Politik Buta Aksara
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Politik Buta Aksara

Kamis, 22 Agu 2024 10:30 WIB
Jonson Handrian Ginting
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kolase foto partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM). (Foto:Β Helmy Akbar/detikBali)
Ilustrasi:Β Helmy Akbar/detikBali
Jakarta -

Jika mengikuti perkembangan politik di Indonesia, Anda tentu tidak asing dengan ungkapan "dalam politik tidak ada kawan atau lawan abadi, yang ada hanya kepentingan." Namun, bagaimana jika kita melihat fenomena ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda? Saya menyebutnya sebagai "politik buta aksara", sebuah ungkapan yang menggambarkan bagaimana dinamika politik di Indonesia sering membuat batas antara kawan dan lawan menjadi begitu kabur, bahkan seolah-olah tidak ada aturan tertulis yang harus diikuti.

Apa itu politik buta aksara? Secara sederhana, ini adalah fenomena di mana para aktor politik tampaknya kehilangan arah dan prinsip dalam menjalankan agenda mereka. Tidak ada pedoman yang jelas, tidak ada nilai-nilai yang dijunjung tinggi. Segala sesuatu bisa berubah dengan cepat, tergantung pada siapa yang paling diuntungkan pada momen tertentu. Dalam konteks ini, kawan bisa tiba-tiba menjadi lawan, dan lawan bisa berubah menjadi kawan, semuanya demi tujuan yang sama: kekuasaan.

Mungkin kita merasa fenomena ini hanya terjadi di tataran elite politik, tetapi kenyataannya politik buta aksara ini telah merambah hingga ke akar rumput. Masyarakat umum juga turut terpengaruh oleh dinamika yang membingungkan ini. Misalnya, kita sering melihat politisi yang dulu bertarung sengit dalam pemilu tiba-tiba bersatu dalam koalisi, sementara yang sebelumnya bersahabat justru saling berseberangan. Ini menunjukkan bahwa dalam politik buta aksara, ideologi dan loyalitas bukanlah hal yang utama. Yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa bertahan dan memperoleh keuntungan dalam peta kekuasaan yang selalu berubah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penuh dengan Contoh

Sejarah politik Indonesia penuh dengan contoh-contoh bagaimana politik buta aksara telah mengakar kuat. Mulai dari era Orde Baru hingga masa Reformasi, dinamika politik di Indonesia selalu penuh dengan intrik, pergeseran aliansi, dan perubahan peta kekuasaan yang sulit diprediksi.

Pada masa Orde Baru, kekuasaan dijalankan dengan kontrol yang ketat. Siapa pun yang mencoba melawan, baik dari dalam maupun luar lingkar kekuasaan, akan segera disingkirkan. Namun, setelah Reformasi, ketika demokrasi mulai tumbuh, pola yang serupa tetap bertahan meskipun dengan wajah yang berbeda. Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang bagi partisipasi politik yang sehat justru menjadi ajang bagi praktik-praktik politik pragmatis yang menanggalkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar.

ADVERTISEMENT

Pada era Reformasi, kita seharusnya melihat perubahan besar dalam cara politik dijalankan. Namun, kenyataannya banyak praktik lama yang justru masih bertahan, meskipun mungkin dalam bentuk yang lebih halus. Aliansi politik berubah secepat pergantian musim, dan nilai-nilai yang dulu dianggap sakral kini tampak tidak lebih dari sekadar alat tawar-menawar.

Politik Transaksional

Salah satu ciri khas dari politik buta aksara adalah munculnya fenomena politik transaksional, di mana dukungan politik bisa diperjualbelikan. Dukungan ini bisa datang dalam berbagai bentuk: uang, jabatan, atau fasilitas lainnya. Praktik seperti ini menunjukkan betapa rapuhnya fondasi demokrasi di Indonesia. Alih-alih memperkuat institusi demokrasi, politik buta aksara justru menciptakan ketidakpastian yang terus menerus dalam proses pengambilan keputusan politik.

Dampak paling nyata dari politik buta aksara ini adalah lemahnya akuntabilitas politik. Ketika politisi dan partai politik tidak lagi terikat oleh ideologi atau prinsip yang jelas, sulit untuk menuntut mereka bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Hal ini juga mengakibatkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik, yang pada akhirnya bisa mengancam stabilitas dan kelangsungan demokrasi itu sendiri.

Masyarakat menjadi bingung dan apatis. Ketika politisi bisa dengan mudah mengingkari janji-janji mereka tanpa ada konsekuensi, kepercayaan terhadap sistem politik secara keseluruhan mulai luntur. Padahal, kepercayaan ini adalah fondasi utama dari demokrasi yang sehat.

Sebuah Ironi

Tidak hanya merusak tatanan politik, politik buta aksara juga membawa dampak negatif pada pembangunan nasional. Karena fokus utama aktor-aktor politik adalah pada bagaimana mempertahankan atau memperluas kekuasaan mereka, kebijakan publik sering diabaikan atau dijadikan alat tawar-menawar dalam negosiasi politik. Akibatnya, program-program pembangunan yang seharusnya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru terhambat atau bahkan gagal terlaksana karena adanya kepentingan-kepentingan politik yang saling bertentangan.

Ini adalah sebuah ironi. Di satu sisi, politisi sering berbicara tentang pentingnya pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat. Namun, di sisi lain mereka justru terjebak dalam permainan kekuasaan yang tidak berujung. Pembangunan tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan sekadar sarana untuk mencapai tujuan politik.

Cenderung Permisif

Fenomena politik buta aksara juga menumbuhkan budaya politik yang cenderung permisif terhadap tindakan-tindakan yang melanggar norma dan etika. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi sulit diberantas karena mereka yang seharusnya bertindak sebagai pengawas sering terlibat dalam praktik-praktik tersebut.

Dalam politik buta aksara, batas antara yang benar dan yang salah menjadi semakin kabur, sehingga nilai-nilai moral dan etika semakin terpinggirkan. Korupsi menjadi semacam "rahasia umum" --semua orang tahu itu terjadi, tetapi tidak ada yang benar-benar bisa menghentikannya. Ini adalah lingkaran setan yang sulit diputus. Ketika pejabat publik lebih sibuk menjaga posisi mereka daripada menjalankan tugas mereka dengan integritas, masyarakatlah yang paling dirugikan.

Harapan untuk Perubahan

Meskipun situasi ini tampak suram, bukan berarti tidak ada harapan untuk perubahan. Penting bagi masyarakat dan aktor-aktor politik yang masih berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi untuk terus memperjuangkan tegaknya nilai-nilai tersebut. Pendidikan politik yang benar kepada masyarakat, terutama generasi muda, menjadi sangat penting agar mereka dapat memahami pentingnya menjaga integritas dan etika dalam politik.

Generasi muda adalah harapan masa depan. Mereka harus diajarkan untuk tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor yang aktif dalam proses demokrasi. Pendidikan yang baik adalah kunci untuk menciptakan generasi yang paham betul tentang pentingnya integritas dalam politik. Mereka harus belajar bahwa politik bukan sekadar permainan kekuasaan, tetapi juga sarana untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Di sisi lain, peran media dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga sangat krusial dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam politik. Dengan terus mengawasi dan mengkritisi tindakan-tindakan aktor politik, media dan LSM dapat membantu membangun budaya politik yang lebih sehat dan beretika.

Selain itu, reformasi dalam sistem politik juga diperlukan untuk mengurangi peluang terjadinya politik buta aksara. Salah satunya adalah dengan memperkuat institusi-institusi demokrasi agar mereka dapat berfungsi dengan lebih efektif dalam mengawasi dan mengendalikan kekuasaan.

Mendorong Perubahan

Politik buta aksara adalah sebuah fenomena yang mencerminkan kompleksitas dan tantangan besar yang dihadapi dalam proses pembangunan demokrasi di Indonesia. Meskipun sulit, perubahan tetap mungkin terjadi jika ada kemauan politik yang kuat dari semua pihak untuk memperbaiki keadaan. Hanya dengan demikian, kita dapat berharap bahwa politik Indonesia akan berkembang menjadi lebih beradab, beretika, dan benar-benar berorientasi pada kepentingan publik.

Masyarakat memiliki peran penting dalam mendorong perubahan yang positif. Kesadaran akan pentingnya nilai-nilai etika dalam politik, serta komitmen untuk menolak praktik-praktik politik yang tidak sehat, merupakan langkah awal yang sangat diperlukan untuk menciptakan iklim politik yang lebih baik di masa depan.

Melalui pendidikan yang memadai, baik di sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, generasi muda dapat diajarkan untuk memahami dan menghargai pentingnya integritas dalam kehidupan politik. Masa depan politik Indonesia ada di tangan mereka. Dengan dukungan dari semua lapisan masyarakat, kita bisa berharap bahwa politik buta aksara akan menjadi bagian dari sejarah, bukan masa depan.

Jonson Handrian Ginting dosen di Departemen Antropologi Universitas Andalas, peneliti sosial dan budaya

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads