Bejujung sosok pemuda inspiratif dari Suku Anak Dalam, Jambi. Dia putra Tumenggung Njalo, lelaki yang dihormati. Di kalangan Orang Rimba, sebutan lain untuk Suku Anak Dalam, Tumenggung adalah pemimpin rombongan.
Berbeda dengan kesan yang masih melekat pada Orang Rimba, Bejujung berpakaian lengkap. Sudah lama ia tidak bercawat. Hidup pun tidak lagi melangun. Njalo dan keluarganya, termasuk Bejujung, memang keluar hutan Bukit Dua Belas dan kini menetap di pemukiman Orang Rimba yang disiapkan pemerintah. Perubahan paling mengagumkan: awal Juli 2024 lalu Bejujung dinyatakan lulus dari Fakultas Pertanian, Universitas Jambi.
"Banyak jenis obat-obatan bermanfaat yang ditemukan Orang Rimba," ujar Bejujung dengan mata berbinar. Ia terpikir untuk memodernkan. Bahkan memasarkan kekayaan herbal Suku Anak Dalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apa yang tengah terjadi pada Bejujung? Yang jelas, pada dirinya tampak upaya untuk membentuk dirinya sendiri. Di dalamnya tersirat semacam cita-cita. Juga ada semangat untuk mengatur dan mengelola diri agar impian masa depan itu tercapai.
Ciri-ciri yang ada pada Bejujung mirip dengan istilah autopoiesis yang dikemukakan Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam terminologi yang digunakan sastrawan dan pelopor Pujangga Baru kelahiran Sumatra Utara, 11 Februari 1908 itu, serapan bahasa Yunani dari auto (sendiri) dan poiesis (penciptaan) ini merupakan sistem hidup yang sanggup menciptakan dan membentuk diri sendiri.
Terminologi ini dilontarkan Sutan Takdir Alisjahbana ketika ia berbicara tentang kebudayaan dan kritik terhadap Indonesia. Sebagai sebuah bangsa, menurutnya, Indonesia sangat bisa menjadi bangsa yang maju dan besar.
Tidak sekadar maju dan modern, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dengan segala kekayaan dan keunikan yang ada, Indonesia seperti entitas autopoietika yang dapat berkembang dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Syaratnya, seperti yang tampak pada sosok Orang Rimba bernama Bejujung: ada upaya penciptaan diri (self creation), serta kemampuan untuk mengatur dan mengelola diri (self organization).
Pada autopoiesis versi Sutan Takdir Alisjahbana, terdapat dua ciri tambahan lain, yaitu self referential, serta tertutup-terbuka. Yang dimaksud dengan self referential adalah ketersediaan bahan-bahan yang dibutuhkan. Sedangkan "tertutup-terbuka", ciri yang menunjukkan kesiapan diri untuk menerima sesuatu yang lebih baik tanpa mempertentangkan dengan apa yang ada pada diri sendiri.
Dalam konteks kritik terhadap Indonesia, menurut budayawan dan salah satu pemikir Indonesia ini, kemajuan dan kemandirian bangsa ini akan dapat dicapai jika bangsa ini bergerak menyerap sumber energi dan informasi dari luar, yaitu rasionalisme dan modernitas yang kebetulan tumbuh subur di Barat.
Penyerapan nilai-nilai luar itu amat diperlukan. Karena menurut Sutan Takdir Alisjahbana, dalam kebudayaan tradisional Indonesia berlaku nilai-nilai ekspresif yang menyebabkan kebudayaan itu statis. Berbeda dengan Barat, tempat gugus ilmu pengetahuan itu unggul, nilai-nilainya progresif yang mengantarkan negara itu menjadi negara yang modern.
Jika ingin maju dan mandiri, menurut Sutan Takdir Alisjahbana, Indonesia harus mengadopsi nilai-nilai dari Barat. Yaitu, nilai-nilai yang dicirikan dengan intelektualisme, individualisme, dan materialisme.
Maka, pendidikan menjadi salah satu kunci penting kemajuan dan kemandirian. Itu sebabnya, Sutan Takdir banyak berkiprah di dunia pendidikan. Termasuk dengan mendirikan serta menjabat sebagai pimpinan perguruan tinggi.
Begitu pun dengan gerak langkah Bejujung, Suku Anak Dalam, yang baru saja menyelesaikan studi program D3. Selain Bejujung, masih banyak lagi contoh-contoh Orang Rimba yang bersekolah, bahkan hingga lulus perguruan tinggi. Setingkat dengan Bejujung ada Besiar. Juga ada Fauzan, Kurnia, Desi, dan lain-lain.
Dengan pendidikan yang diperoleh, mereka siap melompat, hidup lebih mandiri dan mendorong kemajuan masyarakat Suku Anak Dalam.
Kendati demikian, perlu dicatat juga penekanan Sutan Takdir Alisjahbana mengenai autopoiesis dan kaitannya dengan kemandirian. Menurutnya, sistem hidup yang bergerak ke kemandirian itu bisa terjadi jika syarat-syaratnya terpenuhi. Keberadaan syarat-syarat ini mutlak.
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam, komunitas masyarakat di mana pun, bahkan negara bangsa Indonesia, perlu memiliki empat ciri tadi. Karena keberadaan self creation, self organization, self referential, dan prinsip tertutup-terbuka merupakan sesuatu yang mutlak, maka perlu ada pihak yang menghadirkan dan mendorong kemunculan ciri-ciri autopoiesis.
Beruntung, Bejujung berkawan akrab dengan PT Sari Aditya Loka, perusahaan perkebunan kelapa sawit, yang beroperasi dekat dengan komunitasnya. Dari perusahaan itulah syarat-syarat autopoiesis ia miliki. Bejujung beserta rekan-rekannya diberi fasilitas yang memungkinkan ia menyerap pendidikan.
Selanjutnya, Bejujung dan Orang Rimba tinggal melangkah menuju kemandirian.
Mochamad Husni mahasiswa Program Doktoral Universitas Sahid, Jakarta
(mmu/mmu)