Tsunami Jurnal: POV Pengelola Jurnal
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tsunami Jurnal: POV Pengelola Jurnal

Senin, 14 Jul 2025 09:10 WIB
Muhammad Guruh Nuary
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi mengerjakan skripsi
Ilustrasi / Foto: 20Detik
Jakarta -

Tulisan ini ingin memberikan wawasan tambahan terkait "tsunami jurnal" yang telah diulas rapi dengan kritik tajam dari Andi Azhar. Karena sebetulnya, ada sudut pandang lain mengenai tsunami tersebut, yakni dari kacamata pengelola jurnal. Bagaimana tidak, akhir-akhir ini saya juga sama disibukkan juga dengan berbagai permintaan, bedanya jika Andi Azhar membuka laptop ada banyak permintaan menjadi reviewer, editorial board, dan lain sebagainya. Sedangkan saya, buka laptop lalu sudah dikagetkan dengan 128 artikel jurnal yang sudah masuk di dalam web jurnal yang saya kelola di program studi (prodi) tempat saya bernaung.

Di samping itu, karena nomor whatsapp saya juga tercantum pada web jurnal yang saya kelola, di bagian kontak, hampir semua penulis tersebut membombardir pesan singkat melalui whatsapp. Beberapa yang lain bahkan sampai ada yang 'merengek' untuk meminta segera diterbitkan. Kebetulan memang jurnal yang saya kelola sedang proses penerbitan di bulan Juli ini, hal itulah yang diminta oleh mereka, agar segera diterbitkan bulan ini.

Saya terus terang terkejut, terperangah dan sedikit geram. Bukan tanpa alasan, para penulis tersebut yang notabene adalah masih berstatus mahasiswa, dipaksa untuk "publikasi" oleh dosen mata kuliah. Saya ulangi, oleh dosen mata kuliah, bukan lagi yang berkaitan dengan tugas akhir sejenis skripsi yang dikonversi menjadi artikel ilmiah, tetapi tugas akhir untuk Ujian Akhir Semester (UAS) berupa terbit jurnal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini tentu satu hal di luar nalar. Karena sejatinya persoalan publikasi artikel ilmiah, bukan lah sesuatu yang harus 'dipaksa' demi mendapatkan nilai akhir. Padahal, salah satu tridharma dosen adalah penelitian yang dipublikasi, dan itu sudah termasuk dalam beban kerja dosen (BKD) yang dibebankan kepada dosen, tidak sepantasnya beban tersebut justru dialihkan ke mahasiswa dengan dalih tugas akhir semester mahasiswa sebagai bentuk pertanggungjawaban akademis.

Ditambah, sebagian dari mereka ketika saya tanya, beban biaya publikasi pun mengandalkan kocek mahasiswa. Belum selesai sampai di sana, secara konten pun tidak lagi dicek oleh dosen yang mengampu mata kuliah tersebut. Sungguh miris. Sebuah ironi yang menjepit mahasiswa bukan cuma dari sisi kognitif untuk berpikir bagaimana jurnal yang dia tulis layak terbit, tetapi juga dari sisi finansial yang dikeruk.

ADVERTISEMENT

Kendati demikian, secara luas, ini semua sebetulnya berawal dari pemahaman kurikulum OBE (Outcome-Based Education) yang keliru. Sehingga dianggap segala sesuatu, mata kuliah apapun, harus menghasilkan luaran tertentu seperti contohnya jurnal. Meskipun memang titik berat OBE adalah pada hasil pencapaian pembelajaran, tetapi bukan berarti wajib dan harus terbit jurnal di semester itu juga.

Padahal, jika dosen – secara umum tentunya – jika sedikit kreatif, maka sudah tentu penerbitan jurnal itu sebagai salah satu luaran komplet yang harus mahasiswa lewati setelah mata kuliah tersebut selesai. Sebagai contoh, mata kuliah Linguistik Bahasa Inggris misalnya, maka sejak awal mahasiswa dituntun untuk mencari tema yang mereka sukai dan yang mereka ketahui tentang mata kuliah tersebut. Dalam perjalanan satu semester itu kemudian dosen memberikan berbagai topik pembahasan, sehingga mahasiswa tidak hilang arah ketika ingin menentukan topik yang menarik bagi mereka. Setelah itu, buat kelompok yang terdiri dari maksimal 4 orang mahasiswa, di situ mereka bisa saling bertukar pikiran, tema apa kira-kira yang ingin mereka dalami.

Lalu, setelah itu, masing-masing kelompok wajib menentukan judul artikel ilmiah mereka. Di sini lah peran dosen amat krusial, jangan dilepas begitu saja, namun diarahkan agar mahasiswa mampu membahas tema yang ingin mereka gali tetapi tidak kehilangan arah. Dalam perjalanan satu semester itu juga, mahasiswa secara berkelompok mulai menulis pendahuluan yang biasanya berisi tentang mengulas variabel judul yang telah ditentukan, mengungkapkan kesenjangan artikel (gap) atau keterbaruan yang ingin dibahas, lalu juga mengulas penelitian terdahulu yang menjadi landasan celah atau gap tersebut.

Dari penjelasan pendahuluan saja, saya meyakini tidak semua dosen mau dan mampu menerangkan hal tersebut. Mereka hanya ingin terima jadi, dari judul, abstrak, pendahuluan, metode, temuan dan pembahasan, simpulan, serta daftar pustaka. Maka inilah yang saya sebut sebagai berpikir ilmiah, prosesnya memang panjang dan berliku, jika tidak ada peran dosen di sana, lalu mahasiswa dilepas seperti layaknya ayam kampung yang diumbar untuk mencari makan sendiri yang ketika bertelur atau dagingnya sudah layak, lalu dosen yang mendapatkan hasil akhirnya tersebut?

Maka kemudian, saya mengajak kepada para kolega dosen untuk berpikir ulang mengenai kewajiban mahasiswa untuk publikasi di akhir semester sebagai syarat untuk keluarnya nilai UAS. Ini tidak relevan dan tidak sebanding dengan apa yang mahasiswa dapatkan selama satu semester di mata kuliah yang Anda ampu. Seperti yang sudah saya sebutkan di atas, proses publikasi secara proses berpikirnya saja sudah panjang, untuk itu, proses penerbitan juga sama berlikunya.

Mulai dari mengajukan naskah atau submit, lalu editor melihat kelayakan naskah tersebut, jika sudah sesuai dengan gaya selingkung mereka, maka diteruskan ke penilaian sejawat (reviewer), setelah diberikan umpan balik oleh dua orang reviewer, kemudian diserahkan ke penulis lagi untuk diperbaiki sesuai dengan catatan tersebut. Sesudah revisi dilaksanakan, maka penulis mengunggah kembali naskah tersebut dan tim editor melihat lagi naskahnya sudah sesuai atau belum. Selanjutnya, editor melakukan editing, memberikan layout halaman, menyunting gaya bahasa, dan lain sebagainya hingga terakhir adalah mempublikasikannya.

Kendati begitu, ada hal lain yang memang mesti menjadi perhatian, yaitu dana publikasi dosen. Acapkali beban tersebut membayangi dosen tiap semester, gaji yang tidak seberapa harus menanggung beban publikasi yang cukup menguras dompet. Terutama dosen-dosen swasta yang pendapatannya seringkali tidak menentu, tetapi tridharma wajib terealisasi tiap semester. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya dan sebagian besar kampus swasta tidak menyediakan dana publikasi dosen.

Meski begitu, jangan sampai hal tersebut, justru menjadi transfer beban kepada mahasiswa, yang mengakibatkan mahasiswa harus menanggung beban dosennya perihal publikasi. Sudah tentu ini menjadi satu preseden buruk jika terus menerus terjadi dan menjadi tidak bijak sebagai dosen memberikan beban yang seharusnya tidak ditanggung oleh mahasiswa.

Inilah sekelumit persoalan yang wajib menjadi perhatian Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktiksaintek). Terutama ihwal regulasi yang sekiranya bisa menjadi bahan pertimbangan untuk memudahkan dosen dalam mengisi beban kerja dosen (BKD) tiap semesternya. Sehingga hal tersebut tidak ikut menjangkiti mahasiswa yang terkena imbas, akibat dari dosen yang ingin terkesan instan menyelesaikan kewajibannya menuntaskan BKD.

Perlu menjadi kesadaran kolektif bagi dosen bahwa publikasi jurnal bukan lah hal yang harus dipaksakan untuk nilai UAS mata kuliah, tetapi menjadi pembelajaran mahasiswa dalam menerbitkan karyanya. Harus bersabar jika ditolak maupun disarankan untuk revisi dari naskah yang telah dibuat. Karena sejatinya, mahasiswa S1 adalah mengkonstruksi pemikiran ilmiah, bukan berarti menjadikan mereka ilmuwan di bidang tertentu. S1 merupakan fondasi agar kelak ketika mahasiswa melanjutkan ke jenjang S2 dan S3, mampu meneruskan fondasi tersebut ke arah yang lebih tinggi yakni bisa fokus menjadi ilmuwan yang luaran penelitiannya bisa menjadi pertimbangan para pemangku kebijakan.

Muhammad Guruh Nuary. Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads