Judul Buku: Menembus Batas; Penulis: Corona Rintawan; Penerbit: Mata Kehidupan, Juni 2024; Tebal: 137 halaman
Buku dengan sampul berwarna biru teduh ini adalah memoar yang juga berisi cerita perjalanan dokter Corona Rintawan ke Aceh, Sumatera Barat, Lombok, Palu, Papua, Filipina, Nepal, Turki, hingga Bangladesh. Tapi apa yang bisa kita bayangkan dari setiap jengkal yang ditapaki kaki seorang dokter emergensi dan kebencanaan di lokasi-lokasi bencana? Alih-alih semacam cerita tamasya yang sarat dengan paparan tempat-tempat yang jadi destinasi wisatanya, ini adalah kisah perjalanan di antara puing-puing, trauma, dan rintihan manusia.
Bersama tim relawan, dia memaksa dirinya untuk bisa berpikir cepat, memindai kondisi sekitar, dan menganalisis langkah yang perlu dilakukan dalam penanggulangan bencana. Tentu saja bermodal kompetensi dan keahlian, sebab menjadi garda terdepan di medan bencana tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan niat baik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Empat Value
Membaca lembar demi lembar dalam buku ini, mengingatkan saya pada empat value yang ditulis Greysia Polii dalam biografinya yang berjudul Menembus Garis Batas. Dan, itu sangat relate dengan perjalanan hidup dokter Corona Rintawan.
Pertama, Clarity to Vision. Begitu banyak orang yang mengalami krisis identitas sehingga tidak tahu hendak melakukan apa dalam periode hidupnya. Sementara Corona kecil, di jenjang Sekolah Dasar dia sudah paham apa yang dia mau: menjadi seorang dokter. Berawal dari menjuarai lomba dokter kecil sekabupaten mewakili sekolahnya, membuat dia semakin mantap setiap kali ada yang bertanya, "Cita-citanya apa?"
Kedua, Commitment and Grit, dan itu sungguh-sungguh diaplikasikannya. Pada bab yang berjudul "Jalan Kebaikan", ada beberapa momen dramatis yang mencerminkan kegigihan dan semangat juangnya. Bicara soal kegagalan, bukan hanya sekali dia pernah gagal. Dia pernah tidak lolos Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Dia juga sempat tidak lolos seleksi masuk spesialis kandungan dan kebidanan.
Pernah mengalami beberapa kali kegagalan tapi tidak membuatnya menyerah begitu saja, itulah yang membedakan mental juara dan yang bukan. Juara itu bukanlah yang sama sekali tidak pernah kalah, tapi mereka yang pernah kalah lalu berusaha bangkit hingga akhirnya mengukir sejarah baru.
Dia tahu kapan harus terus dan kapan saatnya berhenti. Berhenti bukan karena telah lelah berjuang lalu putus asa kemudian menyerah, tapi karena dia paham betul sampai di mana batas kemampuannya sehingga memutuskan untuk mengubah arah perjuangan. Ada kalanya memang kita harus memilih, bukan mana yang terbaik tapi mana yang paling mungkin. Pun terkadang kita tidak memilih yang ideal, tapi yang paling realistis.
Ternyata, tidak lulus tes kedokteran spesialis kandungan mengantarkannya ke jalan kebaikan yang istimewa, menempatkan porsinya di bidang yang saat ini ditekuninya. Tanpa disangka, hati dan pikirannya tertambat, dia merasa ingin berkontribusi lebih banyak.
Ketiga, Support System. Dia tidak akan sampai di titik ini tanpa dukungan keluarga dan orang-orang terdekatnya. Dan, yang terakhir adalah Unseen Hands. Dia percaya ada banyak hal di dunia ini yang tidak serta-merta bisa dikalkulasi dengan nalar, meyakini bahwa ada tangan-tangan tak terlihat yang bekerja di luar kuasa manusia. Jika kita percaya bahwa segala sesuatunya sudah ada yang mengatur lalu pasrah terhadap mekanisme kerja semesta, niscaya kesulitan apapun yang nantinya kita hadapi akan menjadi jauh lebih bisa kita terima.
Beberapa saat usai menuntaskan buku ini, ada banyak tanya dalam benak saya tentang apa sebenarnya yang dicari oleh orang-orang seperti dokter Corona ini di lokasi-lokasi bencana. Sebab, berada di garis depan bencana sama artinya dengan berada di ambang ketidakpastian. Bencana susulan bisa terjadi kapan saja, sementara pasokan dan sumber daya seringkali terbatas.
Mustahil jika para relawan itu rela kehilangan waktu bersama orang-orang tercinta, hanya demi berharap apresiasi. Bicara soal panggilan tugas dan pengabdian pun terdengar sedikit klise. Atau mungkin, mereka adalah manusia-manusia yang memang pada dasarnya terlahir dengan jiwa malaikat?
Terus Menebar Manfaat
Pada akhirnya, setiap bencana selalu saja menyisakan luka, penderitaan, dan rasa kehilangan yang mendalam. Jika sekadar bisa merasa sakit, binatang pun merasakan sakit. Tapi yang bisa merasakan sakitnya orang lain, cuma manusia. Dan, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesamanya. Ingin terus menebar manfaat menjadi motivasi terbesar dalam hidup dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini. Bahkan, di kondisi yang overwhelmed sekalipun dia enggan mengeluh.
Memang, di luaran sana masih banyak manusia-manusia baik lainnya. Asal tidak menyakiti orang lain saja, itu juga sudah bisa disebut baik, bukan? Tapi yang baik sekaligus peduli, rasa-rasanya kok jumlahnya tidak terlalu banyak karena tentu tidak semua orang baik mau peduli. Nah, dokter Corona Rintawan ini adalah salah satu dari yang "tidak terlalu banyak" itu.
Melalui buku ini, dokter yang sudah lebih dari dua puluh tahun mengabdikan diri di bidang kebencanaan ini seolah ingin menegaskan bahwa dunianya tidak sebatas di dalam dinding-dinding rumah sakit dan tidak melulu berkutat dengan rutinitas praktik semata, tapi ada belahan bumi lain yang juga membutuhkan "sentuhannya".
Dengan makin luas ketersebarannya, mudah-mudahan memoar seorang tenaga medis di medan bencana ini tidak hanya akan menjadi sekadar bacaan semata, namun juga mampu menginspirasi, menjadi pemantik kepedulian, dan melahirkan gerakan menembus batas demi kemanusiaan. Sehingga makin banyak lagi orang-orang baik yang bukan hanya baik, tetapi juga mau peduli.
Miki Loro Mayangsari ibu dua anak tinggal di Surabaya
(mmu/mmu)