Pernahkah Anda membayangkan, jika harga barang dan jasa di pasar tidak ditentukan oleh keseimbangan pasar itu sendiri? Misalnya, Anda ingin berjualan beras dan berencana menyewa kios di Pasar Beras Cipinang. Namun, pengelola pasar menetapkan harga jual beras harus lima ribu rupiah per liter. Padahal, biaya modal untuk berjualan beras saat ini sudah di atas Rp 12 ribu per liter. Tentu, Anda sebagai pedagang akan merugi jika memaksakan diri berjualan di pasar tersebut.
Namun, pengelola pasar beralasan bahwa aturan harga yang mereka tetapkan bertujuan agar Pasar Beras Cipinang ramai pengunjung. Mereka berharap, ketika pasar ramai pengunjung, kesejahteraan penjual akan meningkat. Tentu, pengelola pasar tidak memaksakan kondisi ini; pedagang yang tidak setuju dengan penetapan harga ini bisa mencari pasar lain atau membuka kios sendiri. Konyol sekali, bukan?
Analogi di atas bukanlah sekadar rekaan. Hal itu sebenarnya terjadi di bisnis aplikator transportasi online selama ini. Sebut saja Gojek, Grab, Maxim, Lalamove, bahkan pelopor bisnis taksi online, Uber. Pada dasarnya, seluruh aplikator transportasi online bukanlah penyedia jasa transportasi itu sendiri. Mereka hanya menyediakan platform, sebuah aplikasi yang mempertemukan penyedia jasa asli—yaitu para mitra driver, dengan konsumen. Ibaratnya, mereka menyediakan pasar agar para driver dan penumpang bisa lebih mudah bertransaksi. Namun, ada satu kecurangan pasar yang terjadi di sini, yaitu harga yang terbentuk di aplikasi bukan ditentukan oleh kesepakatan penjual dan pembeli jasa, melainkan ditentukan secara sepihak oleh perusahaan aplikator.
Mari kita analisis lebih mendalam. Siapa yang selama ini membeli kendaraan, melakukan perawatan berkala, melakukan perbaikan, membayar pajak kendaraan, menanggung biaya bahan bakar, biaya makan driver, biaya berobat ketika driver sakit, dan sebagainya? Benar, hampir seluruh biaya modal dan operasional untuk layanan transportasi online menjadi beban para mitra. Namun, mengapa penetapan harga layanan tidak melibatkan para mitra, termasuk besaran komisinya? Mengapa sampai hari ini ratusan ribu mitra di seluruh Indonesia seolah gagal melihat keanehan seperti ini?
Fenomena Belakangan Ini
Untuk menganalisis ketimpangan harga layanan ini, kita tidak bisa hanya melihat fenomena belakangan di mana pendapatan mitra driver semakin kecil. Kebanyakan orang mungkin akan terjebak pada logika sederhana bahwa karena jumlah mitra semakin banyak beberapa tahun belakangan, otomatis biaya layanan menjadi murah. Seolah terjadi hukum permintaan dan penawaran yang alamiah membentuk harga di internal perusahaan aplikator. Padahal, logika ini jelas-jelas keliru.
Sejak munculnya aplikasi jasa transportasi online di Indonesia sepuluh tahun lalu, hingga kini pun harga jasa tetap ditentukan oleh perusahaan. Bedanya, pada tahun-tahun awal kemunculan aplikasi, terjadi aksi promo tarif di mana perusahaan aplikasi baru melakukan dumping harga. Istilahnya kemudian dikenal sebagai aksi "bakar duit" berkedok program marketing.
Pada masa-masa itu, seorang driver ojol bisa pamer gajian delapan juta sebulan, atau seorang driver Uber Car bisa bercerita punya penghasilan hingga belasan juta sebulan. Sementara di sisi konsumen, kemunculan layanan transportasi online ini seolah menjadi solusi kreatif dari semrawutnya tata kelola transportasi umum konvensional. Selain menawarkan tarif murah, berbagai kemudahan layanan akibat penerapan teknologi jelas-jelas menguntungkan konsumen.
Bayangkan, jika pada 2015-2016 lalu ada pengamat yang mengatakan bahwa model bisnis ini akan merugikan masyarakat luas, saya yakin banyak orang malah akan mencemooh pengamat tersebut. Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir, pro-kontra yang muncul seputar bisnis aplikasi transportasi online tidak pernah menyentuh titik permasalahan utama. Contoh saja perseteruan antara ojek pangkalan (opang) dengan ojek online (ojol) sekitar 2015-2016. Lalu, tuntutan ojol dan taksi online untuk diakui sebagai moda transportasi umum pada 2016-2017. Juga, polemik tentang penyesuaian tarif yang dirasa mulai menurun sejak era 2019.
Selama ini, baik mitra driver maupun pemerintah tidak ada yang mempersoalkan mengapa ada satu pihak yang seolah lebih berkuasa dalam pembentukan harga. Bayangkan jika anomali pembentukan harga ini terjadi pada komoditas sembako, mungkin Presiden pun sudah menginstruksikan aparat keamanan untuk segera menangkap semua pihak yang terlibat dalam permainan harga.
Sebenarnya, pihak yang dirugikan oleh sepak terjang perusahaan-perusahaan aplikasi transportasi online ini tidak sebatas para mitra driver. Coba tanyakan kepada entah berapa ribu investor ritel di negeri ini, yang pada April 2022 berebut saham IPO Goto. Bayangkan kapitalisasi pasar yang semula berkisar Rp 800 triliun , saat ini ambruk menjadi sekitar Rp 60-an triliun. Berapa ratus triliun dana masyarakat yang menguap begitu saja pada saham Goto yang saat ini terpuruk di kategori saham gocap? Jangan lupa, sebagian pemborong saham IPO Goto juga merupakan BUMN.
Tidak sulit sebenarnya memahami ketika sebuah perusahaan yang secara halus melakukan praktik bisnis tidak fair—seperti dumping harga dan pembentukan harga secara sepihak—kemudian diperbolehkan menjual sahamnya ke publik. Bisa dipastikan, ketika perusahaan tersebut sudah menjadi milik publik, dan tuntutan akan praktik bisnis yang fair semakin terbuka, keuntungan perusahaan yang digembar-gemborkan sebelumnya hanyalah khayalan.
Sekali lagi, jika ada pengamat yang pada masa persiapan IPO Goto menuliskan bahwa saham ini berpotensi menjadi saham gocap, mungkin pengamat tersebut tidak hanya akan dicemooh, tetapi juga mungkin dicap kampret, kudet, dan sebagainya.
Padahal, untuk menjalankan pola bisnis yang lebih fair sebenarnya tidaklah sulit. Ada berbagai platform aplikasi marketplace seperti Tokopedia dan Shopee yang sudah beroperasi selama ini sebagai layaknya penyedia pasar, sebagai penghubung antara penjual dan pembeli barang secara online --tanpa secara sepihak menentukan harga barang yang dijual di sana. Okelah, pihak perusahaan penyedia jasa marketplace bisa memungut biaya layanan atau menarik komisi dari transaksi. Tapi hal tersebut tidak melanggar prinsip kebebasan pasar. Tidak ada pedagang yang dipaksa untuk menjual barangnya dengan harga tertentu.
Fokus pada Solusi
Jadi, sekarang kita fokus pada solusi yang bisa dilakukan. Pemerintah seharusnya tidak hanya menghitung jumlah peserta aksi demo mitra ojol pada 29 Agustus 2024 kemarin yang diperkirakan hanya sekitar seribuan orang. Pemerintah harusnya juga menghitung, berapa juta orang yang hari ini sudah telanjur bergantung hidupnya pada bisnis abu-abu semacam ini.
Kita tidak perlu berharap pemerintah tiba-tiba sadar bahwa praktik bisnis perusahaan transportasi online selama ini tidak fair. Indikasinya jelas, ada pengendalian harga yang tidak wajar, lalu ada perilaku mencurigakan yang diduga merugikan pasar modal secara nasional. Kemudian Presiden beserta Jaksa Agung mengumumkan akan membuka penyelidikan dan menangkap semua pihak yang terlibat. Termasuk menangkapi seluruh regulator dan pengawas pasar modal. Terlalu keren itu. Atau, kita juga tidak perlu berharap tiba-tiba perusahaan-perusahaan transportasi online itu ditutup. Tidak perlu seheboh itu.
Setidaknya, pemerintah bisa membuat aturan yang lebih tegas dari Permenhub No.12 tahun 2019 lalu, yang mana sampai hari ini tidak berhasil membuat tarif yang dirasa adil oleh para mitra. Sederhana saja, buat aturan final bahwa perusahaan aplikasi transportasi online tidak boleh menetapkan tarif sendiri. Jika aturan ini dianggap merepotkan secara teknis, atau secara undang-undang dianggap sebagai intervensi pemerintah terhadap kebebasan berusaha, maka pemerintah harus berani membuat aplikasi baru. Iya, aplikasi baru.
Ini sama halnya dengan selama puluhan tahun sebelumnya, pemerintah membuat terminal bus untuk memudahkan pengusaha angkutan umum bertemu dengan penumpangnya. Namun, bukan pengelola terminal yang menetapkan tarif angkutan umum, melainkan pihak Organda yang merupakan perwakilan pengusaha angkutan, bersama Dishub/Kemenhub yang mewakili pemerintah --yang seharusnya mewakili kepentingan masyarakat juga. Wajar, bukan, ketika pemerintah membangun terminal, bahkan bandara dan pelabuhan? Lalu, kenapa seolah pemerintah tidak wajar kalau bisa membuat aplikasi berbentuk platform untuk memudahkan akses masyarakat terhadap transportasi online?
Bayangkan, jika pemerintah membuat aplikasi angkutan online secara nasional. Tidak hanya akan tercipta kemudahan bagi masyarakat luas di bidang transportasi, tapi juga segudang polemik tentang sulitnya menetapkan tarif yang adil di setiap daerah seharusnya lebih mudah terealisasi. Ya, karena pemerintah sebagai pemilik aplikasi akan lebih mudah berkoordinasi dengan para kepala daerah untuk menetapkan tarif, juga mudah berkoordinasi terkait pajak daerah, pemberian subsidi, konektivitas, perlindungan pekerja, dan tentunya perlindungan konsumen.
Namun, harus disadari juga bahwa kendala penataan bisnis di sektor ini tidak hanya berasal dari faktor pemerintah yang seolah tidak becus. Masih ingat penolakan para mitra driver tentang wacana angkutan transportasi online berplat kuning? Atau, ketika sebagian besar masyarakat menolak wacana pemungutan pajak dari transportasi online? Padahal, keterlibatan pemerintah di setiap sektor, walaupun terkadang terasa membebani, pada akhirnya memberikan kejelasan hak dan kewajiban bagi pelaku industri. Contohnya di sektor tenaga kerja migran.
Masih ingat eranya ketika pekerja Indonesia sangat mudah berangkat ke Malaysia atau negara-negara Arab untuk menjadi TKI? Lalu, bagaimana kabar perlindungan pekerjanya saat itu? Apakah ketika pekerja migran saat itu diperlakukan tidak manusiawi, diperkosa, dibunuh, atau dikriminalisasi sampai harus menjalani hukuman pancung, apa yang bisa dilakukan pemerintah kita saat itu? Bandingkan dengan saat sekarang, ketika untuk berangkat kerja ke luar negeri secara umum lebih sulit, lebih banyak prosedurnya, tetapi secara hukum hak-hak pekerja migran kita di luar negeri sudah jauh lebih terjamin.
Akhirnya, kita sebagai bangsa harus duduk bersama untuk mengurai segala polemik yang muncul dari bisnis transportasi online. Kita harus mengakui bahwa bisnis ini sejak lahirnya sudah rawan menimbulkan masalah, dari munculnya gesekan sosial akibat transisi teknologi, indikasi praktik usaha yang tidak fair, hingga potensi terjadinya penipuan investasi kelas dunia ala skema ponzi. Diperlukan tidak hanya kemauan politik, tetapi juga kesadaran penuh dari semua pihak demi kembalinya dunia usaha yang sehat. Sebab, meminjam istilah umum di dunia keuangan, bisnis transportasi online sudah terlalu besar untuk gagal.
Pamuji Widodo Project Manager & Consultant
(mmu/mmu)