Baru-baru ini Mahkamah Konstitusi (MK) kembali memecah keheningan masyarakat. Musababnya MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam perkara 135/PUU-XXII/2024. Amar putusan in casu pada pokoknya mengakhiri keserentakan pemilu lima kotak plus pemilihan kepala daerah.
Lebih jauh MK melalui putusan di atas telah memaknai ulang keserentakan pemilu menjadi dua waktu pelaksanaan: nasional dan lokal. Artinya pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, dan presiden-wakil presiden dilakukan pada hari yang sama. Kemudian berselang waktu paling singkat 2 tahun dan paling lama 2 tahun 6 bulan dilakukan pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan kepala daerah secara serentak di hari yang sama pula. Jangka waktu tersebut dihitung sejak pelantikan anggota DPR dan DPD atau pelantikan presiden-wakil presiden.
Dikotomi respons masyarakat terhadap makna baru keserentakan pemilu ini memantik diskursus yang begitu intens, terlebih ketika resistensi dari aktor politik dominan (partai politik) menguat. Oleh karenanya tulisan ini turut memberikan pandangan atas diskursus yang terjadi, utamanya dalam bingkai reformasi pemilu di Indonesia.
Argumentasi Hakim
Kita perlu mengawali diskursus ini dengan memaknai argumentasi hakim MK. Hal ini diperlukan karena perbincangan seputar putusan pengadilan, juga putusan 135/PUU-XXII/2024 acapkali terjebak pada amar yang dibunyikan. Tentu tidak salah, namun berpotensi menghasilkan pemaknaan yang keliru nan dangkal. Sebab menempatkan amar putusan terpisah dari ruhnya—berupa nalar hukum yang dibangun hakim untuk sampai pada amar tersebut.
Padahal menurut Goodhart (1930), mengikatnya suatu putusan hakim dikarenakan pertimbangan hukumnya. Otoritatifnya bagian pertimbangan hukum dilatari oleh substansi yang termuat, yakni berbagai alasan dan interpretasi hakim yang selanjutnya terkulminasi menjadi amar putusan.
Sederhananya melalui argumentasi di atas, tulisan ini ingin mengatakan dua hal. Membaca putusan MK 135/PUU-XXII/2024 jangan dipenggal hanya pada bagian amar. Di sisi lain, intensi dari kebulatan suara hakim untuk mengubah desain jadwal pemilu hanya mungkin dipahami dengan membaca ratio decidendi yang diuraikan.
Kelindan dengan hal yang kedua itu, paling tidak kita dapat menggarisbawahi beberapa alasan penting mengapa hakim memisahkan kesentarakan pemilu menjadi nasional dan lokal. Pertama dan cukup mendasar adalah semakin berimpitnya waktu pemilu tingkat nasional dan lokal (termasuk pilkada) menyebabkan penumpukan beban kerja di luar batas wajar pada penyelenggara pemilu. Di sisi lain, desain yang demikian memperpendek masa kerja penyelenggara pemilu menjadi rerata 2 tahun efektif. Kontestasi 2024 adalah contoh konkret dari implikasi problem tersebut yang akhirnya menyisakan ragam masalah kemanusiaan, kualitas, dan integritas penyelenggaraan pemilu.
Kedua, desain jadwal pemilu selayaknya tahun 2024 turut menguatkan politik transaksional dalam proses kandidasi. Partai politik terdorong menjadi sangat pragmatis karena memilih kandidat secara instan dengan kecenderungan pada popularitas dan pemilik modal ketimbang kualitas. Dampak buritan lainnya semakin meminggirkan idealisme dan ideologi partai yang sesungguhnya sejak pemilu 2009 memang telah memudar (Aminuddin dan Ramadlan, 2015).
Ketiga, atensi pemilih dengan desain jadwal pemilu yang menyatu seluruhnya hanya tersita pada konteks nasional daripada isu lokal yang amat dekat dengan konstituen. Banyaknya jumlah kandidat, model surat suara yang rumit, dan ketersediaan waktu yang tidak memadai bagi konstituen berimplikasi signifikan terhadap kemantapan pertimbangan untuk memilah dan memilih kandidat. Bagi MK, hal ini hanya bermuara pada degradasi kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat. Syahdan, bagi konstituen hanya menghasilkan pemilih irasionalitas atas pilihannya.
Keempat, harus dipahami bahwa sejak awal pilihan keserentakan yang terpisah antara nasional dan lokal merupakan gagasan yang konstitusional. Pijakan dasarnya adalah original intent yang muncul atas Pasal 22E UUD 1945 selama proses amandemen. Hal ini juga telah ditandaskan dalam putusan MK 55/PUUXVII/2019 yang memberikan enam opsi model keserentakan pemilu di Indonesia. Artinya dapat dimaknai amar putusan 135/PUU-XXII/2024 masih tetap berada pada batas koridor dan atma dari Pasal 22E UUD 1945 pasca amandemen.
Menjawab Masalah Sisaan
Memang terdapat masalah sisaan terkait pemisahan pemilu dua waktu ini. Titik krusialnya pada transisi pemilu DPRD dan kepala daerah. Tidak dimungkiri makna baru keserentakan pemilu menyebabkan pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah menjadi molor hingga 2 sampai 2,5 tahun. Poin ini pula yang menjadi standing point partai politik untuk menolak putusan karena dianggap berbenturan secara literal dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Hal inipun telah disadari MK. Oleh karenanya MK memberikan kaidah untuk mengatasi hal tersebut. Secara tegas pertimbangan [3.18.2] menyatakan transisi untuk mencapai keserentakan pemilu dua waktu memiliki dampak pada masa jabatan DPRD dan kepala daerah, maka pembentuk hukum diberikan mandat untuk melakukan rekayasa konstitusional.
Setidaknya ada dua pendapat jumhur untuk merespons kaidah tersebut. Pertama, pembentuk hukum atas dasar transisi keserentakan pemilu memberikan perpanjangan masa jabatan. Pilihan ini juga rasional jika dikaitkan dengan alasan menekan biaya yang diperlukan selama masa peralihan tersebut.
Kedua, untuk kepala daerah pada masa transisi dapat diisi oleh penjabat (Pj) kepala daerah sebagaimana yang umum dilakukan selama ini. Risikonya keberlanjutan pembangunan daerah dapat terganggu. Potensi munculnya masalah strategis lainnya juga tinggi apabila Pj yang ditunjuk hanya bersandar pada afiliasinya dengan kekuasaan.
Sementara untuk DPRD dilakukan 'pemilu antara' untuk memilih anggota DPRD dengan masa jabatan 2 hingga 2,5 tahun sebelum keserentakan pemilu lokal benar-benar efektif diselenggarakan. Justifikasinya, kita juga pernah mengadakan pemilu sebelum genap 5 tahun, terutama pada konteks kepala daerah untuk mencapai rekayasa pemilu serentak 2024 yang lalu. Khusus rekayasa konstitusional ini dapat saja ditangkal dengan alasan biaya pemilu yang membengkak. Namun memosisikan penghematan pemilu lokal lebih superior ketimbang perbaikan kualitas demokrasi dan kemanusiaan tidaklah pula dapat dibenarkan. Sebab logika ini sama saja dengan menghunuskan belati pada prinsip-prinsip fundamental demokrasi.
Terlebih lagi isu biaya pemilu acapkali menjadi bancakan elit untuk otak-atik model pemilihan lokal yang digunakan. Celakanya, pernah terlontar ide untuk pemilihan lokal (terkhusus kepala daerah) dilakukan melalui DPRD demi menghemat biaya. Jika ditimbang, ide semacam ini jelas tidak lebih baik dari dua pendapat jumhur soal rekayasa pemisahan pemilu yang berkembang. Pun merupakan ide yang inkonstitusional.
Di samping itu, kritik yang mengatakan MK mengingkari putusan 55/PUUXVII/2019 juga kurang tepat. Sekalipun dalam putusan tersebut semula MK menyerahkan pilihan model keserentakan kepada pembentuk hukum. Nyatanya perubahan pendirian MK dengan memberikan makna baru atas keserentakan pemilu adalah keniscayaan dan kelaziman. Bahkan perubahan pendirian itu menjadi keharusan apabila untuk menghentikan ketidakdilan (Bodenheimer, 1981).
Ilusi Reformasi Pemilu
Putusan kali ini semestinya tidak dijadikan panasea atas segala persoalan yang melingkupi pemilu kita. Ia harus dipahami sebagai sekuel dari putusan lain yang lebih dulu lahir. Nalar hukum dalam putusan ini perlu dikaitkan dengan tafsir MK tentang keserentakan pemilu dan konstitusionalitasnya.
Lebih luas lagi putusan ini adalah bagian dari elemen puzzle perbaikan sistem pemilu. Artinya putusan 135/PUU-XXII/2024 tidak dapat dibaca secara parsial dan tunggal tetapi perlu dimaknai sebagai bagian dari simpul-simpul yang dibentuk MK untuk mereformasi pemilu. Artinya pemisahan pemilu hanya akan menjadi ilusi jika tidak dibarengi perbaikan sistem partai politik, tata kelola pemilu, reformasi penyelenggara pemilu, hingga pada upaya menutup celah manipulasi pemilu yang telah tersaji pada 2024.
Ilusi tersebut juga menjadi niscaya bila resistensi politik dominan yang bercokol pada isu inkonstitusionalitas putusan terus menggema. Apalagi jika diikuti dengan upaya legislatif untuk melakukan disobedience terhadap putusan MK. Hal ini pada akhirnya berimplikasi mengaburkan pesan yang lebih substantif. Pesan tersebut terkait dengan pembenahan kualitas pemilu yang sesungguhnya telah gamblang diurai dalam pertimbangan hukum.
Oleh karenanya kita perlu meramu aksi balasan melalui kerja-kerja kontrol sosial. Aksi tersebut harus dilakukan secara persisten dan inkremental. Agar reformasi pemilu benar terjelma dan pembentuk hukum urung balela.
Rilo Pambudi. S, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang
(imk/imk)