Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan menerapkan pendekatan Pembelajaran Mendalam dan memperkenalkan mata pelajaran Koding dan Kecerdasan Buatan (KKB) sebagai pilihan mulai kelas V sekolah dasar pada tahun ajaran 2025/2026. Ribuan guru dan kepala sekolah sudah mulai mengikuti pelatihan intensif menyambut kebijakan baru ini. Kebijakan ini dirancang bukan sekadar mengenalkan teknologi, tetapi membekali peserta didik menghadapi dunia digital dengan etika, logika, dan literasi digital.
Respons publik beragam. Ada yang menyambut optimis tapi ada pula yang khawatir terhadap potensi dampak negatif teknologi jika tidak dipandu secara tepat. Kecemasan itu beralasan. Laporan Global Overview 2025 menyebut rata-rata waktu berselancar di dunia maya penduduk Indonesia mencapai 7 jam 22 menit per hari, lebih tinggi dari rerata global. Anak-anak usia sekolah, bahkan sejak dini, telah menunjukkan gejala ketergantungan pada gawai. Ini berdampak pada resiko kesehatan mental, gangguan pertumbuhan kognitif (brain rot), dan menurunnya konsentrasi belajar.
Pada sisi lain, Laporan Indeks Kecerdasan Buatan 2025 menyebut mayoritas masyarakat China (83%), Indonesia (80%), dan Thailand (77%) melihat produk dan layanan kecerdasan buatan memiliki manfaat besar. Pemakaian teknologi cerdas ini secara bertanggung jawab (responsible artificial intelligence) menjadi kewajiban etis para penggunanya untuk mengantisipasi mudaratnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendekatan Pembelajaran Mendalam dan mata pelajaran KKB bukan sekadar respons teknis, tetapi ikhtiar strategis menghadapi tsunami digital. Kedua kebijakan ini berdiri di atas fondasi moral dan teknokratis yang kuat.
Koridor Moral
Kecerdasan buatan bukan teknologi netral. Ia dapat membentuk cara berpikir dan bahkan memengaruhi arah kebijakan publik. Horowitz dan Len-Greenberg (2022) menyebut kecerdasan buatan dapat mempengaruhi persepsi pengambil kebijakan yang pada tingkat tertentu menentukan dampak politik. Namun keputusan manusia masih akan memiliki konsekuensi penting bagi keamanan internasional meskipun hukum algoritma telah berpengaruh kuat.
Paus Leo XIV melihat kecerdasan buatan sebagai produk revolusi industri baru yang berpotensi menggerus nilai-nilai kemanusiaan jika tidak disikapi secara etis. Ia menggemakan pesan moral ensiklik Rerum Novarum (1891) Paus Leo XIII dengan menyoroti risiko dehumanisasi akibat perkembangan kecerdasan buatan. Teknologi yang tercerabut dari nilai-nilai kemanusiaan berpotensi memperparah ketimpangan, memanipulasi opini publik, dan menghilangkan pekerjaan manusia.
Ajaran gereja dituntut memberikan jawaban dan panduan moral untuk mempertahankan martabat manusia, keadilan, dan nasib pekerja dari gempuran kecerdasan buatan. Pandangan kritis serupa disuarakan Geoffrey Hinton, pioner kecerdasan buatan, yang menyebut teknologi ini ibarat pisau bermata dua.
Pada saat yang sama, Haedar Nashir mengingatkan pentingnya pelibatan hati nurani dalam pendidikan di zaman digital. Ia menegaskan bahwa kecerdasan sejati bukan hanya urusan logika, tetapi juga qalb, suara hati yang jernih. Islam mengajarkan manusia agar berakhlak luhur sebagai representasi ulul albab, pribadi yang terbuka terhadap pelbagai pandangan dan cerdas memilih yang benar.
Manusia beragama perlu memanfaatkan kecerdasan buatan tetapi harus dibarengi dengan ikhtiar mengasah kemampuan berpikir kritis, inovatif, dan kepekaan hati. Orientasi pendidikan yang hanya mengasah kemampuan akal pikiran akan bermuara pada krisis moral, ketidakpekaan sosial, dan kehilangan makna. Yuval Noah Harari pun memperingatkan bahwa manusia bisa kehilangan agensi dan makna hidup jika menyerahkan kendali pada algoritma dan kecerdasan buatan.
Kewargaan Digital
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu'ti mengingatkan sisi negatif kecerdasan buatan yang perlu diantisipasi di dunia pendidikan. Pertama, informasi yang diproduksi mesin cerdas belum tentu akurat dan bebas bias. Dalam banyak kasus kecerdasan buatan digunakan untuk memproduksi dan menyebarkan disinformasi, berita palsu bahkan konten video menyesatkan. Kedua, ketergantungan pada aplikasi kecerdasan buatan dapat melemahkan pembelajaran aktif dan menumpulkan daya kritis siswa. Sinyalemen ini sejalan dengan temuan tim Microsoft Research dan Carnegie Mellon University (2025) bahwa kepercayaan terhadap kecerdasan buatan cenderung melemahkan proses berpikir mandiri.
Pembelajaran Mendalam dan mata pelajaran KKB merujuk pada penguatan karakter dasar dan berpikir komputasional di tingkat pendidikan dasar dan menengah yang menjadi prioritas sektor pendidikan dalam Strategi Nasional Kecerdasan Buatan (2020-2045). Kebijakan ini juga mengacu pada program Asta Cita ke-4 yang menekankan pembangunan sumber daya manusia unggul berbasis sains dan teknologi.
Pembelajaran Mendalam merupakan pendekatan yang memuliakan peserta didik dengan menekankan pada penciptaan suasana belajar dan proses pembelajaran berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan melalui olah pikir, olah hati, olah rasa, dan olah raga secara holistik. Pendekatan ini bertujuan mengasah daya nalar kritis murid dengan menekankan pengalaman belajar yang aktual, kontekstual, dan interdisipliner. Proses pembelajaran berorientasi pada penumbuhan karakter dan pendalaman pemahaman daripada mengejar kuantitas materi.
Adapun kurikulum KKB dirancang dengan mengintegrasikan nilai-nilai dasar (kolaborasi, empati, dan tanggung jawab), etika digital, literasi, dan keterampilan pemrograman. Peserta didik ditempa untuk terbiasa berpikir logis, sistematis, dan solutif. Pendekatan belajarnya menggunakan metode problem-based learning sehingga murid tidak hanya menguasai konsep, tetapi mampu menerapkannya dalam konteks keseharian. Tugas guru tidak hanya mengajarkan materi teknis koding, tetapi juga pembina karakter digital.
Pada pelatihan calon pengajar KKB di lingkungan Kemendikdasmen, penulis menekankan pentingnya menyemaikan nilai-nilai kewargaan digital (digital citizenship) kepada peserta didik. Kewargaan digital mengajarkan bagaimana menggunakan teknologi digital secara etis, aman, dan bertanggung jawab (Ribble, 2015). Setiap individu menjadi sadar dan patuh akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara di dunia maya. Kesadaran ini mendorong penggunaan teknologi secara kritis, bertanggung jawab, dan berorientasi pada kebaikan bersama.
Baca juga: Memperkuat Reformasi Tata Ruang Indonesia |
Dalam dunia yang makin terdigitalisasi, pendidikan yang memadukan kecakapan teknologi dan etika kemanusiaan menjadi kunci. Teknologi adalah alat pembebasan jika dipandu oleh etika dan hati nurani. Kombinasi antara kecakapan teknologi, panduan moral, dan sikap kritis akan menciptakan generasi digital yang cerdas dan bijak. Guru dan orang tua hendaknya menjadi teladan dalam menggunakan media sosial dan aplikasi kecerdasan buatan.
Perpaduan Pembelajaran Mendalam yang berorientasi pada penumbuhan pola pikir kritis dan pelajaran KKB yang menekankan etika dan literasi digital mendaulat proses pembelajaran sebagai medium penumbuhan jatidiri, liberasi, dan humanisasi. Sebuah ikhtiar transformasi pendidikan untuk menyikapi tsunami digital dengan kekuatan moral dan kemandirian berpikir.
Fajar Riza Ul Haq, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah
Simak juga Video: Gibran Pastikan Sekolah Terapkan Pelajaran AI Mulai Tahun Ajaran Baru