Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan melakukan Pilkada Serentak tahun ini. Pemungutan suara akan dilaksanakan pada 27 November 2024. Menariknya kita kembali disuguhi fenomena masuknya selebritas dalam kontestasi Pilkada.
Sebut saja Siti 'KDI'/Siti Rahmawati, biduan jebolan ajang pencarian bakat ini akan maju dalam Pilkada Polewali Mandar, Sulawesi Barat; Marshel Widianto akan bertarung sebagai wakil wali kota Tangerang; Hengky Kurniawan akan menjadi bakal calon bupati Blitar melalui PDIP; Krisdayanti yang akan maju dalam calon wali kota Batu, Jawa Timur; Jeje Govinda akan maju dalam Pilkada Kabupaten Bandung Barat; Ahmad Dhani digadang-gadang maju dalam Pilkada di Surabaya --meskipun sebelumnya sudah terpilih sebagai anggota legislatif untuk Dapil Jatim 1 pada Pemilu kemarin.
Rakyat pun akan menyaksikan secara gratis atraksi para pesohor tersebut menawarkan impian politik di dalam keranjang isi kampanye politiknya. Ketersohoran dan kemewahan modal finansial yang mereka miliki sudah pasti akan menjadi amunisi andalan untuk membidik kursi kepala daerah, di tengah kolega mereka yang bernasib suram, duduk di kursi pesakitan karena terjerat kasus narkoba dan amoral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun kadang, di tengah ledakan ambisi politik kaum selebriti tersebut, kita kerap bertanya, mengapa dunia politik yang vivere pericoloso manipulatif, kotor, dan penuh persekongkolan masih menjadi pilihan cespleng mereka melabuhkan karier, terlebih di tengah gemerlap dunia keartisan yang bejibun aplaus dan kilatan blitz kamera. Bukankah kita juga sering mendengar adagium klasik yang berbunyi, politics is show business for ugly people?
Yang jelas, partai politik adalah entitas yang punya kepentingan besar di balik strategi mencalonkan kepala daerah yang berasal dari kalangan artis, yakni mendongkrak citra dan reputasi partai secara seketika tanpa harus mengeluarkan keringat politik berlebihan, membangun fondasi elektoral dari bawah. Selain itu, seklise apa pun pandangan publik terhadap wajah politik, interes terhadap dunia kekuasaan pada dasarnya selalu menantang dan menarik untuk dicermati.
Seni?
Saya pernah tersenyum lirih ketika dalam sebuah dialog di salah satu stasiun televisi swasta, seorang artis calon wakil wali kota saat ditanya apa penyebab ia tertarik menggeluti dunia politik, dengan enteng menjawab: karena sebagaimana dunia tarik suara, dunia politik kan juga adalah seni.
Tampaknya seni dalam memancing histeria penonton di panggung hiburan dimiripkan dengan seni memimpin, mempengaruhi orang banyak, atau mengolah ide-ide besar untuk mewujudkan kemaslahatan bersama. Padahal di dunia pemerintahan, seseorang politisi --menurut filsuf Socrates-- dituntut memiliki skill dan kemampuan meyakinkan lewat retorika membangun gagasan dan aksi untuk mengorganisasi dan mempengaruhi massa agar melakukan apa yang dikehendakinya.
Tentu saja semuanya itu tidak serta merta sim salabim melainkan membutuhkan komitmen, proses, disiplin, dan pengalaman panjang dalam berorganisasi atau berpolitik. Beda dengan panggung hiburan yang lebih mementingkan penampilan aksi dan sensasi dalam mengaduk-aduk emosi serta jiwa para penggemar.
Kita tak bermaksud menggebyah-uyah bahwa calon kepala daerah berlatar belakang artis tak punya kemampuan memerintah atau berpolitik. Ada juga pemimpin atau wakil rakyat berlatar artis yang oleh waktu terbukti berkompeten dan memiliki integritas dalam menjalankan amanah rakyat. Namun untuk masuk dan eksis dalam dunia politik, dapat dipastikan tak cuma mengandalkan semangat partisan belaka, atau sekadar menjadikan parpol sebagai alat transportasi untuk menjemput kursi kekuasaan.
Lebih dari itu dibutuhkan waktu transisi untuk beradaptasi dengan cikal bakal dunia kekuasaan sehingga terjadi proses internalisasi dan penjiwaan prinsip-prinsip dasar berpolitik, berpartai, berideologi yang hakiki maupun berlatih mengasah komitmen populisme untuk berkorban dan memikirkan jutaan nasib rakyat yang dipimpinnya.
Syarat yang demikian juga menjadi variabel penting bagi partai agar mampu memerankan diri sebagai wadah konstruktif dan ideologis yang selalu kontinu mendiseminasi gagasan-gagasan besar kepemimpinan termasuk mencetak dan meregenerasi kader-kader pemimpin kapabel yang memiliki wawasan kepemimpinan inovatif, berintegritas dan tahan uji di dalam segala situasi dan kondisi.
Seorang calon politisi berlatar belakang artis sudah seharusnya memiliki syarat investatif di atas sehingga tidak terkesan terjun bebas dalam pragmatisme politik karena merasa diri didukung atribut insentif parsial: beken, popularitas, uang yang menggunung. Terlebih lagi dalam pengalaman terkini, saat literasi politik masyarakat kian berangsur cerdas, ketenaran yang menempel di nama besar artis tidak sendirinya terkapitalisasi menjadi sebuah modal kemenangan, manakala popularitas tersebut tak memiliki korelasi positif dengan akseptabilitas dan elektabilitas yang dimiliki.
Partisipasi Politik?
Menjadikan hak untuk berpartisipasi dalam politik sebagai alasan --apalagi kedok-- untuk terlibat dalam politik praktis tidak dengan serta merta bisa melegalkannya secara etika-substansial. Samuel P Hutingon dan Joan M Nelson dalam buku No Easy Choise: Political Participation in Developing Countries menegaskan bahwa partisipasi politik dalam konteks struktural tidak sekadar masuk barisan untuk mengayuhkan keinginan pada sebuah fungsi serta pemenuhan tujuan. Lebih dari itu, keberadaannya juga harus mampu mencerminkan dan mewariskan nilai-nilai pembaruan ke dalam sistem di mana ia ada dan bertumbuh.
Itulah substansi partisipasi politik yang ironisnya di (demokrasi) kita, interpretasinya cenderung disubjektifikasi dengan idolatrisme kebebasan, mirip seperti bola panas keputusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang ikut "melegalkan" politik dinasti, meski resistensi publik terhadap apa yang disebut dengan politik oligarkis sangat kuat terasa.
Pandangan bahwa dunia politik terbuka pada segala jenis kalangan dan latar belakang sebagai suatu keniscayaan demokrasi pun akhir-akhir ini sudah mulai runtuh dengan semakin tidak dipercayainya institusi politik di mata publik. Ketika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung, yang menandai masuknya gelombang politik Indonesia dalam demokrasi liberalistik, gairah masyarakat untuk terlibat dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah bagai barisan lebah yang mengerubuti manisnya madu kekuasaan. Setiap orang, dari berbagai latar belakang profesi merasa "layak" berkompetisi karena memiliki popularitas dan fulus.
Kini dengan zaman makin transformatif, rakyat pemilih sudah semakin adaptif dan terbuka dalam mengambil dan menyeleksi pilihan dan keputusan politiknya. Mereka tak gampang lagi dibuai oleh janji dan serangan fajar yang memabukkan di pagi buta. Rakyat kita sudah dalam taraf mampu memilih mana calon pemimpin sungguhan dan mana calon pemimpin yang sekadar berjudi dengan kesempatan untuk meraih tujuan yang tak ada kaitan langsung dengan kepentingan rakyat.
Bahkan rakyat pun makin paham bahwa untuk menjadi pemimpin sejati seorang perlu bekerja keras di dalam "senyap" untuk menguji dan menemukan kualitas ketulusannya, bukan bekerja dalam noise dan silaunya lampu kamera yang membuat mata (nurani) tak mampu melihat realitas di ujung sana, pada mereka yang ada dalam kegelapan dan menderita.
Umbu TW Pariangu dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
(mmu/mmu)