Teman saya cowok kelahiran 1996. Internet sudah hadir saat dia lahir meski terbatas. Saya membayangkan dia sebagai generasi milenial, memiliki perilaku khas karena sejak balita sudah mengenal internet. Update banget, si paling sosmed, hingga FOMO (fear of missing out) alias suka ikut-ikutan. Nyatanya?
"Saya setelah bangun pagi biasanya ngopi dulu. Nyantai. Sejam kemudian baru beraktivitas, buka HP. Lalu mandi dan kerja," kata teman saya yang kerja di perusahaan swasta di Jakarta tersebut.
Wah, seperti kegiatan pagi bapak-bapak pada umumnya, pikir saya. Bapak-bapak yang saya maksud, berdasarkan pemahaman umum, adalah generasi baby boomers. Masak iya teman saya yang milenial itu 'jelmaan' generasi baby boomers?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Generasi Perang hingga Teknologi
Istilah generasi mengacu pada kelompok umur yang lahir dalam rentang waktu tertentu. Pengelompokan ini berdasar pada premis bahwa sekelompok individu dipengaruhi kejadian-kejadian bersejarah dan tren budaya dalam hidupnya.
Dalam pandangan umum, ada beberapa generasi di antara 8 miliar penduduk Bumi saat ini-berdasarkan data Februari 2024. Pertama pre-bomers. Generasi ini lahir sebelum 1945. Lalu generasi baby boomers yang lahir antara 1945-an hingga 1964, diidentifikasi sebagai manusia 'bebas' usai Perang Dunia. Ciri-ciri generasi ini di antaranya beranak banyak, disiplin, dan keras. Mereka berwatak seperti itu karena tak ingin anaknya menderita dan hidup dengan ketidakpastian bak era perang.
Ketiga, Generasi X. Generasi ini lahir antara 1965 - 1980. Mereka memilih tak beranak banyak seperti orangtuanya. Implikasinya, angka kelahiran di mana-mana menurun. Dididik keras orangtua, saat dewasa mereka termasuk pekerja berdedikasi, militan, dan mandiri. Generasi ini mengenal teknologi baru seperti televisi, telepon, hingga ponsel.
Generasi keempat adalah Y atau milenial. Lahir antara 1981 - 1995. Generasi ini merasakan perubahan besar dalam teknologi dan melewati krisis ekonomi 1980-an. Dampaknya mereka cenderung open minded dan ekspresif. Juga mengikuti passion, terutama dalam dunia kerja, dan perkembangan teknologi.
Lalu kelima adalah Generasi Z yang lahir 1996-2010. Generasi ini menikmati teknologi yang menjadi fondasi kehidupan saat ini. Sejak balita sudah mengenal ponsel, lalu memasuki usia sekolah, sebagian di antaranya sudah menikmati media sosial.
Berbagai kemudahan membuat generasi Z dianggap cenderung effortless terhadap apapun. Termasuk dalam dunia kerja. Mereka merasa bisa meng-handle banyak kerjaan atau multitasking. Tak segan berpindah-pindah kerja atau menciptakan pekerjaan baru yang menurut mereka lebih mudah dan hasilnya cepat dinikmati.
Yang terakhir adalah generasi Alpha, lahir 2011 hingga saat ini. Anak-anak ini hidup dalam dunia teknologi yang mapan. Mengenal gadget sejak balita, memiliki pengetahuan dan kritis dalam berbagai hal. Generasi ini banyak mempertanyakan dogma atau pengetahuan umum. Orangtua tak boleh menjawab asal-asalan, harus logis.
Latah Ikut-ikutan?
Pembagian kelompok generasi di atas berdasarkan riset pakar luar negeri. Sebagian besar dari Amerika Serikat (AS). Kita hanya ikut-ikutan. Boleh dibilang latah. Padahal lanskap sosio-historis AS dan Indonesia jelas beda. Bisa jadi pembagian generasi ala AS tak sinkron dengan keadaan Indonesia.
Teman yang saya ceritakan di awal menjadi contoh. Perilakunya jauh dari kebiasaan milenial. Itu bukan aib, juga bukan masalah. Terjadi hanya karena kita memasukkan dia dengan standar AS. Padahal dia lahir di pinggiran Kota Semarang, Jawa Tengah. Perilaku dan kebiasaannya dipengaruhi keluarga, lingkungan RT/RW, pertemanan, budaya, dan agama serta yang lain.
Jauh di Kanada sana, analis siber Don Tapscott melakukan riset di 10 negara pada 2007 untuk membuat klasifikasi generasi global. Indonesia tak termasuk negara responden. Di Asia, Tapscott hanya mengambil sampel generasi muda China, India, dan Jepang.
Total hampir 10 ribu orang berbagai kelompok usia terlibat dalam proyek Tapscott. Tak hanya wawancara lisan dan tertulis, tapi juga workshop dan studi etnografi. Hasilnya terangkum dalam buku Grown Up Digital (2009).
"Generasi internet sudah dewasa," demikian kesimpulan Tapscott.
Tapscott memakai istilah generasi internet atau Net Generation, lahir Januari 1977 hingga 1997. Dia menandai 'irisan' kelompok umur tertentu dengan sejarah dan teknologi. Generasi ini disimpulkan menginginkan kebebasan dalam segala hal, kebebasan memilih hingga berekspresi. Juga senang membuat sesuatu sesuai selera atau kustomisasi.
Selain itu, mereka merasa berhak memutuskan di mana akan bekerja dan ingin hiburan atau kegiatan bermain ada di pekerjaan, pendidikan, dan kehidupan sosial.
"Mereka generasi yang mengandalkan kolaborasi dan relasi. Generasi internet membutuhkan kecepatan-tidak hanya dalam video game. Mereka para inovator," tulis Tapscott saat mengulas Norma Generasi Internet dalam bukunya itu.
Sejumlah pakar berbeda-beda mengelompokkan generasi muda. Beda pula istilahnya. Jika Tapscott memakai Net Generation, William Strauss & Neil Howe (2000) memakai istilah 13th Generation dan Milenial. Diana Oblinger (2005) memakai Gen Y/NetGen dan Post Milenials. Mereka juga berbeda dalam membuat hipotesis karakteristik generasi tersebut.
Jadi lebih baik kita tak terlalu overthinking terhadap pengkotakan generasi. Tak perlu 'teracuni' persepsi bahwa milenial harus seperti ini, Gen Z harus seperti itu. Apalagi generasi di area blankspot atau sinyal rendah yang masih ada di Indonesia, tak perlu menyamakan diri dengan Net Generation ala Tapscott atau Post Milenials ala Oblinger. Kita adalah kita. Berbeda itu normal dan nggak apa-apa.
Triono Wahyu S penggiat Detikcom Bookclub; tulisan ini pendapat pribadi
(mmu/mmu)