China merayakan 75 tahun kemerdekaannya pada 1 Oktober lalu; momen ini menjadi refleksi penting bagi hubungan diplomatik Indonesia dengan salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Pada April 2025, hubungan antara Indonesia dan China akan menandai 75 tahun, dari aliansi ideologis selama era Perang Dingin hingga kerja sama ekonomi yang lebih pragmatis pada era modern.
Dengan pergeseran fokus China dari pendekatan Belt and Road Initiative (BRI) yang berfokus pada pembangunan infrastruktur ke serangkaian inisiatif global yang lebih ambisius, seperti Global Development Initiative (GDI), Global Security Initiative (GSI), dan Global Civilization Initiative (GCI), China tidak hanya menempatkan dirinya sebagai mitra pembangunan, tetapi juga berusaha menjadi pemain utama dalam menciptakan tatanan global baru. Oleh karena itu, Indonesia perlu mempertimbangkan cara terbaik untuk terlibat dalam inisiatif-inisiatif ini sambil tetap mempertahankan kepentingan nasional. Inisiatif-inisiatif ini menawarkan peluang besar untuk pertumbuhan ekonomi, keamanan regional, dan diplomasi budaya, namun juga membawa tantangan yang perlu dinegosiasikan dengan cermat.
Pemerintahan Indonesia mendatang, yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, harus secara efektif mengelola peluang dan tantangan yang timbul dari ambisi global China yang semakin meningkat. Keseimbangan ini membutuhkan pemanfaatan maksimal atas manfaat dari proyek-proyek tersebut tanpa menjadikan Indonesia terlalu bergantung pada China, serta tetap fokus pada pencapaian tujuan strategis nasional. Hal ini memerlukan upaya bersama untuk mencapai hasil yang terukur dan konkret guna melindungi kedaulatan Indonesia serta mendorong pembangunan berkelanjutan.
Sejalan dengan Visi Indonesia
GDI menandakan perubahan signifikan dari BRI yang berfokus pada infrastruktur menuju perhatian yang lebih luas pada pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, dan transformasi digital. Pergeseran ini berlangsung seiring dengan upaya Indonesia untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi pada 2045. Penekanan GDI pada ekonomi digital dan pembangunan berkelanjutan sejalan dengan visi Indonesia, terutama dalam memperkuat sektor energi terbarukan dan infrastruktur digital. Perubahan fokus dari BRI ke GDI membuka peluang kerja sama yang tak hanya membangun infrastruktur, namun juga mendorong pencapaian Visi Indonesia 2045, yang akan memposisikan negara ini sebagai pemimpin di sektor ekonomi digital dan hijau.
China telah melakukan investasi besar di sektor nikel Indonesia, yang menjadi kunci bagi pasar kendaraan listrik global. Namun, masih ada potensi besar untuk kerja sama lebih lanjut, terutama di sektor energi terbarukan. Indonesia menargetkan 23% energi dari sumber terbarukan pada 2025, tetapi hingga 2022 hanya mencapai 12%. Kemitraan yang lebih intensif dengan China, khususnya dalam proyek energi surya dan hidroelektrik, dapat membantu mengurangi kesenjangan ini. Meski demikian, agar kerja sama ini benar-benar memberikan manfaat bagi Indonesia, struktur kolaborasinya harus dirancang untuk mengutamakan kepentingan lokal, seperti penciptaan lapangan kerja dan transfer teknologi.
Kepemimpinan Indonesia perlu memastikan adanya kesepakatan yang jelas dan terukur, mencakup target investasi, penciptaan lapangan kerja, dan transfer teknologi yang nyata. Semua proyek energi terbarukan yang dijalankan di bawah GDI harus memastikan bahwa mayoritas tenaga kerja, idealnya 60% atau lebih, berasal dari Indonesia dan bahwa perusahaan lokal mendapatkan manfaat dari teknologi dan pengalaman yang diperoleh. Ini akan memperkuat kapabilitas energi terbarukan Indonesia sekaligus membangun fondasi industri dalam negeri.
Tantangan yang Lebih Kompleks
Meskipun GDI menawarkan peluang ekonomi yang signifikan, GSI yang diluncurkan pada 2022 menghadirkan tantangan yang lebih kompleks. GSI menawarkan pendekatan inovatif untuk menangani masalah keamanan regional dan global. Sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan anggota utama ASEAN, Indonesia dapat memanfaatkan GSI untuk meningkatkan kerja sama keamanan regional. Fokus China pada komunikasi dan keamanan bersama sejalan dengan kebijakan luar negeri non-blok Indonesia serta peran kepemimpinannya di ASEAN.
Namun, Indonesia harus menegaskan kedaulatannya dengan tegas. Ketegangan baru-baru ini antara Indonesia dan China terkait hak penangkapan ikan di sekitar Kepulauan Natuna menggarisbawahi risiko ketergantungan yang berlebihan pada China dalam isu-isu keamanan. Meskipun GSI mempromosikan visi keamanan kolektif, tindakan tegas China di Laut China Selatan menimbulkan kekhawatiran terkait niat sebenarnya. Keterlibatan Indonesia dalam GSI harus didasarkan pada komitmen untuk mempertahankan kedaulatan teritorial dan stabilitas kawasan.
Indonesia harus memastikan bahwa setiap kerja sama keamanan dengan China dilakukan dalam kerangka multilateral ASEAN, bukan melalui perjanjian bilateral yang dapat mengancam keamanan kolektif kawasan. Langkah-langkah kolaboratif, seperti patroli maritim, harus lebih memprioritaskan tantangan bersama seperti pembajakan dan penyelundupan daripada penegakan wilayah. Dengan mempertahankan sentralitas ASEAN dan berkolaborasi dengan mitra regional lainnya, Indonesia dapat memastikan bahwa keterlibatannya dalam GSI memperkuat, bukan melemahkan, status kepemimpinannya di kawasan.
Pengelolaan yang Cermat
Pada saat yang sama, GCI menambah dimensi baru dalam hubungan Indonesia-China. Sebagai bagian dari strategi soft power China dalam kebijakan luar negeri, GCI mendorong pertukaran budaya dan interaksi antarbudaya. Indonesia, dengan keberagaman budayanya dan komitmen terhadap pluralisme, memiliki peluang besar untuk mempererat hubungan budaya dengan China dan negara-negara lain. Namun, diplomasi budaya ini membutuhkan pengelolaan yang cermat, mengingat pengaruh China yang semakin besar di Asia Tenggara menimbulkan kekhawatiran tentang potensi keseragaman budaya dan hilangnya praktik-praktik lokal.
Untuk menjaga kekayaan budaya sambil terlibat dengan China, Indonesia harus mendorong prinsip timbal balik dalam proyek-proyek GCI. Ini bisa mencakup produksi film bersama, pertukaran akademik, dan promosi media Indonesia di industri hiburan China. Kolaborasi ini akan memfasilitasi promosi budaya Indonesia, memanfaatkan potensi ekonomi kreatif dan sektor konten digital yang dinamis. Pertukaran akademik dan produksi bersama dapat memperkuat soft power Indonesia serta memperdalam pemahaman bersama dengan China.
Perlu Diidentifikasi dengan Jelas
Visi besar China tentang Community of Shared Future for Mankind bertujuan untuk menciptakan tatanan global yang lebih terintegrasi, namun implikasinya bagi Indonesia masih perlu diidentifikasi dengan jelas. Menurut laporan State of Southeast Asia 2024 dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, sepertiga responden Asia Tenggara melihat konsep tersebut sebagai pelengkap tujuan ASEAN, sementara sepertiga lainnya melihatnya sebagai peluang yang menguntungkan bagi kawasan. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa inisiatif ini dapat meningkatkan ketergantungan ASEAN pada China dan mengurangi peranannya dalam urusan regional.
Indonesia tidak boleh mengabaikan kekhawatiran ini. Meski ambisi global China menawarkan banyak manfaat, potensi untuk terjebak dalam kebijakan geopolitik yang luas tetap ada. Pemerintahan Indonesia mendatang harus memastikan bahwa keterlibatan Indonesia dalam proyek-proyek ini sejalan dengan tujuan strategis negara, termasuk pembangunan ekonomi, keamanan regional, dan diplomasi budaya.
Indonesia dan China harus menandatangani perjanjian konkret dan terverifikasi untuk mendiversifikasi perdagangan dan investasi ke arah layanan digital dan teknologi, bukan hanya proyek infrastruktur. Untuk menjaga keamanan regional, Indonesia harus memastikan bahwa kerja sama militer dengan China tidak mengkompromikan posisi non-bloknya atau hubungan dengan Amerika Serikat. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN dapat dimanfaatkan untuk mendorong mutual enrichment dalam GCI dan melindungi warisan budayanya dari pengaruh China.
Untuk memastikan hubungan yang berkelanjutan dengan China, Indonesia harus menekankan hasil yang terukur --seperti inisiatif energi terbarukan, kesepakatan perdagangan digital, dan kolaborasi keamanan-- yang sejalan dengan kedaulatan dan kepemimpinan regionalnya. Prabowo dapat mempererat hubungan dengan memprioritaskan upaya yang menyoroti manfaat bersama dan memberikan hasil nyata, yang menjamin keuntungan sambil menjaga kedaulatannya. Kemampuan untuk menyeimbangkan kerja sama dengan China sekaligus mempertahankan kemandiriannya akan menentukan masa depan Indonesia serta memperkuat posisinya sebagai pemimpin regional di ASEAN.
Virdika Rizky Utama peneliti PARA Syndicate, dosen Hubungan Internasional di President University
(mmu/mmu)