Sejak disahkan UU No 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2023 yang akan berlaku secara efektif pada Januari 2026 ternyata sampai sekarang Pemerintah belum membentuk Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Hal ini telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 102 KUHP (baru) yang mengatakan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pidana mati diatur dalam Undang-Undang.
Tanpa pengaturan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara pelaksanaan pidana mati sepertinya akan menyulitkan bagi para aparat penegak hukum (polisi, jaksa/KPK dan hakim) di dalam melaksanakan pidana mati seperti telah diatur dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 101 KUHP.
Dalam ketentuan Pasal 100 ayat (1) KUHP yang mensyaratkan penjatuhan pidana mati dengan masa percobaan 10 tahun harus memperhatikan "adanya penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri terdakwa". Bagaimana mungkin hakim bisa memastikan persyaratan itu terpenuhi, jika hanya diketahui hakim sekejap dalam proses persidangan berlangsung di saat pemeriksaan terdakwa?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketentuan ayat (1) tersebut lebih tepat ditempatkan pada Pasal 100 ayat (4) KUHP, yang telah menegaskan jika masa percobaan selama 10 tahun terdakwa telah menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati berubah menjadi "pidana seumur hidup" dengan keputusan Presiden setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung.
Pada tahapan proses ini berarti status pelaku bukan lagi sebagai terdakwa di persidangan, tetapi sudah berstatus terpidana yang menjadi domain pembinaan dari Pemerintah c/q Lembaga Pemasyarakatan. Karena itu, pemerintah seharusnya merevisi ketentuan Pasal 100 ayat (1) di atas dan tidak perlu dibebankan kepada Hakim untuk menjatuhkan pidana mati kepada terdakwa dengan masa percobaan selama 10 tahun dengan syarat seperti tersebut di atas.
Biarlah kebebasan (independensi) tersebut diberikan kepada hakim untuk memutus perkara seperti telah dijamin oleh Konstitusi UUD 1945. Toh, di dalam ketentuan pasal 100 ayat (6) KUHP telah ditegaskan, jika terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji dan tak ada harapan untuk diperbaiki selama masa percobaan 10 tahun, maka pidana mati secara mutatis-mutandis akan dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Namun menjadi aneh lagi, tatkala permohonan "grasi" terpidana mati ditolak oleh Presiden dan pidana mati tersebut tidak dilaksanakan pihak pengeksekusi selama 10 tahun, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana "seumur hidup" dengan Keputusan Presiden (vide pasal 101 KUHP). Mandeknya pelaksanaan eksekusi hingga 10 tahun ternyata tidak diatur secara tegas di dalam penjelasan ketentuan ini.
Harapannya, pemerintah bisa menjelaskan secara tegas tentang peraturan ini dalam Undang-Undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati
Prof Binsar Gultom, Hakim Tinggi pada Pengadilan Tinggi Jakarta; Guru Besar Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.
(zap/dhn)