleh karena itu, banyak pemikir mulai menyerukan perlunya kapitalisme baru: kapitalisme yang tidak lagi mementingkan pemegang saham (shareholder), melainkan semua pemangku kepentingan (stakeholder capitalism).
Dalam sistem ini, ekonomi tidak hanya mengukur profit, tapi juga makna sosial, keberlanjutan lingkungan, dan partisipasi luas.
Konsep Alternatif yang Telah Hidup di Indonesia
Yang menarik, konsep "kapitalisme baru" yang kini sedang menjadi bahan eksperimen di negara-negara Barat sebenarnya sudah hidup di Indonesia dalam bentuk yang sangat familiar: koperasi.
Pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Dengan kata lain, sistem ekonomi Indonesia tidak pernah dimaksudkan sebagai kapitalisme murni, tetapi sebagai ekonomi kerakyatan. Dan koperasi adalah wujud paling nyata dari hal itu.
Koperasi bukanlah bentuk usaha yang menolak pasar. Ia justru adalah mekanisme pasar yang berorientasi pada kesejahteraan kolektif. Dalam koperasi, keuntungan bukan hanya untuk investor, tapi untuk seluruh anggota.
Produksi, konsumsi, dan distribusi tetap berjalan secara efisien, namun nilai tambahnya tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elite.
Konsep ini selaras dengan apa yang oleh IESE Business School disebut purpose-driven economy. Yakni sebuah sistem ekonomi yang menjadikan nilai dan makna sebagai tujuan, bukan semata keuntungan jangka pendek.
Di Barat, model ini sedang diuji dalam bentuk B Corporations, green enterprises, atau platform cooperatives. Di Indonesia, ia telah menjadi bagian dari sejarah sosial-ekonomi sejak lama.
Kebangkitan Ekonomi Rakyat
Inisiatif Koperasi Merah Putih yang diresmikan Presiden Prabowo Subianto adalah langkah konkret dan strategis untuk menjadikan koperasi sebagai pilar ekonomi nasional. Targetnya bukan main: membentuk 80.000 koperasi di seluruh desa dan kelurahan di Indonesia.
Data per 12 Juli 2025 menunjukkan bahwa dari 83.762 desa dan kelurahan di Indonesia, sebanyak 83.685 telah tersosialisasi dan 81.147 di antaranya telah membentuk koperasi melalui Musyawarah Khusus Desa/Kelurahan. Ini mencerminkan tingkat partisipasi yang sangat tinggi dan semangat gotong royong yang luar biasa.
Yang membedakan program ini dari sekadar program pembangunan biasa adalah pendekatannya yang lintas sektor dan menyeluruh. Pelaksanaannya melibatkan Kementerian Koperasi, Kementerian Desa, Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, hingga BUMN seperti Bank BRI, Mandiri, Telkom, dan Bulog. Sinergi ini penting untuk menjamin koperasi tidak berjalan sendiri, tetapi menjadi bagian dari ekosistem ekonomi nasional yang saling terhubung.
Lebih dari itu, koperasi ini bukan sekadar instrumen ekonomi. Ia adalah medium demokratisasi kepemilikan dan produksi. Melalui koperasi, warga desa tidak hanya menjadi konsumen pembangunan, tetapi pemilik sekaligus pelaku utama dalam proses produksi dan distribusi.
Peluang dan Bukti Global
Pengalaman global menunjukkan bahwa koperasi bukanlah bentuk usaha kelas dua. Data dari International Co-operative Alliance (ICA) mencatat lebih dari 3 juta koperasi aktif di dunia, dengan 1,2 miliar anggota, atau hampir seperlima populasi dunia.
ILO mencatat bahwa koperasi menyumbang sekitar 10% dari total lapangan kerja global. Dan yang lebih menarik lagi, data OECD tahun 2021 menunjukkan tingkat kelangsungan hidup koperasi dalam lima tahun pertama mencapai 64%, jauh lebih tinggi dari perusahaan konvensional yang hanya 36%.
Negara-negara seperti Finlandia, Korea Selatan, dan Italia telah membuktikan bahwa koperasi bisa menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Di Finlandia, koperasi ritel S Group menguasai 47% pasar domestik.
Di Korea, NongHyup menjadi aktor utama ketahanan pangan. Dan di Italia, wilayah Emilia-Romagna dikenal sebagai model sukses integrasi koperasi dalam sistem ekonomi regional.
Dengan cakupan desa dan kelurahan yang sangat luas, serta warisan budaya gotong royong yang kuat, Indonesia memiliki semua prasyarat untuk menyamai bahkan melampaui model-model koperasi global tersebut.
Tantangan ke Depan
Namun, euforia peluncuran tidak boleh membuat kita abai terhadap tantangan serius yang mungkin menghambat keberhasilan koperasi Merah Putih.
Pertama, kualitas pengelolaan koperasi harus menjadi perhatian utama. Banyak koperasi di masa lalu yang gagal karena manajemen yang lemah, minim akuntabilitas, atau terjebak dalam praktik rente politik. Pemerintah harus memastikan adanya pelatihan, pendampingan, dan audit rutin yang efektif.
Kedua, koperasi harus dibangun sebagai entitas ekonomi yang efisien, bukan sekadar "simbol politik kerakyatan." Ia harus bersaing sehat di pasar, mampu memanfaatkan teknologi digital, dan menjawab kebutuhan nyata warga.
Ketiga, koperasi membutuhkan ecosystem support yang kuat. Tanpa akses pembiayaan, jaringan distribusi, dan dukungan regulasi yang kondusif, koperasi tidak akan mampu tumbuh dan bertahan. Oleh karena itu, peran negara sebagai fasilitator tetap dibutuhkan, bukan sebagai pengendali.
Dan terakhir, koperasi harus dijauhkan dari kooptasi politik. Ia harus tumbuh sebagai gerakan ekonomi rakyat yang otonom, bukan sebagai perpanjangan tangan partai atau kekuasaan.
Indonesia Menjawab Tantangan Dunia
Ketika dunia baru mulai membicarakan kapitalisme yang lebih etis, Indonesia sudah bergerak membangunnya. Bukan dari pusat keuangan global atau forum elit internasional, tetapi dari desa-desa dan musyawarah rakyat.
Koperasi Merah Putih adalah jawaban Indonesia atas kebuntuan kapitalisme global. Ia bukan sekadar program pembangunan, tetapi ekspresi dari jati diri bangsa yang menjunjung gotong royong, keadilan sosial, dan kedaulatan ekonomi.
Dan jika berhasil, koperasi bisa menjadi warisan terbesar Indonesia bagi dunia: sebuah jalan baru kapitalisme yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berkelanjutan.
Penulis
Wim Tohari Daniealdi. Dosen FISIP UNIKOM, Bandung.
(rdp/rdp)