Selain karena tidak memenuhi kuorum, dan setelah mendapat tekanan politik yang cukup masif dari berbagai elemen masyarakat, akhirnya DPR melalui Wakil Ketua Sumi Dasco membatalkan pengesahan Rancangan Undangan-Undang (UU) Pilkada. Sebelumnya, DPR berupaya superkilat merevisi UU Pilkada yang akan menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan Nomor 70 Tahun 2024 tentang ambang batas pencalonan Kepala Daerah dan batas usia calon di Pilkada 2024. Dengan pembatalan ini, konsekuensi hukumnya, DPR dan KPU harus mengikuti putusan MK tersebut.
Putusan MK Nomor 70 Tahun 2024 mengubur mimpi Kaesang yang sebelumnya digadang-gadang akan mencalonkan kelapa daerah. Sedangkan Putusan MK Nomor 60 tahun 2024 memiliki makna; pertama, memberikan angin segar bagi ekosistem dan iklim demokrasi elektoral di daerah yang lebih sehat dan dinamis. Putusan MK tersebut akan memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada partai politik atau gabungan partai politik, baik yang memiliki kursi maupun tidak memiliki kursi untuk mengajukan calon kepala daerah. Dengan ketentuan yang baru, menghilangkan syarat kursi, diganti dengan syarat suara sah sesuai ketentuan baru.
Kedua, menghancurkan praktik kartel politik yang coba dirancang oleh koalisi besar partai-partai, di mana paslon memborong nyaris habis partai politik, seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta. Ketiga, membuyarkan skenario kotak kosong atau paslon boneka yang coba dirancang oleh para kartelis politik dan memuluskan paslonya. Keempat, demokrasi elektoral pilkada semakin dinamis dan seru. Akan ada kompetisi, karena akan ada beragam paslon dari partai atau gabungan parpol. Demokrasi elektoral yang tercermin dalam pilkada akan semakin marak, kompetitif, dan berharap lebih demokratis.
Harus Tetap Dijaga
Tekanan dan gerakan ekstra parlementer sebagai bagian dari kekuatan oposisi di atas semakin memberi makna penting dan strategis dalam menjaga dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi. Oposisi ekstra parlementer harus terus dijaga dan dirawat ke depannya, mengingat praktik-praktik 'demo-crazy' (demokrasi gila) serta pembajakan dan pembegalan demokrasi dan konstitusi negara berpotensi akan muncul kembali di kemudian hari dan dilakukan oleh elite-elite partai politik di parlemen dan kekuatan oligarki.
Para elite politik DPR dan pemerintah sering bersembunyi di balik mekanisme legal-formal dalam pembuatan peraturan perundangan-undangan demi untuk memenuhi hasrat kepentingan mereka, atau yang disebut sebagai legalisme otokratik (autocratic legalism); suatu sistem pemerintahan di mana hukum dan peraturan perundangan-undangan digunakan untuk memperkuat kekuasaan absolut seorang pemimpin. Dalam konteks ini, hukum dan undang-undang tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengatur perilaku masyarakat, tetapi juga sebagai sarana untuk mempertahankan dan menumpuk otoritas dan kontrol politik terhadap masyarakat.
Melihat dinamika politik pasca Pemilu 2024 dan menjelang pilkada, yang melahirkan sentralisasi kekuatan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, potensi akan lahirnya praktik politik kekuasaan bercorak legalisme otokratik semakin kentara. Praktik-praktik politik kekuasaan dijalankan dengan menggunakan instrumen hukum yang dibuat dan dikondisikan sesuai dengan kepentingan politik elite dan oligarki.
Contoh nyata dari autocratic legalism adalah pembahasan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi atas undang-undang penting seperti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Undang-undang Cipta Kerja, dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang meloloskan Gibran sebagai cawapresnya Prabowo. Undang-undang yang seharusnya digunakan untuk menegakkan integritas demokrasi dan melawan korupsi justru digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan.
Praktik politik kekuasaan legalisme otokratik setidaknya ada presedennya, yakni di Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chaves. Chaves, juga Soeharto pada era Orde Baru, menggunakan instrumen hukum untuk memperkuat kekuasaannya, sering melakukan otak-atik hukum dan konstitusi melalui amandemen konstitusi dan hukum yang menguntungkan dirinya dan kelompok kepentingannya. Praktik ini tentu saja akan menjadi tantangan serius dan mengancam sendi-sendi dan integritas sistem demokrasi dan HAM.
Dalam negara yang mempraktikkan autocratic legalism, instrumen hukum juga digunakan untuk membungkam suara-suara kritis masyarakat. Kritik publik dianggap benalu dan ancaman politik yang akan mengganggu jalannya pemerintahan dan menjatuhkan kekuasaannya. Praktik-praktik pembungkaman suara kritis publik kerap terjadi dan dilakukan rezim Jokowi dalam beberapa tahun terakhir.
Praktik kekuasaan Jokowi dan pemerintahan baru ke depan perlu dikontrol dan diawasi. Beberapa perilaku dan kebijakannya sudah mulai mendistorsi semangat dan prinsip demokrasi yang sedang kita bangun. Karena itu, munculnya kekuatan oposisi, terutama oposisi ekstra parlementer, dalam konteks ini sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menghindarkan bangsa ini kembali ke rezim otoritarianisme. Kita sulit berharap kekuatan dan fungsi oposisi di parlemen yang saat ini sudah dikooptasi oleh kekuasaan eksekutif (baca: KIM Plus). Sehingga pemerintahan baru Prabowo-Gibran berpotensi nir oposisi yang kuat.
Tetap Eksis dan Berkembang
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekuatan oposisi merupakan salah satu pilar demokrasi yang memiliki peran yang sangat strategis. Di samping sebagai kekuatan pengimbang dan pengontrol, juga memiliki peran dalam upaya memberdayakan dan mendidik secara politik potensi masyarakat. Praktik depolitisasi selama 32 tahun yang dijalankan Orde Baru telah menjadikan rakyat tidak berdaya secara intelektual dan politik. Kekuatan rakyat hanya dimanfaatkan dan dipermainkan oleh rezim untuk memproduksi dan mempertahankan kekuasaannya. Ini yang kemudian memunculkan performance pemerintahan yang otoriter dan sentralistik.
Kita berharap tetap eksis dan berkembang kekuatan oposisi alternatif atau ekstra parlementer yang kuat yang dijalankan kelompok masyarakat atau civil society, mahasiswa, dan kaum cerdik pandai untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Dengan demikian, kehidupan ekosistem demokrasi pun akan berjalan lebih sehat. Langkah oposisi alternatif ini dinilai akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan dan pematangan demokrasi Indonesia ke depan. Kekhawatiran munculnya wajah pemerintahan otoritarianisme gaya baru pun akan dapat dihindari.
Umar Sholahudin dosen Sosiologi Politik FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya