Kolom

Semi Final Putusan Pemilu Terpisah MK

Lalu Hartawan Mandala Putra - detikNews
Minggu, 20 Jul 2025 09:15 WIB
Foto: Ilustrasi gedung MK (Dok. MKRI)
Jakarta -

Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pemilu terpisah memantik perdebatan serius perihal implementasi putusan yang dianggap bahwa putusan tersebut melanggar norma konstitusi yang sudah ada.

Fenomena ini menarik, dikarenakan putusan No. 135/PUU-XXII/2024 tersebut bermaksud ingin menegakkan konstitusi akan tetapi di dalam putusan tersebut malah menciptakan pertentangan konstitusi sehingga terjadinya delegitimasi putusan pengadilan dengan menabrak validitas norma konstitusi itu sendiri.

Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa Pasal 167 ayat (3) Undang - Undang Pemilu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) mengenai pemilihan umum, yang kemudian dilaksanakan selama lima tahun.

Hasilnya, Pemilu Presiden, DPD, DPR akan dipisahkan dengan pemilu DPRD daerah dengan mempertimbangkan aspek efektivitas pemerintahan yang sebelumnya telah menimbulkan kejenuhan terhadap pemilih dan tidak menghasilkan kedaulatan rakyat yang substantif.

Kedua, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa pemisahan pemilu nasional dan lokal berasalan demi menciptakan keterpisahan fokus pemilih yang pada waktu pemilu serentak 2019 dan 2024 pemilih hanya fokus pada pemilu Presiden dan DPR sehingga pemilihan umum DPRD tidak menjadi perhatian pemilih di daerah.

Implementasi Norma

Persoalan mengenai permohonan yang diajukan oleh Perludem di Mahkamah Konstitusi sebenarnya bukan merupakan soal validitas norma, melainkan mengenai implementasi norma yang ada dalam konstitusi. UUD 1945 secara "exprrevis verbis" menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan untuk memilih Presiden, DPR, DPD dan DPRD dan dilaksanakan setiap "lima tahun sekali".

Norma ini secara subtansi dan jelas merupakan norma yang tidak bisa untuk ditafsirkan dengan makna lain. "Clara non sunt interpretanda" yakni hal yang sudah jelas tidak perlu untuk ditafsirkan lain.

Mengenai pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal secara langsung juga membantah putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri yang memerintahkan untuk dilaksanakan pemilihan umum secara serentak (Vide: Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013) dengan pertimbangan bahwa pemisahan pemilu presiden dan legislatif telah melemahkan sistem presidensial, tidak ada efisiensi soal anggaran dan tenaga yang kemudian memunculkan fragmentasi politik serta dengan pemilu serentak akan memperkuat akuntabilitas politik dikarenakan rakyat akan memilih wakil-wakilnya di legislatif dan eksekutif dalam satu waktu.

Artinya, Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dengan putusan yang dibuatnya sendiri dan dalam hal ini mencoba untuk membaca situasi politik dan kebutuhan dari masyarakat soal pemilu yang sebenarnya bukan menjadi ranah dari MK.

Persoalan mengenai kebutuhan rakyat, kepentingan politik pemilih dan mekanisme pelaksanaan pemilu merupakan kewenangan dari legislative dan presiden untuk menggagas permasalahan yang terjadi karena kedua lembaga negara tersebutlah yang merupakan pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dengan berbasis pada representasi sismtes presidensil. Sehingga, putusan a qou yang memisahkan pemilu Presiden, DPD, DPR dengan DPRD secara tidak langsung melampaui kewenangan dari MK yang menciderai kedaulatan rakyat itu sendiri.

Kemudian, perihal memperpanjang masa jabatan anggota DPRD menjadi tujuh tahun menyisakan legitimasi kekuasaan yang tidak berbasis pada sumpah jabatan dan kedaulatan rakyat. Anggota DPRD dipilih oleh rakyat selama lima tahun dan di dalam sumpah jabatan juga disebutkan bahwa anggota DPRD akan melaksanakan tugas berdasarkan pada konstitusi.

Artinya, antara kedaulatan rakyat, sumpah jabatan dan konstitusi melalui putusan a qou dibatalkan secara langsung. Sehingga, MK dalam hal ini dapat dikatakan telah membangkangi kedaulatan rakyat, kedaulatan tuhan dan konstitusi itu sendiri.

UUD 1945 Vs Putusan Mahkamah Konstitusi

Lantas, bagaimana kebijakan ketatanegaraan yang diperlukan dalam mencari solusi terbaik atas permasalahan konstitusi yakni antara melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atau tetap mengacu pada konstitusi itu sendiri ? Putusan Mahkamah Konstitusi memang bersifat final and binding. Akan tetapi, jika dilihat substansi putusan yang mengandung kontradiksi dengan konstitusi maka patut untuk tidak dilaksanakan.

Alasannya, pertama, mengenai legalitas formil konstitusi dengan putusan MK. UUD 1945 merupakan norma dasar negara yang dibentuk oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sehingga dimaknai sebagai formalitas kedaulatan rakyat yang berakibat pada kedudukan putusan MK yang final and binding tersebut di bawah kekuasaan dari kedaulatan rakyat (popular sovereignty).

Jika kita mencermati mengenai hierarki norma dalam stufenbau theory yang digagas oleh Hans Kelsen maka dipahami bahwa putusan Mahkamah Konstitusi merupakan produk hukum yang berbentuk Undang - Undang dan UUD merupakan grundnorm (norma tertinggi).

Sehingga, hierarki norma konstitusi merupakan norma absolut yang menjadi rujukan bagi semua norma yang ada di bawahnya. Sehingga, menjaga kemurnian norma konstitusi menjadi lebih penting dibandingkan dengan melaksanakan putusan MK yang secara nyata telah melanggar konstitusi meskipun bersifat harus dilaksanakan.

Kedua, melaksanakan putusan MK akan tetapi dengan merevisi undang-undang pemilu sebanyak dua kali. Aritnya, putusan a qou tetap untuk dilaksanakan dengan merubah UU pemilu, lalu kemudian merevisi kembali UU hasil perubahan putusan MK untuk mengembalikan UU pemilu semula. Dengan demikian, alasan konstitusional untuk menyikapi problem ini dapat mencapai kesepakatan konstitusional.

Lalu Hartawan Mandala Putra. Advokat dan Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UI.

Simak juga Video: MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Diselenggarakan Terpisah




(imk/imk)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork