Tsunami Jurnal di Indonesia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tsunami Jurnal di Indonesia

Selasa, 08 Jul 2025 10:05 WIB
Andi Azhar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Divers group of high school of college graduates smiling during the graduation ceremony. They are standing in a row.
Ilustrasi / Foto: iStock
Jakarta -

Pagi itu saya membuka laptop, dan seperti biasa, notifikasi surel masuk silih berganti. Di antara ratusan email yang mampir, setidaknya lima di antaranya berasal dari pengelola jurnal ilmiah. Isinya hampir sama: undangan untuk mengirim artikel, bergabung sebagai reviewer, atau ditawari jadi editorial board. Yang membuat saya tertegun bukan karena banyaknya, tapi karena semuanya dari jurnal yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Rasanya seperti spam, tapi dengan balutan akademik. Di dunia akademik hari ini, jurnal bukan lagi ruang seleksi ketat pemikiran, melainkan jadi industri yang menggiurkan.

Kita memang sedang mengalami tsunami publikasi. Jika dulu menerbitkan artikel di jurnal ilmiah merupakan capaian prestisius, kini jadi semacam keharusan administratif. Syarat lulus mahasiswa, kenaikan jabatan dosen, akreditasi kampus, bahkan pengurusan sertifikasi semuanya menuntut publikasi. Tak heran, dalam waktu singkat, ribuan jurnal tumbuh di tanah air dengan berbagai tingkat mutu dan motif. Ada jurnal yang dibentuk oleh perguruan tinggi, ada pula yang tumbuh liar di rimba digital. Banyak yang bahkan tak memiliki dewan redaksi yang kredibel, namun tetap menerbitkan ratusan artikel tiap edisi.

Fenomena ini bukan hadir tiba-tiba. Ia bertunas sejak regulasi pendidikan tinggi menjadikan publikasi sebagai tolok ukur utama kinerja. Ketika Kemenristek Dikti yang kini menjadi Kemendiktisaintek menetapkan bahwa dosen harus mempublikasikan tulisan untuk naik jabatan fungsional, maka kebutuhan terhadap "wadah publikasi" pun melonjak drastis. Didorong insentif dan tekanan birokrasi, kita tidak hanya mencetak penulis, tapi juga pembuat jurnal. Di era ini, jurnal bukan lagi produk keilmuan, tetapi komoditas birokratik.

Sayangnya, kita lupa bahwa publikasi akademik sejatinya adalah proses kurasi. Ia harus selektif, melewati telaah sejawat, dan diuji argumentasi. Namun kini, publikasi menjadi "fast food" ilmiah: cepat saji, mudah diterima, dan minim gizi. Artikel yang belum matang tetap bisa lolos asal bayar. Redaksi tak sempat membaca utuh karena dikejar target terbit. Tak sedikit yang dikelola satu-dua orang, bahkan tanpa editor bidang. Maka lahirlah apa yang saya sebut sebagai obesitas jurnalβ€”jumlahnya melimpah, tapi kandungan ilmiahnya kosong.

Di sinilah kita menghadapi ironi. Di satu sisi, angka publikasi Indonesia melonjak tajam. Menurut beberapa data, kita kini masuk dalam 20 besar negara dengan publikasi ilmiah terbanyak di dunia. Tapi di sisi lain, kualitas dan dampaknya minim. Sitasi rendah, keterbacaan kurang, dan banyak yang tidak diacu lagi setelah terbit. Artikel menjadi tumpukan digital yang membebani server, bukan menyumbang wacana. Kita sibuk menerbitkan, bukan mengembangkan.

Mari kita lihat dari sisi penulis. Banyak mahasiswa yang dipaksa menulis artikel ilmiah sebelum diwisuda. Tapi apakah mereka diberi cukup waktu, bimbingan, dan pemahaman metodologis? Di banyak kampus, artikel hanya sekadar hasil daur ulang skripsi, dengan template dan gaya bahasa yang seragam. Yang penting memenuhi jumlah kata dan lolos turnitin. Di sisi lain, dosen pun terjebak dalam perlombaan angka. Kenaikan jabatan tidak lagi ditentukan oleh kualitas pengajaran atau dampak sosial penelitian, melainkan kuantitas artikel yang berhasil dimasukkan ke Sinta 2 atau Scopus.

Industri jurnal juga menjadi lahan baru. Banyak penerbit yang secara terang-terangan menawarkan jasa "publish cepat", "revisi dijamin lolos", hingga "full support dari penulisan sampai terbit". Fenomena ini mengaburkan batas antara etika akademik dan jasa komersial. Ada yang bahkan menjual paket: satu artikel, satu DOI, satu reviewer fiktif. Satu klik, langsung tayang. Di baliknya, kita sedang mencetak budaya akademik palsu: semua serba instan, tak perlu mendalam, asal terlihat aktif.

Dampaknya sistemik. Jika dulu jurnal menjadi rujukan bagi pengambilan kebijakan atau inovasi, kini banyak pejabat yang skeptis membacanya. Mereka tahu, sebagian besar tulisan di jurnal tak bisa dijadikan dasar kebijakan. Tak menyajikan data lapangan, tak ada validasi, apalagi keterhubungan dengan kebutuhan publik. Maka riset kehilangan fungsi transformasionalnya. Ia menjadi formalitas, bukan pengubah realitas.

Lebih jauh lagi, obesitas jurnal menciptakan inflasi makna. Ketika semua orang bisa dengan mudah menerbitkan artikel ilmiah, maka gelar "penulis jurnal" kehilangan bobotnya. Di konferensi, seseorang bisa mengklaim telah menulis 50 artikel, tapi ketika dibaca, hampir semuanya repetitif dan dangkal. Kita sedang membangun gunung dari pasir, tinggi tapi mudah longsor. Akhirnya, gelar akademik hanya jadi tanda status, bukan pencapaian intelektual.

Kita perlu mengingat bahwa jurnal ilmiah adalah penjaga gawang kebenaran ilmiah. Ia bukan tempat sembarang opini atau narasi. Jurnal punya tanggung jawab menjaga kualitas, orisinalitas, dan integritas. Tapi bagaimana mungkin menjaga itu semua jika setiap minggu harus menerbitkan puluhan artikel tanpa waktu cukup untuk mereview dengan benar? Peer-review berubah menjadi quick-scan. Tak ada ruang untuk debat ilmiah. Maka, jurnal berubah menjadi katalog administrasi.

Yang lebih mengkhawatirkan, fenomena ini menciptakan tekanan besar bagi generasi muda akademisi. Mereka belajar dari sistem yang menekankan angka, bukan proses berpikir. Mereka tidak dibiasakan untuk sabar meneliti, mempertanyakan asumsi, atau menulis dengan tanggung jawab intelektual. Yang penting: terbit, cepat, dan terlihat aktif. Kita sedang mencetak intelektual instan dalam pabrik-pabrik kampus.

Beberapa negara mengalami gejala serupa, tapi Indonesia punya karakteristik unik: pertumbuhan jurnal yang sangat cepat, tanpa seleksi alam. Di negara lain, jurnal butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan reputasi. Di sini, cukup sewa domain dan bentuk tim redaksi, dalam sebulan sudah bisa tayang. Maka, kompetisi bukan soal kualitas, tapi kecepatan produksi. Ekosistem ilmiah berubah jadi industri cetak massal.

Ironisnya, banyak institusi perguruan tinggi justru bangga dengan banyaknya jurnal yang mereka miliki. Jumlah dijadikan prestasi. Namun tak ada evaluasi mendalam soal kualitas naskah, rasio penerimaan, atau kontribusi terhadap ilmu. Seperti toko yang ramai tapi tak ada pembeli, jurnal kita ramai terbit, tapi sepi dibaca. Bahkan oleh sesama akademisi. Jurnal menjadi seperti brosur yang dilipat-lipat, bukan ruang diskusi akademik.

Di tengah kekacauan ini, muncul pertanyaan besar: siapa yang bertanggung jawab? Pemerintah telah memicu perlombaan, tetapi belum mengatur cukup ketat mekanisme kontrol kualitas. Kampus ingin memenuhi akreditasi, tapi lupa membangun budaya ilmiah. Dosen terburu-buru naik jabatan, mahasiswa terjebak syarat kelulusan. Semua terjebak dalam sistem yang saling menekan. Tak ada ruang untuk berhenti dan berpikir: apa sebenarnya tujuan dari semua ini?

Kita bisa belajar dari negara-negara dengan sistem publikasi mapan. Di sana, jurnal hanya sedikit, tapi punya reputasi tinggi. Proses review panjang, tapi hasilnya menjadi acuan ilmiah yang solid. Tak semua orang bisa dengan mudah mempublikasikan tulisan, tapi yang lolos benar-benar memberi kontribusi. Di Indonesia, sistem seperti ini masih dianggap terlalu lambat dan tidak akomodatif. Padahal, ilmiah itu memang harus sabar.

Transformasi harus dimulai dari kampus. Bukan dengan menambah jumlah jurnal, tetapi dengan memperbaiki kurikulum penulisan ilmiah. Mahasiswa perlu diajari bahwa menulis itu bukan sekadar memenuhi syarat, tapi bagian dari proses berpikir. Dosen perlu diberi insentif untuk membimbing, bukan hanya mengejar angka KUM. Jika tidak, kita akan terus mencetak gelar, bukan pemikir.

Lebih jauh dari itu, jurnal-jurnal kita harus direformasi. Perlu evaluasi menyeluruh terhadap jurnal yang hidup secara administratif tapi mati secara intelektual. Jangan semua jurnal diberi ruang di pangkalan data nasional hanya karena eksis. Harus ada penilaian dari komunitas akademik lintas institusi. Jangan lagi satu kampus menilai dirinya sendiri. Ini tentang menjaga marwah keilmuan.

Satu langkah penting adalah memisahkan antara jurnal sebagai syarat administratif dan jurnal sebagai karya intelektual. Yang pertama boleh saja dimasukkan dalam laporan kinerja, tapi tidak perlu dimasukkan dalam pangkalan data nasional. Biarkan jurnal ilmiah yang serius bersaing secara wajar. Jangan samakan jurnal yang benar-benar melalui proses ketat dengan yang hanya mengandalkan pembayaran.

Tak bisa dipungkiri, perubahan sistem memerlukan keberanian. Banyak pihak akan merasa terganggu, terutama yang selama ini menikmati keuntungan dari sistem yang ada. Tapi kalau kita terus membiarkannya, kita akan mewariskan sistem akademik yang rapuh pada generasi berikutnya. Ilmu menjadi barang murah, reputasi jadi bisa dibeli, dan gelar tak lagi punya makna. Ini bukan sekadar soal jurnal, tapi soal masa depan ilmu pengetahuan di Indonesia.

Kini saatnya kita berpikir ulang. Apakah kita masih mau terjebak dalam logika kuantitas, atau mulai membangun budaya kualitas? Apakah kita akan terus mencetak tulisan-tulisan kosong, atau mulai melahirkan pemikiran baru yang relevan bagi masyarakat? Tugas kita bukan hanya menulis, tapi juga menghidupkan ilmu. Dan itu butuh waktu, kesabaran, serta integritas.

Ilmu bukan sekadar kumpulan tulisan. Ia adalah proses yang menyakitkan, menantang, dan membutuhkan waktu. Tapi dari sanalah perubahan besar bermula. Mari kita bersihkan ruang ilmiah kita dari sampah publikasi. Mari kita rawat jurnal bukan sebagai beban, tapi sebagai taman tempat ilmu bertumbuh.

Andi Azhar. Staff Pengajar di UM Bengkulu

(imk/imk)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads