Hari-hari menjelang pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), ada ribuan calon kepala daerah yang masih terus berburu rekomendasi partai politik untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Rekomendasi pencalonan tersebut disebut sebagai tiket emas (golden ticket). Disebut golden ticket, karena hanya tiket dari partai politik yang bisa digunakan untuk syarat pencalonan. Sebelumnya syarat pencalonan lewat jalur independen atau perseorangan telah lebih dulu ditutup. Golden ticket tersebut semakin mahal untuk didapat menjelang masa pendaftaran, dan ditutup pada 29 Agustus 2024.
Perburuan golden ticket ini dapat dihubungkan dengan proses rent seeking (perburuan rente). Mengapa perburuan golden ticket dikaitkan dengan rent seeking? Jawabannya harus melihat topik rent seeking atau perburuan rente yang pertama kali dibahas oleh Gordon Tullock dan Anne Krueger pada 1970-an. Tullock dan Krueger mengulas rent seeking dalam lingkup hubungan ekonomi dan politik. Teori rent seeking Tullock dan Krueger mengulas hubungan antara ekonomi dan politik yang berkaitan dengan lobi, monopoli, minimalisasi persaingan, privilese, dan efisiensi, serta benefit yang lebih banyak.
Bila dikaitkan dengan teori rent seeking, maka dalam proses mendapatkan golden ticket pemilihan kepala daerah calon kepala daerah pasti melakukan lobi-lobi kepada pengurus partai, sekjen, atau ketua umum partai. Apakah lobi termasuk untuk memonopoli golden ticket? Mengapa tidak, bila itu menguntungkan. Monopoli pada pilkada artinya hanya menjadi calon tunggal, tidak ada lawan atau pesaing. Saat pencoblosan nanti hanya ada lawan kotak kosong. Di banyak daerah yang calon kepala daerahnya sudah mendapat tiket, mengarah kepada calon tunggal, artinya tidak ada calon saing.
Politik Biaya Tinggi
Selama ini sudah menjadi rahasia umum bila pemilihan kepala daerah melibatkan politik uang. Hal tersebut menyebabkan politik biaya tinggi. Pada pilkada kali ini, biaya politik juga dikhawatirkan semakin tinggi, mengingat pilkada dilaksanakan hanya berselang beberapa bulan setelah pemilihan legislatif, yang memang melibatkan politik uang secara masif. Sehingga pemilih dianggap akan tetap menunggu uang untuk berpartisipasi pada pemilihan kepala daerah.
Celakanya, bila uang yang dimaksud nominalnya disamakan dengan uang yang diterima pada saat pemilu legislatif, hal ini tentu akan sangat membebani kandidat, terutama calon yang daerahnya memiliki jumlah pemilih banyak, di atas satu juta. Maka memborong golden ticket untuk menjadi calon tunggal adalah suatu strategi "cerdas" untuk menghindari semakin tingginya biaya politik di tingkat pemilih.
Calon tunggal pada pemilihan kepala daerah dalam teori rent seeking sebagai upaya untuk menghilangkan pesaing, sehingga kemungkinan untuk menang dengan biaya lebih murah dapat tercapai. Murahnya biaya pencalonan akan menguntungkan calon yang memiliki uang, maupun calon yang dibiayai oleh investor politik. Hal ini sangat mungkin terjadi karena biaya pilkada yang diperkirakan semakin meningkat dari periode sebelumnya.
Maka untuk efisiensi, dilakukan upaya memborong golden ticket pilkada, dengan biaya yang terukur. Sementara biaya operasional dan pemenangan di tingkat pelaksanaan susah untuk diterka; ada banyak biaya di luar yang diperkirakan oleh pihak investor, sehingga biaya yang digelontorkan sudah pasti membengkak. Terutama bila calonnya hanya ada dua, dan tingkat persaingan antarkandidat sangat tinggi, elektabilitas bersaing ketat.
Dampak Buruk
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam praktik, rent seeking selalu membawa dampak buruk bagi perekonomian, termasuk dalam perebutan golden ticket pilkada. Setidaknya ada dua penjelasan. Pertama, mahar politik yang diberikan untuk mendapat golden ticket sudah pasti diberikan secara cash, tidak melalui transaksi perbankan, sehingga tidak menambah modal uang yang ada di perbankan yang dapat diakses atau dipinjamkan oleh bank kepada peminjam yang digunakan untuk keperluan usaha produktif atau lainnya. Menghindari transaksi perbankan juga merupakan tindakan manipulatif untuk menghindari pengawasan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kedua, proses transaksi uang cash itu berada di Jakarta. Karena golden ticket pilkada ada di Jakarta, maka uang yang banyak beredar hanya di Jakarta dan di tangan segelintir orang. Hal ini jelas tidak dapat memberi manfaat ekonomi di daerah. Asas trickledown effect dalam perekonomian tidak tercapai. Konsentrasi Jakarta sebagai pusat uang masih terjadi. "Mahar" yang digunakan untuk mendapat golden ticket pilkada hanya dipegang segelintir orang yang tinggal di Jakarta. Sehingga makin terkunci peluang uang tersebut bisa mengalir ke daerah. Hal ini tentu saja tidak membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi di daerah, di mana sebagian besar warga negara tinggal.
Rent seeking golden ticket pilkada menunjukkan bahwa politik di Indonesia semakin terpusat ke Jakarta. Hal ini bertentangan dengan semangat pilkada langsung yang lahir dari adanya otonomi daerah dan desentralisasi setelah Reformasi dan runtuhnya Orde Baru. Rent seeking golden ticket pilkada juga semakin memantapkan analisis bahwa politik di Indonesia semakin pragmatis. Buktinya banyak kader bahkan pengurus partai yang gagal mendapat tiket dari partainya untuk maju sebagai calon kepala daerah. Ada pula yang menjadi tim pemenangan pada pemilihan presiden lalu, tapi tidak mendapat tiket dari tokoh partai yang dibelanya pada saat pemilihan presiden.
Banyaknya anomali yang terjadi di sekitar rent seeking golden ticket pilkada menjadi catatan negatif bagi partai politik, terutama yang tidak dapat menjadi sarana dan saluran bagi kader partai untuk berkarir di jalur eksekutif. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 tahun 2024 yang menurunkan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, dan memberi kesempatan kepada partai non parlemen untuk mengusung calon, tidak menutup celah adanya rent seeking golden ticket pilkada.
Perlu ada norma hukum yang juga mengatur ambang batas maksimal dukungan pencalonan, sehingga tidak ada calon yang memborong sebesar-besarnya dukungan, dan menutup peluang calon lain yang diusung oleh partai politik. Misalnya, maksimal jumlah dukungan pencalonan hanya 30 persen saja. Dengan demikian dipastikan akan ada minimal tiga pasangan yang menjadi calon kepala daerah dari partai politik, meskipun tanpa kehadiran calon perseorangan (independen). Dengan begitu rent seeking golden ticket pilkada akan semakin sempit peluangnya.
Mohammad Hidayaturrahman Direktur Center for Indonesian Reform (CIR), dosen FISIP Universitas Wiraraja Madura